Sejak serangan 9/11 di New York sepuluh tahun yang lalu, dunia dicekam oleh kengerian terorisme dari kelompok Islam Fundamentalis. Indonesia pun tidak luput. Bom-bom bunuh diri, yang ditujukan pada negara Barat dengan menyerang penduduk asing (Bom Bali misalnya) ataupun pihak berlainan agama (gereja Kristen) mencabik-cabik ketentraman rakyat.
Agama Islam pun menjadi sasaran serangan kaum konservatif di negara-negara Barat. Mereka menuduh bahwa Islam adalah agama yang penuh kekerasan dan orang Arab (yang kebanyakan Muslim) adalah barbar dan tak beradab. Namun mereka dengan nyamannya lupa bahwa agama Kristen pun punya sejarah yang berdarah-darah. Hampir setiap agama punya sejarah kekerasan. Tidak ada satupun agama yang memonopoli kekerasan seperti yang dikemukan oleh kaum konservatif di Barat. Bahkan agama Budhanya Tibet adalah agama yang punya sejarah kekerasan juga, dimana Budhisme di Tibet selama ratusan tahun adalah rantai feodalisme yang menindas rakyat tani Tibetan.
Yang harus kita teliti adalah mengapa agama, yang biasanya mengajarkan kedamaian dan cinta kasih, dapat juga berubah drastis menjadi agama yang penuh angkara murka dan penindasan. Ini karena agama adalah salah satu refleksi dari situasi ekonomi dan sosial masyarakat. Di periode ketika dunia porak-poranda karena penindasan kapitalisme yang akut, segala macam keterbelakangan pun tumbuh subur, apalagi ketika alternatif Kiri tidak ada. Inilah periode yang sedang kita masuki sekarang. Kesengsaraan yang disebabkan oleh krisis kapitalisme telah menciptakan lahan subur untuk berkembangnya fundamentalisme. Ingat tahun 1930an ketika krisis kapitalisme melahirkan fasisme di Jerman yang menenggalamkan dunia ke dalam kegelapan pekat Perang Dunia.
Sekarang negeri-negeri Barat mengutuk Islam Fundamentalis. Tetapi sebelumnya merekalah yang mendukung elemen-elemen Islam Fundamentalis untuk memerangi kekuatan Komunisme di Timur Tengah. Mereka yang mempersenjatai Bin Laden untuk memerangi kaum komunis dan sosialis di Afghanistan. Inilah kemunafikan kaum kapitalis. Sekarang sang anjing menggigit tuannya, dan kesempatan ini digunakan untuk menciptakan situasi mencekam: teroris-teroris Islam akan menyerang kita! Buruh, tani, pemilik bank, tuan tanah, pemilik pabrik, harus bersatu untuk melawan terorisme Islam! Ancaman terorisme digunakan oleh kaum kapitalis untuk mengaburkan perjuangan kelas.
Di pihak yang lain, kaum Islam Fundamentalis juga menggunakan serangan imperialis untuk mengubur perjuangan kelas. Semua umat Islam, dari tuan tanah feodal yang kaya raya sampai petani miskin, bersatulah untuk melawan imperialisme! Begitu seru mereka. Agama jadi alat politik untuk menyengsarakan rakyat. Bukan ajaran agama itu sendiri yang salah, tetapi kekuatan-kekuatan sosial yang berkuasa – kapitalis dan feodalis, dengan bantuan sejumlah pemuka-pemuka agama bayaran – yang memanipulasi agama untuk merantai rakyat tertindas.
Tidak adanya alternatif revolusioner telah mendorong sejumlah kaum muda yang menentang kapitalisme ke jalan Islam Fundamentalisme. Kelompok-kelompok politik Islam Fundamentalis, seperti Hizbut Tahrir, yang punya aparatus besar karena didanai tuan tanah dan pedagang besar, mampu menangkap keresahan rakyat tertindas dengan retorika anti-kapitalisnya. Padahal sistem ekonomi yang mereka ajukan tidak lain adalah sistem ekonomi kapitalis corak Islam. Artikel 134 dari draf konstitusi mereka mengatakan: “Pabrik, secara alami, adalah milik pribadi.” Ini tidak berbeda dengan sistem kapitalisme yang ada sekarang, yang berbeda HT mengatakan bahwa Allah-lah pemilik semua kekayaan dan lalu melimpahkannya ke manusia. Bukankah di uang Amerika juga tertulis “In God We Trust” (Di dalam Tuhan Kita Percaya)? Ternyata hanya Tuhannya saja yang berbeda. Sementara, Sosialisme mengatakan bahwa semua alat-alat produksi adalah milik buruh, bukan milik pribadi, dan akan dijalankan secara demokratis oleh kaum buruh dan untuk buruh. Hanya dengan menasionalisasi alat-alat produksi buruh bisa membebaskan dirinya dari penindasan kapitalisme.
Kalau agama adalah keluh kesah dari makhluk tertindas dan jantung-hati dari dunia yang kejam, maka fundamentalisme agama – dan terorismenya – adalah raungan membabi buta dari makhluk tertindas yang sudah menemui jalan buntu. Hanya sosialisme yang bisa membuka jalan buntu tersebut, dan mengubah keluh kesah dan raungan membabi buta rakyat tertindas menjadi aksi massa terencana dan rasional dengan derap langkah teguh menuju masyarakat tanpa kelas dan tanpa penindasan.