Berita tragis mengalir dari Timor Leste. Dini hari, Minggu (18/11), dua anggota polisi Timor Leste menembak mati 3 pemuda dan melukai 5 orang lainnya di sebuah acara pesta pelepasan kain hitam. Dua anggota polisi terlibat adu mulut dengan seorang pemuda dan lalu melepaskan tembakan liar ke semua penjuru arah. Korban yang meninggal adalah Joni Roberto Bria (24 tahun) yang tertembak di kepala, Luis Quibein Saldanha Belo (18 tahun) dan Leonildo Eduardo Ximenes Sequeira (20 tahun). Salah satu korban yang terluka adalah perempuan Terezinha Vila Nova yang mendapat tembakan di tangan kanan.
Peristiwa ini memicu kecaman publik dan dukacita dari seluruh negeri. Meskipun Jenderal PNTL (Polisi Nasional Timor Leste) Julio Hornay datang menyambangi keluarga korban, ini tidak meredakan situasi. Semua orang mengatakan “Polisi Pembunuh! … Polisi Pembunuh!”
Saat memberikan keterangannya Jenderal Julio Hornay mengatakan, bahwa “tidak ada undang-undang untuk menembak orang dengan menggunakan alat negara, jika menggunakan alat negara harus menggunakan undang-undang.” Semua orang tahu bahwa adanya undang-undang tidak pernah mencegah badan bersenjata ini untuk melakukan pembunuhan, penganiayaan, dan penangkapan terhadap warga sipil. Justru undang-undang kerap digunakan untuk melegitimasi penggunaan kekerasan oleh aparat.
Pertanyaan di seputar apa yang memotivasi pelaku melakukan penembakan ini belum terjawab dan kemungkinan besar tidak akan pernah akan diketahui publik. Ini karena kriminalitas dilakukan oleh negara. Berbeda dengan kasus-kasus kriminal yang mendera rakyat miskin, mereka biasanya segera mendapatkan motif dari pelaku kriminal. Negara merupakan alat kekerasan di tangan penguasa. Standar ganda dalam pengadilan hukum biasanya diterapkan kalau menyangkut aparatus kekerasan negara (polisi dan angkatan bersenjata), karena hukum itu sendiri adalah instrumen dari alat kekerasan itu.
Peristiwa ini bukanlah pertama kalinya. Negeri yang belum genap berusia dua dekade ini telah diwarnai serangkaian konflik bersenjata yang sering kali menewaskan warga sipil. Pada tahun 2006 konflik politik di tubuh penguasa menewaskan banyak warga sipil. Kemiskinan, pengangguran, rendahnya tingkat pendidikan menjadi masalah yang semakin akut. Ini membuat kriminalitas semakin meningkat. Kondisi ini adalah lahan subur bagi polisi untuk memperlakukan pelaku kriminal dengan sesuka hatinya.
Seperti apa pernah yang dituturkan oleh Mericio Akara, seorang peneliti dari La’o Hamutuk, Institut Timor-Leste untuk Pengawasan dan Analisis Rekonstruksi:
“Pemukulan saat penahanan sudah menjadi hal yang biasa. Mengapa? Karena polisi menganggap diri mereka adalah institusi yang harus dihormati. Mereka tidak bisa menerima pertanyaan-pertanyaan mengenai peran atau otoritas mereka. Jika saya adalah seorang petugas PNTL dan berkata kepada anda bahwa anda bersalah, anda harus berkata, ‘Saya bersedia bersalah.’ Pemukulan sudah menjadi rutinitas.”
Bertahun-tahun masalah kekerasan polisi telah menjadi masalah yang mengkhawatirkan. Polisi Timor Leste sering melakukan kesewenang-wenangan tidak hanya dalam proses penangkapan tapi juga kekerasan yang dilakukan di dalam tahanan. Perilaku ini seakan-akan menjadi biasa, dan mereka selalu berhasil menyembunyikan kenyataan ini dari publik.
Kekerasan-kekerasan seperti ini akan selalu terjadi selama sistem kapitalisme yang menjadikan akar kesewenang-wenangan ini tetap berjalan. Kapitalisme akan selalu membutuhkan badan bersenjata (polisi, penjara dan hukum) yang terpisah dari rakyat untuk menjaga ketertiban sistem. Sistem ini akan selalu melahirkan kekerasan. Rakyat pekerja dan kaum muda Timor Leste harus melawan kesewenang-wenangan ini dan juga sistem yang melahirkannya. Melawan kekerasan yang dilakukan oleh negara melalui jalur hukum semata tidak akan mencegah jatuhnya lebih banyak korban lagi di hari depan. Untuk itu cara ini tidak memuaskan kita. Kita membutuhkan lebih. Kita membutuhkan aksi massa yang terorganisir. Untuk menghapus selamanya akar dari kesewenang-wenangan ini, kita harus menghancurkan sistem yang melahirkannya, yakni kapitalisme!