Kedatangan Paus Fransiskus ke Timor Leste pada September lalu begitu disambut oleh pemerintahan Xanana. Mereka mempersiapkan ini tidak hanya membersihkan jalanan dari kotoran, tapi juga membersihkan kota-kota dari potensi protes dan suara keluh kesah rakyat kecil.
Pemerintah lewat Panglima tertinggi F-FDTL dan Komando PNTL menyebarkan teror dan mengancam bahwa mereka tidak akan mentolerir para aktivis yang berani mengibarkan bendera West Papua dan Palestina, atau berdemonstrasi di tengah-tengah kehadiran Paus Fransiskus.
Ancaman teror dilakukan secara serius dan sistematis. Mereka bahkan menyebarkan fitnah ke publik bahwa ada kelompok yang akan mencoba memberontak di Misa Agung Paus Fransiskus di Dili. Pemerintah sengaja menyebarkan fitnah dan teror ini untuk mengintimidasi gerakan. Pemerintahan Xanana jelas bertindak atas perintah imperialis Jakarta dan Washington, dan menggunakan alat represif negara seperti polisi dan militer untuk menekan gerakan sosial agar tidak menyuarakan isu West Papua dan Palestine selama kunjungan Paus.
Berhubungan apa yang telah disebutkan di atas, salah satu kejadian yang paling memalukan sehabis perayaan 25 tahun referendum adalah penangkapan Nelson Roldao, aktivis HAM di bandara internasional Dili. Pada 2 September siang hari, polisi menangkap Nelson setelah dia mengantar seorang kawan aktivis dari Papua ke bandara untuk kembali ke tempat asalnya. Satu-satunya alasan polisi adalah karena Nelson membawa atribut-atribut yang berbau solidaritas untuk rakyat Papua: bendera Papua, sejumlah buku serta beberapa kaos sablon untuk dijual.
Polisi menganggap barang-barang tersebut sangat berbahaya, sehingga korban ditodong dengan pistol dan hampir ditembak, dan dia ditendang oleh polisi satu kali di bagian dada. Setelah ditangkap, korban diinterogasi di bandara hampir 2 jam, lalu dibawa ke markas besar polisi untuk diinterogasi lebih lanjut. Baru jam 5 sorenya dia dilepaskan.
Represi terhadap aktivis pro-West Papua ini jelas merupakan titipan dari Jakarta. Ini hanya menunjukkan bahwa kelas penguasa Timor Leste itu lebih punya kesamaan kepentingan dengan kelas penguasa Indonesia dibandingkan dengan rakyat pekerja Timor Leste. Selain itu, kelas penguasa Timor Leste jelas takut pada semua manifestasi perjuangan demokratik – termasuk aksi solidaritas untuk West Papua dan bangsa tertindas lainnya – karena ini mengekspos kebusukan rejim yang sedari awal tidak demokratik dan sangat represif terhadap rakyat.
Demikianlah kemunafikan dari kaum nasionalis borjuis seperti Xanana, yang dulu berbicara banyak mengenai hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa tertindas. Tetapi setelah mereka merdeka – yaitu merdeka untuk menjadi kelas penguasa baru di tanah air mereka sendiri, bebas untuk menjadi kaya raya dan menghisap rakyat Maubere – semua pembicaraan mengenai perjuangan pembebasan bangsa tertindas tidak lagi berarti bagi mereka. Mereka kini puas menjadi boneka modal asing.
Selain itu, masih banyak kekerasan lainnya yang dilakukan oleh aparatus negara terhadap warga sipil dan jurnalis dalam persiapan kedatangan Paus. Polisi memaki, menghina, lalu menghancurkan gerobak dan dagangan para pedagang di pinggir jalan karena dianggap menghina pemerintah dengan tetap berjualan di hari-hari kedatangan Paus. Polisi Juga menyita ponsel seorang jurnalis karena merekam aksi kekerasan tersebut, lalu menahan salah seorang reporter selama empat jam. Negara yang intimidatif dan brutal ini tidak berbeda jauh dengan kebrutalan Soeharto dulu.
Meskipun sudah diteror dan diancam sebelumnya, beberapa kaum muda yang sudah muak dan tidak kenal takut tetap berani mengibarkan bendera West Papua dan Palestina. Bahkan beberapa aktivis sempat ditangkap, tetapi mereka tidak takut dan tetap mengumandangkan Free West Papua dan Free Palestine.
Pemerintah telah menghabiskan US$18 juta (sekitar Rp276,3 miliar) demi menyambut Paus Fransiskus. Uang itu mereka gunakan untuk membangun altar, renovasi jalan, renovasi gereja, serta fasilitas umum di kota Dili. Kita mempertanyakan bagaimana pemerintah bisa mengucurkan uang sebanyak itu di tengah-tengah kondisi krisis ekonomi yang sedang kolaps dan masalah mendasar rakyat seperti pendidikan dan kesehatan yang sampai saat ini belum teratasi dan diabaikan. Semua renovasi dan pertunjukan kemewahan itu dilakukan untuk menyembunyikan wajah asli kota Dili yang masih dipenuhi dengan kemiskinan dan penderitaan di tengah-tengah pemerintah yang penuh dengan KKN.
Ada mitos yang terus digaungkan bahwa Xanana adalah pemimpin yang memihak pada rakyat kecil. Tetapi faktanya, semua itu hanyalah mitos belaka. Penggusuran brutal, diskriminasi terhadap guru honorer, penganiayaan terhadap para pedagang kaki lima, dan ketidakbecusan rejimnya dalam mengatasi problem-problem dasar seperti pendidikan dan kesehatan dalam satu tahun terakhir. Kedatangan Paus pada September kemarin hanya mengungkapkan bahwa Xanana tidak peduli sama sekali pada penderitaan rakyat kecil. Dia hanya peduli pada agama daripada rakyatnya yang kedinginan dan lapar.