Pada bulan September lalu, dunia menyaksikan gelombang revolusi yang bergerak cepat dari satu negara ke negara lain, dari Nepal, Maroko, Madagaskar, hingga Peru. Dalam hitungan hari bahkan jam, massa rakyat turun ke jalan, menuntut perubahan sosial dan politik yang mendasar. Di setiap negeri, wajah yang paling menonjol dari gelombang ini adalah wajah kaum muda. Mereka adalah Generasi Z, sebuah generasi yang tumbuh di tengah krisis kapitalisme, sebuah generasi yang kehilangan masa depan.
Fenomena ini sering disebut sebagai “Revolusi Gen Z”, sebuah ekspresi perlawanan lintas benua dari kaum muda terhadap sistem kapitalisme yang telah gagal menjamin hidup layak, keadilan sosial, dan kepastian masa depan. Mereka bukanlah gerakan yang lahir dari koordinasi terpusat atau seruan ideologis yang sama, melainkan hasil dari pengalaman hidup yang serupa: frustrasi terhadap sistem kapitalisme.
Kini, banyak mata tertuju pada Tiongkok, negeri dengan populasi muda terbesar di dunia dan kekuatan ekonomi nomor dua setelah Amerika Serikat. Bila gelombang ini suatu saat mencapai negeri Tirai Bambu ini, dampaknya akan mengguncang tidak hanya Asia, tetapi juga seluruh tatanan dunia kapitalis.
Selama dua dekade terakhir, Tiongkok sering digambarkan sebagai kisah sukses kapitalisme modern ala China: kota-kota megapolitan menjulang dengan gedung pencakar langit, industri teknologi berkembang pesat, dan jutaan orang terangkat dari kemiskinan. Namun di balik citra kemakmuran itu, ada kenyataan pahit yang dialami generasi muda yang terus menggerogoti mitos kedigdayaan Tiongkok.
Tingkat pengangguran di kalangan usia 16–24 tahun meningkat tajam. Sebelum pemerintah menghentikan publikasi datanya pada pertengahan 2023, angka pengangguran pemuda mencapai 21,3 persen, setara dengan satu dari lima anak muda tanpa pekerjaan. Bahkan, beberapa ekonom memperkirakan angka sebenarnya jauh lebih tinggi jika memperhitungkan mereka yang berhenti mencari kerja karena putus asa.
Pemerintah kemudian mengubah metode statistik, dengan tidak lagi menghitung mahasiswa sebagai bagian dari angkatan kerja. Ini jelas upaya untuk menutupi kenyataan ekonomi yang sebenarnya. Namun, di media sosial, kaum muda Tiongkok sendiri telah menemukan bahasa untuk menggambarkan situasi mereka: “rotten-tail children”, atau “anak dengan ekor busuk”—istilah sinis untuk menyebut generasi yang dianggap gagal melanjutkan kemajuan orang tuanya.
Krisis ini paling terasa di kota-kota besar seperti Beijing, Shanghai, dan Shenzhen, pusat kemajuan Tiongkok yang justru menjadi pusat penderitaan baru bagi kaum muda.
Banyak lulusan universitas top yang kini bekerja serabutan: menjadi kurir makanan, penjaga toko, atau pekerja paruh waktu dengan gaji yang nyaris stagnan. Puluhan juta orang kini menggunakan platform teknologi untuk mencari pekerjaan sementara. 200 juta orang atau 40% dari angkatan tenaga kerja perkotaan kini bergantung pada beberapa jenis pekerjaan fleksibel. Sebagian besar pendapatan mereka habis untuk membayar sewa tempat tinggal kecil, kadang tidak lebih besar dari kamar kos sempit tanpa jendela.
Sebuah studi urban menunjukkan bahwa rasio sewa terhadap pendapatan (rent-to-income ratio) di kota-kota besar Tiongkok bisa mencapai 50–60 persen. Artinya, hampir seluruh gaji kaum muda tersedot hanya untuk bertahan hidup, bukan untuk menabung atau merencanakan masa depan.
Situasi ini melahirkan fenomena sosial yang disebut “tang ping” (berbaring datar), sebuah bentuk perlawanan pasif di mana anak muda menolak dorongan kompetisi kapitalis: tidak menikah, tidak membeli rumah, tidak punya anak, dan hanya bekerja sekadarnya untuk bertahan hidup. Di kalangan yang lebih pesimis, muncul pula istilah “bai lan” (biarkan membusuk)—menandai generasi yang telah kehilangan harapan akan perubahan sosial.
Apa yang terjadi di Tiongkok sejatinya bukan kasus terisolasi. Ia merupakan bagian dari pola global yang menandai krisis kapitalisme.
Lihatlah Nepal. Pada Agustus–September, ribuan pemuda turun ke jalan menentang korupsi, pengangguran, dan naiknya harga kebutuhan pokok. Sebagian besar dari mereka adalah lulusan universitas yang tidak memiliki prospek kerja di negeri sendiri.
Di Madagaskar, gelombang demonstrasi kaum muda meletus karena krisis air, listrik dan korupsi. Sementara di Peru, kaum muda menjadi kekuatan utama dalam menentang pemerintah korup yang hanya memperkaya diri mereka sendiri.
Anak-anak muda dari berbagai negara ini tidak mengenal satu sama lain, tidak berbicara bahasa yang sama, bahkan tidak hidup di sistem politik yang sama. Namun mereka semua berhadapan dengan musuh yang serupa: sistem kapitalisme yang menciptakan kekayaan luar biasa di tangan segelintir orang, sementara generasi muda terperangkap dalam kemiskinan, utang, dan ketidakpastian.
Sebagai kekuatan imperialis muda, Tiongkok kini berusaha memperluas pengaruhnya secara ekonomi dan politik di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Namun, seperti semua kekuatan kapitalis sebelumnya, Tiongkok tidak kebal terhadap kontradiksi internal kapitalisme itu sendiri.
Investasi besar-besaran di luar negeri tidak diimbangi dengan kesejahteraan di dalam negeri. Industri properti, yang dulu menjadi tulang punggung pertumbuhan, kini runtuh satu per satu. Krisis yang melanda raksasa properti seperti Evergrande dan Country Garden menimbulkan efek domino terhadap jutaan keluarga muda yang terjebak cicilan rumah.
Di sisi lain, pemerintah mendorong nasionalisme dan propaganda stabilitas sosial untuk menekan ketidakpuasan. Namun, di dunia digital, suara-suara frustrasi muncul, terutama di platform seperti Weibo dan Bilibili. Banyak pemuda secara halus menyindir kondisi sosial dengan meme, puisi satir, atau lagu-lagu bertema nihilisme.
Kaum muda selalu menjadi barometer perubahan sosial. Di setiap periode krisis besar, mereka adalah lapisan masyarakat yang paling sensitif terhadap ketidakadilan dan paling cepat merespons dengan tindakan.
Di Tiongkok, generasi muda kini tumbuh dalam sistem yang menjanjikan kemakmuran, tetapi malah menampilkan ketimpangan mencolok antara elite partai dan rakyat jelata. Mereka melihat miliarder teknologi hidup mewah sementara mereka sendiri berjuang untuk bertahan hidup. Janji meritokrasi, bahwa kerja keras akan membuahkan kesuksesan, ternyata palsu.
Kepercayaan terhadap sistem mulai digerogoti dari dalam. Proses molekuler revolusi tengah bekerja di kedalaman masyarakat Tiongkok. Jika tekanan sosial ini terus menumpuk, maka revolusi bukanlah hal yang mustahil. Apalagi, dengan konektivitas digital, ide dan semangat perlawanan mudah melintas batas negara. Seperti percikan api yang menyalakan hutan kering, revolusi kaum muda di satu tempat bisa menjadi inspirasi bagi yang lain.
Bila gelombang revolusi itu tiba di Tiongkok
Bila gelombang revolusi Generasi Z benar-benar pecah di Tiongkok, dampaknya akan melampaui batas nasional. Tiongkok bukan hanya rumah bagi 1,4 miliar penduduk, tetapi juga pusat rantai pasok dunia. Guncangan politik di sana akan mempengaruhi pasar global, perdagangan, dan keseimbangan kekuatan internasional.
Namun yang paling penting, revolusi semacam itu akan membangunkan raksasa proletariat Tiongkok, kelas pekerja terbesar di dunia yang selama ini terkungkung dalam “Partai Komunis Tiongkok”. Partai ini tidak memiliki kesamaan dengan partai Bolshevik yang dibangun Lenin. Ini adalah warisan degenerasi partai-partai Stalinis di dunia. Bila mereka sadar akan kekuatannya sendiri, bukan tidak mungkin mereka juga akan menggulingkan ‘partai komunis’ ini seperti halnya di Nepal yang menggulingkan ‘partai-partai komunis’ mereka
Dunia hari ini sedang memasuki masa ketegangan sosial yang dalam. Di satu sisi, teknologi dan produksi telah mencapai tingkat kemajuan luar biasa; di sisi lain, ketidakpastian hidup justru meningkat. Generasi muda, terutama Generasi Z, adalah lapisan yang paling rentan terhadap pengangguran dan alienasi. Dengan kata lain mereka hidup di tengah sistem kapitalisme yang sekarat.
Apa yang terjadi di Nepal, Madagaskar, atau Peru bukan sekadar insiden politik lokal. Itu adalah gejala dari krisis global kapitalisme. Bila revolusi Generasi Z pecah di Tiongkok, dunia tidak lagi sama. Ia akan menjadi sinyal bahwa generasi baru telah bangkit untuk menantang tatanan lama—bukan karena idealisme abstrak, tetapi karena kebutuhan hidup yang nyata. Terlepas kaum muda Tiongkok hidup di bawah represi dan ketiadaan kebebasan berpendapat, mereka akan menemukan cara mereka sendiri untuk memulai revolusi “Gen Z” mereka. Dan seperti setiap revolusi besar dalam sejarah, semuanya dimulai dari satu hal yang sederhana namun kuat: ketika mereka yang muda berhenti takut!
