Belum lama ini muncul sebuah pernyataan yang mencengangkan dari Bill Gates, salah satu orang terkaya di dunia. Dia mengekspresikan keresahan akan ketimpangan kekayaan yang terjadi saat ini. Gates mengakui bahwa ada ketidakadilan yang terjadi, yang ditandai oleh kekayaan yang begitu besar di tangan segelintir orang termasuk dirinya, sedangkan di sisi lain banyak orang yang jatuh dalam jurang kemiskinan meskipun telah bekerja lebih keras. “Ketimpangan antara mereka yang berpendapatan tinggi dengan yang berpendapatan rendah di Amerika Serikat (AS) kini jauh lebih besar daripada 50 tahun lalu,” begitu tulis Bill Gates
Jika dilihat dari rekam jejaknya, ada hal-hal yang telah dia lakukan untuk merespons ketidakadilan ini. Yang paling signifikan adalah aksi filantropisnya. Sebenarnya bukan hanya Gates sendiri, namun sederetan miliarder sudah melakukan hal yang sama, yakni membangun yayasan amal dengan tujuan menyumbangkan kekayaan yang dimilikinya kepada orang-orang miskin. Hal ini membuat banyak orang mengagumi “kedermawanan” mereka.
Pada 2018 orang-orang terkaya ini menyumbangkan kekayaan mereka: Jeff Bozes dengan 0,1% kekayaannya, Bill Gates 2,6%, Warren Buffet 3,9% dan Mark Zukerberg 0,7%. Namun bila ditelisik lebih jauh pengeluaran untuk amal ini tak sebanding pendapatan mereka tiap tahunnya. Seperti yang dilaporkan, pendapatan Bill Gates mengalir Rp 5,5 juta per detik, serta dia sendiri memiliki kekayaan yang melampaui gabungan pendapatan per kapita negara Kroasia, Kamboja dan Bahama. Sedangkan Warren Buffett sendiri kekayaannya mengalir Rp 14 miliar per jamnya. Namun, aksi filantropis yang telah diluncurkan mereka – dan para pendahulu mereka karena kerja amal sudah dilakukan ratusan tahun lamanya – sampai saat ini belumlah mampu menyelesaikan permasalahan ketimpangan dan kemiskinan yang ada di masyarakat.
Gates kemungkinan besar menyadari hal di atas sehingga dia menyebutkan juga tentang peran negara dalam menghadapi persoalan ini melalui pajak. Dia mengatakan: “Saya mendukung sistem perpajakan, di mana orang yang menghasilkan uang lebih banyak akan membayar pajak yang lebih besar. Saya pikir orang-orang kaya harus membayarkan pajak yang lebih besar dari yang saat ini mereka lakukan, termasuk Melinda [istrinya] dan saya,”
Masalahnya adalah bagaimana mungkin negara menerapkan pajak tinggi terhadap para kapitalis sedangkan negara itu sendiri merupakan alat yang dikuasai oleh mereka dan digunakan untuk mengakumulasi kekayaan dengan mencuri nilai lebih yang dihasilkan buruh. Pengemplangan pajak oleh para miliarder juga adalah praktik yang menyebar dan bahkan “normal” serta “legal”. Kita saksikan skandal Panama Papers belum lama ini, dimana kaum kapitalis menggunakan negara-negara surga pajak (tax heaven) untuk mengamankan kekayaannya sehingga tidak dikuras oleh pajak.
Selain Gates, Mark Cuban salah seorang miliarder Amerika yang cukup dikenal “kedermawanannya” mempunyai perhatian yang sama terhadap isu ketimpangan distribusi kekayaan. Cuban berbicara mengenai penghargaan terhadap para pekerja. Dia mengatakan: “Jika seseorang hanya dibayar berdasarkan kerja yang mereka lakukan setiap jam, mereka akan selalu tertinggal, dan kesenjangan pendapatan akan terus melebar … Sebagai pengusaha kita harus memberikan saham kepada setiap orang yang bekerja untuk kita. Titik. Tidak ada pengecualian, karena hanya dengan cara itulah setiap orang akan mendapatkan segala jenis penghargaan ekuitas”
Pernyataan ini dilatarbelakangi oleh apa yang dilakukan oleh Cuban pada 1999 ketika ia menjual perusahaannya (broadcast.com) kepada Yahoo, dan 300 dari 330 karyawannya yang punya saham dalam perusahaan tersebut menjadi jutawan. Namun ini hanya satu contoh kecil dari keseluruhan karier bisnisnya, yang menunjukkan bahwa ini tidak bisa diterapkan secara luas. Selain itu, ini hanya mungkin bila perusahaan tersebut melejit harga sahamnya. Di kutub lainnya, puluhan ribu karyawan perusahaan Enron yang diberi kepemilikan saham sebagai bagian dari dana pensiun mereka justru kehilangan semua pensiun mereka ketika perusahaan tersebut tumbang pada 2001. Begitu juga puluhan ribu karyawan WorldCom yang kehilangan $1 miliar dana pensiunnya, yang ditanamkan ke saham perusahaan, ketika WorldCom bangkrut pada 2003.
Yang menarik adalah bagaimana pernyataan Cuban di atas sebenarnya menunjukkan secara tidak langsung adanya pencurian nilai lebih terhadap kaum buruh di seluruh korporasi di muka bumi ini oleh para kapitalis. Di situlah letak persoalannya, yang jauh dari solusi yang ditawarkan oleh para filantropis terhormat kita ini.
Aksi-aksi filantropi seperti ini tidak pernah menyelesaikan akar masalah dari kemiskinan. Aksi filantropi dari kaum kaya hanya mungkin ada dalam masyarakat yang bersendi pada penghisapan mayoritas yang bekerja oleh minoritas yang menguasai tuas-tuas ekonomi. Aksi moral filantropi hanyalah topeng untuk menutupi akumulasi kekayaan gila-gilaan dari kelas parasit kapitalis. Seperti yang ditulis lebih dari 150 tahun yang lalu oleh Marx dan Engels: “Sebagian kaum borjuasi ingin memperbaiki kepincangan-kepincangan sosial guna menjamin keberlangsungan masyarakat borjuis. Di antara lapisan ini kita temui ahli ekonomi, filantropis, penggiat kerja kemanusiaan, orang-orang yang ingin memperbaiki taraf hidup kelas buruh, badan-badan amal, para anggota organisasi pencegah kekejaman terhadap binatang … [Mereka] menginginkan semua manfaat dari kondisi-kondisi sosial modern [kapitalisme] tanpa perjuangan dan bahaya yang niscaya timbul darinya. Mereka menginginkan keadaan masyarakat yang sekarang, zonder anasir-anasirnya yang revolusioner dan yang mendatangkan kehancuran. Mereka menginginkan borjuasi tanpa proletariat.”
Kemiskinan dan kelaparan tidak bisa diakhiri oleh mereka-mereka yang menghisap kaum miskin dan menjadi kaya darinya. Kemiskinan dan kelaparan hanya bisa diakhiri justru oleh kaum miskin itu sendiri, yakni rakyat pekerja yang sesungguhnya bekerja menciptakan seluruh kekayaan di muka bumi, dengan merebut kekuatan dan kendali ekonomi dari Bill Gates dan sobat-sobatnya. Rakyat miskin tidak butuh amal dan belas kasihan. Mereka butuh kendali atas nasib mereka sendiri, yang berarti kendali atas tuas-tuas ekonomi masyarakat. Mereka butuh sosialisme.