Setelah lebih dari 2 tahun memorak-porandakan dunia, pandemi Covid-19 diperkirakan akan menjadi endemi dalam tahun-tahun ke depan. Banyak pemerintah yang merasa optimis dengan antisipasi ini dan berharap badai pandemi ini akan berlalu dalam waktu dekat sehingga normalitas dapat kembali. Tetapi, optimisme mereka salah alamat dan akan cepat pupus. Transisi pandemi menjadi endemi tidak akan menyelesaikan krisis mendalam yang menimpa masyarakat hari ini.
Menjadi endemi berarti virus ini akan terus menyertai manusia, dengan penyebaran penyakit dan tingkat penularan yang relatif rendah dan dapat diprediksi. Semisal, penyakit lain yang termasuk endemi adalah malaria dan TBC. Dahulu, influenza pun masuk ke kategori pandemi, yang pada 1918 membunuh lebih dari 50 juta penduduk.
Banyak peneliti yang mengantisipasi berubahnya pandemi Covid-19 menjadi endemi, bila bukan tahun ini maka tahun depan, terutama dengan varian Omicron yang terakhir ini. Di panel World Economic Forum pada 18 Januari dengan tema “Does Omicron mean the end for Covid-19?”, Anthony Fauci mengatakan, Covid-19 tidak akan menghilang seperti cacar tetapi kemungkinan besar akan menjadi endemi. Walaupun Fauci membumbui optimisme ini dengan kehati-hatian, tetapi pemerintah di seluruh dunia jelas mendengar kabar ini dengan lega. Mereka telah lama menunggu transisi pandemi ini menjadi endemi, karena pandemi ini telah membuat pijakan mereka goyah dan kursi mereka tak nyaman selama dua tahun terakhir.
Cepat atau lambat, pandemi ini akan berlalu dan berubah menjadi endemi. Namun, berapa harga yang harus dibayar oleh kesembronoan dan inkompetensi kapitalisme dalam melalui pandemi ini? Korban jiwa telah mencapai 5,6 juta sampai hari ini, setidaknya yang tercatat secara resmi. Berdasarkan perkiraan para pakar epidemi, jumlah kematian yang sesungguhnya bisa mencapai 2-4 kali lipat, mencapai setinggi 23,3 juta per Januari 2022 menurut majalah The Economist. Tidak hanya jumlah kematian saja, komplikasi kesehatan yang disebabkan oleh virus ini telah memporakporandakan kehidupan ratusan juta rakyat, belum lagi dampak ekonominya.
Bahkan bila ini menjadi endemi, politisi yang kegirangan akan prospek transisi ini sepertinya dengan nyaman melupakan fakta bahwa penyakit-penyakit endemi di dunia adalah pembunuh yang ganas. Endemi malaria membunuh lebih dari 600.000 warga pada 2020 saja. Endemi TBC menjangkiti 10 juta warga dunia pada tahun yang sama, dan membunuh 1,5 juta penduduk. Endemi Covid-19 bukanlah akhir dari kesengsaraan rakyat pekerja, dan hanya berarti menambah satu lagi beban penyakit pada mereka. Kaum kaya bisa mengakses pelayanan kesehatan berkualitas tinggi bila terjangkiti Covid-19, sementara yang miskin harus puas dengan panadol dan kompres dingin.
Kelas penguasa mendambakan status endemi supaya mereka tidak perlu lagi melakukan apapun, seperti halnya mereka telah mengabaikan penyakit-penyakit endemi lainnya, yang seharusnya bisa dengan mudah diberantas. Ini terutama akan menjadi endemi negeri-negeri miskin yang tidak akan memiliki cukup sumber daya untuk membiayai APD, vaksin, obat antiviral, dan ruang ICU yang dibutuhkan. Pelayanan kesehatan publik yang sebelumnya sudah kritis dan tak memadai karena terus dipangkas akan menjadi semakin tertatih-tatih, dan konsekuensinya: standar hidup rakyat pekerja akan terus jatuh.
Pandemi ini juga telah meninggalkan bekas yang mendalam dalam kesadaran rakyat pekerja, yang menyingkap semua keterbatasan sistem kapitalisme. Jurang yang menganga antara yang kaya dan miskin menjadi tontonan yang mengerikan di hadapan publik luas, bahwa bahkan virus yang semestinya tidak pandang bulu siapa yang ia jangkiti ternyata memiliki bias: yakni bias kelas, bias kekayaan, dan bias ras.
Kita akan saksikan letupan-letupan baru, terutama setelah kebijakan-kebijakan pembatasan mulai dilonggarkan. Tidak semuanya akan langsung berurusan dengan pandemi, tetapi pandemi ini akan menjadi faktor penting yang mempertajam keresahan rakyat yang telah menumpuk tinggi: pengangguran, kenaikan harga sembako, upah rendah, pelayanan kesehatan yang buruk, dsb. Terlebih, setelah pandemi ini nantinya dinyatakan selesai, rakyat pekerja akan menuntut kembali apa yang sebelumnya telah mereka korbankan. Mereka telah diminta mengencangkan ikat pinggang mereka selama pandemi, dan mereka kini akan melonggarkan ikat pinggang mereka dan menuntut makanan layak untuk mengisi perut mereka, dan bahkan tali pinggang dan celana baru.
Pemerintah tidak bisa lagi menyalahkan pandemi atas problem-problem ekonomi yang mereka hadapi. Sesungguhnya, problem-problem ekonomi ini sudah ada bahkan sebelum pandemi. Dan setelah pandemi berlalu, problem-problem ini akan terus ada: defisit besar dalam anggaran pemerintah, tingkat hutang negara dan rumah tangga yang besar, dan kelesuan ekonomi bahkan dengan tingkat suku bunga yang sudah hampir nol. Mendasari problem-problem ekonomi ini adalah krisis over produksi, yang seperti jelas Marx merupakan kontradiksi inheren dalam kapitalisme. Hutang dijadikan instrumen untuk memperluas permintaan dari pasar yang sudah jenuh, sementara kapitalis tidak lagi melakukan investasi produktif bahkan setelah diberi begitu banyak uang murah oleh pemerintah, karena tidak ada pasar yang mampu menyerap komoditas mereka. Situasi berbalik menjadi bencana inflasi dan krisis rantai pasok, ketika triliunan dolar “paket penyelamatan pandemi” yang mereka pompa ke ekonomi menciptakan lonjakan permintaan yang tak mampu ditangani oleh pasar. Demikianlah anarki pasar “bebas” kapitalisme.
Kelas penguasa dan negara-negara mereka oleh karenanya terlalu gegabah membayangkan kalau berubahnya pandemi menjadi endemi akan mengantarkan mereka ke semacam normalitas. Ada krisis organik dalam kapitalisme. Kapitalisme akan keluar dari satu krisis hanya untuk masuk ke krisis selanjutnya yang lebih dalam dan luas. Perjuangan kelas proletariat yang menajam menjadi tak terelakkan, dan ini menuntut kaum revolusioner untuk mempersiapkan Partai Revolusioner yang akan mampu memimpin proletariat mengakhiri horor kapitalisme tanpa akhir ini. Tugas ini harus dilakukan sekarang juga, dengan keuletan dan juga dengan urgensi.