Perjuangan untuk kedaulatan nasional atau perjuangan pembebasan nasional secara historis merupakan perjuangan utama dari negara-negara “ketiga”. Dimulai dari perjuangan negara-negara kolonial untuk merebut kemerdekaannya puluhan tahun yang lalu, sampai perjuangan hari ini untuk membebaskan diri mereka dari cengkraman modal asing. Perjuangan untuk kesejahteraan rakyat negara-negara ketiga tidak pernah terpisah dari perlawanan terhadap modal asing, terhadap imperialisme.
Di abad ke-21 ini, Revolusi Bolivarian di Venezuela membuka sebuah babak baru di dalam perjuangan melawan kapitalisme dan imperialisme. Setelah runtuhnya Uni Soviet, yang dielu-elukan oleh kelas kapitalis sebagai akhir dari sosialisme dan revolusi, rakyat Venezuela telah menunjukkan secara konkrit bahwa perjuangan sosialisme tidaklah berakhir dengan keruntuhan dan kegagalan Uni Soviet. Pengalaman di Venezuela telah menjadi inspirasi bagi jutaan rakyat yang tertindas dan banyak pelajaran yang bisa diambil dari gerakan Bolivarian.
Di Indonesia sendiri, gerakan anti neo-liberal (anti imperialis) sudah bukan menjadi monopoli kaum kiri. Elit-elit politik sudah mulai menggunakan jargon dan retorika anti neo-liberal untuk meraup dukungan dari rakyat tertindas.
Evolusi Revolusi Bolivarian
Lahirnya Revolusi Bolivarian bisa ditelusuri dari peristiwa Caracazo pada tahun 1989. Jutaan rakyat miskin Venezuela tumpah ruah ke jalanan ketika presiden Carlos Andres Perez menerapkan kebijakan pasar bebas atas rekomendasi IMF yang memotong subsidi dan menprivatisasi perusahaan-perusahaan milik negara. Akibat dari kebijakan ini, harga BBM dan ongkos transportasi serta harga barang sehari-hari melonjak tinggi. Presiden Perez lalu memerintahkan polisi dan tentara untuk menembaki rakyat yang melawan. Ribuan orang terbunuh dan banyak lainnya yang menghilang.
Beberapa tahun kemudian pada tahun 1992, sekelompok tentara progresif di bawah kepemimpinan Chavez mencoba melakukan kudeta militer. Ketika pemerintah Carlos Andres Perez menggunakan tentara untuk merepresi pemberontakan Caracazo, ini memecahkan tentara ke dalam garis kelas. Tentara-tentara bawahan yang lebih dekat dengan rakyat merasa muak digunakan sebagai alat untuk menindas kelasnya sendiri dan mereka memberontak. Pada saat kudeta ini terjadi tidak ada dukungan dari rakyat luas karena mereka tidak tahu apakah kudeta ini hanyalah kudeta reaksioner, yakni perebutan kekuasaan antara elit politik, atau kudeta progresif. Tetapi ketika berita mengenai karakter kudeta ini tersebar, terutama ketika Chavez tampil di televisi memerintahkan pasukannya untuk mundur “untuk sekarang” (por ahora), rakyat Venezuela tahu bahwa mereka telah menemukan pemimpin mereka, ekspresi dari kehendak mereka.
Situasi politik di Venezuela semenjak itu tidak pernah sama lagi. Guncangan pemberontakan Caracazo dan usaha kudeta militer progresif telah membuat kaum borjuasi Venezuela gemetar. Mereka telah kehilangan legitimasi dan terpaksa membuat konsensi-konsensi. Satu bagian dari kaum borjuasi mengerti bahwa mereka harus melakukan reformasi untuk menenangkan amarah rakyat, bahwa pemerintahan yang ada sekarang tidak bisa dipertahankan lagi dan semakin lama ia dipertahankan semakin berbahaya situasi ini. Ini seperti yang terjadi juga di Indonesia ketika para elit-elit politik dan militer Indonesia mengerti bahwa Soeharto haruslah turun demi menjaga kelanggengan kekuasaan mereka secara keseluruhan.
Pemerintah yang selanjutnya naik pada tahun 1994 adalah pemerintah yang bernuansa reformis di bawah presiden Caldera (dari MAS) dengan salah satu platform demokrasi yakni memberikan amnesti kepada para pelaku kudeta 1992. Chavez dibebaskan dan segera membentuk sebuah partai baru, MVR (Gerakan Republik Kelima). MVR membentuk koalisi dengan partai-partai kecil lainnya yang kemudian membawa Chavez terpilih sebagai presiden pada tahun 1998.
Harus diingat, pada awalnya, Chavez hanyalah menawarkan program “Jalan Ketiga” guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ia adalah pengagum “Jalan Ketiga”nya Tony Blair, yakni gabungan antara kebijakan pasar bebas dengan kebijakan “sosialis” Akan tetapi, ia segera menemukan halangan yang besar. Kebijakan-kebijakan reformasinya yang moderat untuk mengangkat rakyat Venezuela dari kemiskinan segera ditentang oleh kaum kapitalis Venezuela. Kaum borjuis nasional Venezuela tidak ingin terlibat sama sekali dengan kebijakan “Jalan Ketiga”nya Chavez karena di belakang Chavez adalah rakyat miskin yang semakin terradikalisasi secara politik. Sabotase-sabotase dilakukan tetapi para pemimpin Revolusi Bolivarian pada saat itu masihlah memiliki ilusi untuk merangkul kaum borjuis nasional yang progresif. Chavez masih menyerukan ajakan-ajakan kepada kaum borjuis nasional Venezuela untuk turut serta dalam gerakan nasionalnya untuk membawa Venezuela maju.
Apa jawaban dari kaum borjuis nasional Venezuela? Campakkan program reformasi kamu atau kami akan bertindak! Maka bertindaklah mereka dengan sabotase-sabotase ekonomi dan politik, kampanye media fitnah besar-besaran, yang memuncak pada kudeta April 2002. Akan tetapi, di belakang Chavez adalah massa yang sudah terbangunkan secara politik dan sadar akan kekuatan mereka. Jutaan rakyat Venezuela bergerak menyelamatkan revolusi. Kudeta April 2002 digagalkan.
Akan tetapi Chavez dan para pemimpin reformis Gerakan Bolivarian masih menyerukan kepada kaum oligarki Venezuela untuk berdialog. Namun tidak ada kaum borjuis yang progresif di Venezuela. Seruan ini seperti angin berlalu. Pada akhir tahun 2002 dan awal 2003, para pemilik modal Venezuela melakukan sabotase ekonomi. Industri minyak negara disabotase dengan bantuan manajer-manajer level tinggi di PDVSA (Perusahaan Minyak Negara), yang diikuti dengan penutupan toko-toko dan bisnis untuk melumpuhkan Venezuela. Sekali lagi, rakyat Venezuela lah yang bergerak untuk menyelamatkan revolusi Venezuela. Sabotase ekonomi tersebut dipatahkan. Para buruh minyak PDVSA menjalankan industri minyak tanpa manajer. Seruan kepada kaum borjuis progresif tidak mendapat angin sama sekali bukan karena seruan tersebut kurang karismatik atau tidak dilakukan dengan cara yang tepat, tetapi karena mereka tidak eksis sama sekali.
Setelah kudeta militer dan sabotase ekonomi gagal, rakyat Venezuela semakin terradikalisasi karena mereka menyadari kekuatan mereka. Lalu taktik kaum borjuis nasional selanjutnya adalah dengan menyerukan kampanye recall untuk memecat presiden Chavez. Usaha ini sekali lagi dipatahkan oleh rakyat Venezuela. Elemen-elemen reformis kiri di dalam gerakan Bolivarian, yang berpendapat bahwa revolusi ini adalah revolusi borjuis demokratik yang harus melibatkan kaum borjuis nasional, semakin kehilangan dukungan karena perspektif mereka terbukti keliru di dalam praktek. Rakyat menjadi semakin radikal dan Chavez pun terdorong semakin radikal.
Lalu pada tahun 2005, Chavez menyatakan bahwa Revolusi Bolivarian adalah revolusi yang berwatakkan sosialisme, bahwa tidak ada jalan keluar di dalam kapitalisme. Apa tanggapan rakyat miskin Venezuela? Mereka bersorak sorai dan semakin mendukung Chavez; insting mereka selama ini yang menentang kapitalisme dan mendukung sosialisme mendapatkan ekspresinya dan kepemimpinannya. Gerakan Bolivarian mengalami loncatan kualitatif; yang dulunya terkerangkeng dalam batasan revolusi demokrasi – batasan artifisial yang dibangun oleh kaum reformis kiri Venezuela dan absennya kepemimpinan – sekarang terbebaskan untuk mengambil langkah-langkah menuju sosialisme.
Semenjak itu, nasionalisasi pabrik-pabrik semakin gencar dilakukan di Venezuela. Gerakan okupasi pabrik dan kontrol buruh berjamuran. Dewan-dewan komunal tumbuh secara akar rumput.
Kedaulatan nasional dan kapitalisme
Satu pelajaran penting dari Venezuela adalah bahwa kedaulatan nasional tidak akan dapat tercapai di bawah kapitalisme. Tidak ada satupun kaum borjuis nasional yang mampu dan ingin secara serius membawa kedaulatan nasional. Mereka terikat dengan kekuatan modal asing. Inilah pelajaran dari Revolusi Bolivarian. Adalah suatu keajaiban bahwa Revolusi Bolivarian telah bertahan selama lebih dari 10 tahun. Ini hanya karena keberanian rakyat Venezuela yang berulang kali menyelamatkan Revolusi Venezula, dan juga karena kelemahan kaum oligarki Venezuela yang tidak mampu merebut kekuasaan, dan juga kelemahan imperialisme secara umum pada periode ini.
Revolusi Bolivarian berkali-kali harus menghadang maut karena kesalahan perspektif (perspektif “jalan ketiga” dan perspektif merangkul kaum borjuis nasional) dari kepemimpinan mereka; dalam situasi normal ini biasanya akan berakhir di dalam konter-revolusi (seperti dalam kasus Allende di Chili). Tidak ada revolusi yang berlangsung begitu lama di dalam sejarah tanpa adanya perebutan kekuasaan yang pasti dari satu pihak. Tetapi keberuntungan ini tidaklah akan bertahan lama, dan Revolusi Venezuela harus segera mengambil langkah-langkah pasti menuju sosialisme.
Indonesia dan perjuangan kedaulatan nasional
Di Indonesia, perjuangan untuk pembebasan nasional tidak bisa terpisahkan dari perjuangan melawan kapitalisme. Satu-satunya kekuatan yang mampu membawa pembebasan nasional adalah kelas buruh dengan bantuan kelas tani dan kaum miskin kota. Inilah satu-satunya kekuatan yang harus diandalkan.
Beberapa sektor borjuis nasional menggonggong kepada tuan imperialis mereka hanya karena mereka ingin kue jarahan yang lebih besar, dan juga karena mereka sadar bahwa eksploitasi modal asing yang terlalu berlebihan adalah berbahaya bagi kelanggengan kapitalisme di Indonesia. Kapitalisme telah memasuki krisis dan ini biasanya akan membawa juga perpecahan di dalam tubuh kaum borjuis, perpecahan dalam taktik bagaimana menyelamatkan kapitalisme. Krisis ekonomi membawa krisis politik, bukan hanya antar kelas tetapi juga di dalam kelas itu sendiri. Akan tetapi pada akhirnya, kaum borjuis nasional setuju dalam satu hal: bagaimana menyelamatkan kapitalisme.
Pertanyaannya adalah bagaimana menggunakan keretakan tersebut untuk memajukan gerakan rakyat pekerja. Caranya adalah bukan dengan menyerukan kolaborasi kelas dengan sektor-sektor borjuis reformis yang akan menumpulkan kesadaran kelas buruh, tetapi dengan mengekspos kebangkrutan kaum borjuis reformis tersebut yang akan menguatkan rasa percaya diri kelas buruh sebagai satu-satunya kelas yang mampu secara penuh dan serius menuntaskan program-program reformasi (kedaulatan nasional, demokrasi, dll) dan sosialis.