Angka lima puluh selalu memiliki pesonanya tersendiri dalam perayaan hari peringatan. Entah itu dalam perayaan ulang tahun, pernikahan, kemerdekaan sebuah bangsa, dsb., selalu ada semacam mistisisme yang meliputi peringatan ke-50. Begitu juga dengan 30 September tahun ini, satu hari kelam yang mengubah nasib seluruh rakyat pekerja Indonesia. Bahkan tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa G30S dan pembantaian yang menyusulnya juga mengubah sejarah dunia. Bila saja Partai Komunis Indonesia berhasil merebut kekuasaan dan meluncurkan revolusi proletariat di bumi Indonesia, seluruh Asia Tenggara tak diragukan lagi akan menjadi merah dan dunia tidak akan pernah sama. Efek domino semacam inilah yang sangat ditakuti oleh imperialisme AS dan ini menjelaskan peran aktif AS dalam pembantaian 1965. Tragedi 1965, maka dari itu, haruslah dilihat dari konteks sejarah dunia pada saat itu.
Tahun 1960-70an menyaksikan sebuah gelombang revolusioner yang menyapu hampir seluruh dunia. Kita saksikan dari satu negeri ke negeri lain gejolak perlawanan yang tak terbendung dari kaum buruh dan tani yang menuntut kebebasan dari cekikan kapitalisme dan imperialisme, yang menggedor keras pintu kekuasaan kelas kapitalis dan tuan tanah. Kebangkitan PKI selama 1955-1965 sebagai kekuatan massa buruh dan tani adalah salah satu ekspresi dari periode revolusioner pada saat itu. Setelah diremukkan secara berdarah-darah pada 1927 oleh pemerintahan kolonial Belanda, dan lagi pada 1948 oleh pemerintahan Soekarno-Hatta yang saat itu memilih tunduk pada imperialisme, PKI kembali ke panggung politik radikal pada 1955 untuk memenuhi tugas sejarah kelas proletariat: mengubur kapitalisme dan membangun sosialisme. Tidaklah keliru kalau kita mengatakan bahwa PKI adalah anak zaman. Nasibnya terikat erat dengan kelas proletariat. Ia lahir bersamaan dengan munculnya proletariat di bumi Indonesia, dan malangnya mati bersama pula seperti yang kita saksikan pada 1965. Mari kita tilik sejenak sejarah keterikatan PKI dengan basis kelasnya.
Keterikatan organik PKI dengan kelas proletariat terbangun semenjak masuknya kapitalisme ke bumi Indonesia. Pada awal 1900an, kapitalisme dunia telah mencapai tahapan tertingginya, yakni imperialisme. Di sini ekspor komoditas yang merupakan ciri-ciri kapitalisme awal telah berubah menjadi ekspor kapital. Seperti ujar Marx, kapital harus terus menyebar dan bersarang di mana-mana. Rel kereta api, pabrik gula, perkebunan karet, tambang minyak, dsb. dibangun oleh kapitalisme Belanda, dan dengan demikian terciptalah kelas buruh di Indonesia. Dengan segera buruh Indonesia berbenturan dengan pemerintahan kolonial Belanda. Mereka mulai melakukan aksi-aksi massa untuk menuntut upah yang lebih baik, hak berserikat dan berorganisasi, hak-hak demokratik dan politik, dan juga kebebasan dari penjajahan. Situasi yang mulai bergejolak ini tercermin dari iklan yang dipasang oleh seorang pengusaha gula Belanda pada 1913: “Dicari, opsir militer Hindia Belanda yang berkemampuan, paham akan meningkatnya keresahan yang sedang terjadi dalam masyarakat Pribumi di Jawa, siap memberikan nasihat bagi sejumlah pengurus perusahaan besar dalam mengatur pengamanan instalasi mereka menghadapi serangan.”
Pada saat yang sama, pada November 1917, kaum proletar Rusia yang dipimpin oleh Partai Bolshevik mengejutkan seluruh dunia dengan menumbangkan kapitalisme dan merebut kekuasaan. Gema revolusi sosialis ini mencapai telinga kaum buruh Indonesia dan menjadi inspirasi bagi mereka untuk mulai mengorganisir partai revolusioner mereka dan mengikuti jejak saudara-saudari mereka di Rusia. Pada hari Natal 1917 di depan kaum demonstran di Jakarta, Baars, salah seorang pemimpin ISDV (Asosiasi Sosial Demokrasi Hindia, yang adalah cikal bakal PKI nantinya), berpidato demikian: “Kaum kelas bawah harus segera diorganisasikan! Kalian harus melakukannya sekarang, kita harus mengikuti jejak Rusia sekarang juga… Lakukan sebagaimana yang telah dilakukan orang Rusia maka kemenangan akan menjadi milik kalian!” Dengan demikian, pada 23 Mei 1920 lahirlah Partai Komunis Indonesia, sebagai ekspresi niscaya dari perjuangan kelas yang semakin menajam di Indonesia dan letupan revolusi sosialis di Rusia. Partai ini tumbuh dengan pesat dan menjadi pelopor untuk tidak hanya perjuangan kelas tetapi juga perjuangan kemerdekaan.
Dalam tahun-tahun berikutnya, PKI menjadi ancaman terbesar bagi pemerintahan kolonial Belanda. Ia mampu menghimpun kaum buruh dan muda yang paling revolusioner ke dalam barisannya dan memberikan kepemimpinan revolusioner yang dibutuhkan oleh gerakan buruh yang semakin hari semakin militan. Akan tetapi gelombang radikalisasi ini mencapai puncaknya pada 1924, dan setelah itu mulai mengalami penurunan. Pasang naik dan pasang surut adalah bagian dari dinamika gerakan. Sebuah partai revolusioner harus bisa menyesuaikan dirinya pada dinamika ini: mengambil kesempatan untuk tumbuh pada masa pasang naik, dan mundur secara teratur pada masa pasang surut guna mengamankan kekuatan-kekuatan terbaik mereka dan menyiapkan diri untuk pasang naik selanjutnya. Namun, alih-alih mundur secara teratur, PKI mencoba menciptakan kondisi revolusioner secara artifisial dengan mengobarkan putsch pada 1926. Hasil dari tindakan avonturis ini mudah ditebak: kehancuran PKI secara fisik. Ribuan kadernya dieksekusi, dipenjara atau dibuang ke Digul.
Walaupun secara organisasional hancur, semangat perjuangan komunisme tetap melekat di sanubari rakyat Indonesia, terutama kaum muda yang revolusioner. Belanda bisa saja menghancurkan PKI sebagai sebuah organisasi, tetapi gagasan dan kepahlawanan mereka tidak bisa dihapus begitu saja dari memori rakyat pekerja. Bukan sebuah kebetulan kalau pemuda-pemudi yang menculik dan memaksa Soekarno dan Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia adalah komunis. Kaum komunis dimana-mana telah membuktikan dirinya sebagai pejuang kemerdekaan yang paling konsisten. Setelah kalahnya Jepang pada Agustus 1945, kaum komunis yang sebelumnya terpencar-pencar dan bekerja di bawah tanah kembali berhimpun. PKI lahir kembali dan dengan cepat menjadi salah satu kekuatan utama dalam melawan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.
Perjuangan kemerdekaan Indonesia de fakto terpecah menjadi dua kubu. Di satu sisi adalah pemerintahan Soekarno-Hatta yang terus ingin memberikan konsesi pada imperialisme dan selalu takut untuk menuntaskan perjuangan kemerdekaan sampai 100%. Kaum nasionalis kanan ini puas dengan kemerdekaan yang parsial, dimana Indonesia tetap berada di bawah kendali ekonomi dan politik Belanda. Misalnya, persetujuan Linggarjati dimana para pemimpin nasionalis kanan ini setuju Indonesia menjadi bagian dari persemakmuran Belanda. Di sisi lain adalah kaum nasionalis kiri yang menuntut kemerdekaan penuh, dimana Indonesia berdaulat secara ekonomi dan politik. PKI dan Persatuan Perjuangannya Tan Malaka berada di dalam kubu Kiri sebagai tendensi yang paling radikal dan revolusioner. Mereka tidak hanya memperjuangkan kemerdekaan 100%, tetapi juga program-program sosialis. Perang saudara pun berkecamuk. Tentara pemerintahan Soekarno-Hatta dimobilisasi terutama untuk menumpas kaum komunis. PKI dihancurkan pada pemberontakan Madiun pada September 1948, sementara pemimpin PP Tan Malaka dieksekusi pada Februari 1949. Puluhan ribu kaum komunis dibantai dan dipenjara oleh bangsanya sendiri karena ingin membebaskan rakyat pekerja dari kapitalisme.
Sekarang kita masuki babak ketiga, dan terakhir, dari perjalanan PKI. Seperti yang kita telah katakan di atas, PKI boleh saja diremukkan secara organisasional tetapi ikatan organiknya dengan kelas buruh dan tani tak bisa dipatahkan. Tidak lama setelah ditumpas pada 1948, trio muda Aidit-Lukman-Nyoto segera mengorganisir kembali partai ini dan dalam waktu singkat PKI kembali muncul sebagai kekuatan massa. Ia tampil sebagai partai terbesar ke empat dalam pemilu 1955, dan terus tumbuh sampai memiliki 3 juta anggota dan 20 juta pengikut dan simpatisan. Buruh dan tani berhimpun di seputar PKI karena program utama partai ini yang mengekspresikan kepentingan kelas mereka: bagi buruh, merebut kepemilikan pabrik dan semua tuas ekonomi dari kapitalis; bagi tani, merebut tanah dari para tuan tanah. Harapan inilah yang digantungkan oleh buruh dan tani pada partai mereka.
Pada akhirnya, semua pertentangan yang telah kita saksikan sepanjang sejarah antara PKI dan semua kekuatan reaksioner yang bersatu untuk menumpasnya (kapitalis, tuan tanah, dan imperialis) berpusar pada masalah kepemilikan atas alat-alat produksi. Kaum komunis ingin menghancurkan kekeramatan dari kepemilikan pribadi atas pabrik, perkebunan, tambang, bank, dan semua tuas ekonomi penting, dan meletakkan kekuatan ekonomi ini ke dalam kepemilikan umum untuk dijalankan secara demokratis demi kebutuhan rakyat pekerja. Sementara kaum kapitalis dan imperialis ingin menjaga kepemilikan pribadi mereka ini dan mempertahankan privilese mereka untuk menindas buruh dan tani. Inilah pertentangan kelas yang telah berlangsung ratusan tahun antara dua kubu yang tak terdamaikan: buruh dan kapitalis.
Kali ini, pada babak ketiga yang menentukan, harus ada pemenang mutlak. Kelas penguasa sudah tidak bisa lagi menolerir keberadaan PKI, terutama pada masa Perang Dingin. Kemenangan komunisme di Indonesia, salah satu negeri terpenting di Asia, dapat mengobarkan revolusi di negeri-negeri sekitarnya. Semua mata tertuju pada PKI: kapan mereka akan merebut kekuasaan dan meluncurkan revolusi sosialis? Sayangnya, kepemimpinan PKI tidak punya perspektif untuk memimpin buruh merebut kekuasaan. Mereka terjebak pada teori dua-tahap (revolusi nasional dulu, dan baru setelah itu revolusi sosialis) yang secara efektif membuat PKI impoten. Di sini bukan tempatnya untuk mengupas kekeliruan teoretis dari kepemimpinan PKI (baca Tragedi 30 September: Berhenti Mengeluh). Pendeknya, bila kelas buruh tidak mampu merebut kekuasaan – dalam kasus ini kepemimpinan PKI menolak merebut kekuasaan – saat dimana situasi objektif sudah matang, maka kelas kapitalislah yang akan tampil menang dan membuka gerbang ke periode reaksi.
Kelas penguasa juga belajar dari pengalaman mereka. Kali ini, penumpasan terhadap PKI tidak boleh lagi dilakukan setengah-setengah seperti pada 1926 dan 1948. Penangkapan dan eksekusi terhadap anggota partai sudah tidak lagi memadai. Harus dilakukan “genosida” menyeluruh terhadap basis mereka: buruh dan tani terutama. Inilah alasan mengapa pada 1965-66 kelas penguasa tidak lagi segan-segan membantai sampai 3 juta orang dengan kekejaman yang tanpa preseden, yang bahkan membuat kekejaman penjajahan Belanda dan Jepang seperti mainan anak-anak.
Segala sesuatu yang lahir pada akhirnya akan punah juga. Setelah berkali-kali “bangkit dari kubur”, PKI akhirnya sungguh mati pada 1965. Penumpasan fisik dan ideologis yang dilakukan oleh rejim Soeharto tentunya merupakan faktor. Tetapi yang membuat PKI tidak bisa bangkit kembali seperti dulu kala adalah kesalahan fatal dari kepemimpinan Aidit dkk. Sebuah partai tidak bisa terus menerus membuat kesalahan dan berharap ia bisa dimaafkan oleh sejarah. Sejarah adalah hakim yang kejam. Kalau kegagalan pemberontakan PKI pada 1926 dan 1948 dilihat oleh massa buruh dan tani sebagai inspirasi dan kepahlawanan, tidak demikian pada 1965. Ia berbuah demoralisasi yang begitu dalam sehingga mengubur partai ini untuk selama-lamanya.
PKI tidak akan bangkit kembali. Tetapi semangat yang terkandung di dalamnya terus menyala di dalam dada semua insan yang hatinya tergerak melihat buruh dan tani yang tertindas. Inilah bahaya laten PKI yang terus meresahkan kelas penguasa. Mereka masih ingat betul rasa takut yang disebabkan oleh jutaan massa buruh dan tani yang berpolitik radikal di seputar PKI. Rasa takut ini masih menggentayangi kelas penguasa dan membuat tidur mereka terus terusik.
Tragedi 1965 oleh karenanya bukanlah tragedi kemanusiaan semata. Ia bukanlah hasil dari kekejaman buta dari satu kelompok terhadap kelompok yang lain. Ia adalah kulminasi dari pertentangan kelas yang tak terdamaikan. Ia adalah tragedi kelas proletar. Dilahirkan dari pertentangan kelas, maka ia harus diselesaikan dengan pertentangan kelas, yang penyelesaiannya hanya satu: pabrik untuk buruh, tanah untuk tani.