Proyek Uni Eropa sekali lagi terhantam oleh krisis pandemi. Semangat solidaritas Eropa jadi buah bibir saja, dengan tiap-tiap negara UE berebutan APD dan vaksin.
Adanya birokrasi yang mengelola perekonomian dan negara, menimbulkan inefisiensi, pemborosan, korupsi dan kemalasan. Menghadapi situasi ini, Ordering Task mengusulkan penggunaan mekanisme pasar dan insentif material sebagai cambuk untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Masalahnya, jalan ini membuka pintu bagi kecenderungan kuat menuju pemulihan kapitalisme. Borjuasi kecil yang digambarkan oleh penulis #MásSocialismo tidak berbahaya dalam dirinya sendiri, melainkan karena memiliki pasar dunia dan kapitalis Kuba di Miami yang berdiri di belakangnya.
Belum lama yang lalu, dosen Universitas Indonesia Ade Armando membuat geger dunia “masyarakat sipil” dengan deklarasi pembentukan Civil Society Watch. CSW berambisi menjadi pengawas demokrasi, tetapi pertanyaan yang lantas muncul: Siapa yang akan mengawasi sang pengawas? Di sini pengalaman Soviet (dewan rakyat) dapat memberi jawaban.
Hari ini, kelas penguasa sangat ketakutan terhadap setiap demonstrasi. Pandemi dan krisis yang menyertainya telah mengekspose ketidakbecusan pemerintah.
Sebagai kaum Marxis dan internasionalis, kami tidaklah netral dalam konflik ini. Kami membela hak rakyat Palestina untuk memiliki tanah air mereka dan hak mereka untuk melawan penindasan dan membela kehidupan mereka dengan cara apapun yang diperlukan. Kekerasan kaum tertindas tidak pernah bisa disamakan dengan kekerasan kaum penindas.
Satu-satunya solidaritas sejati yang dapat diandalkan oleh rakyat Myanmar datang dari saudara-saudari kelas mereka di Indonesia dan negeri-negeri lainnya. Jangan percaya pada apa-yang-disebut “Komunitas Internasional”, seperti ASEAN, PBB, dll. Penangkapan yang sewenang-wenang yang dilakukan rejim Jokowi terhadap terhadap aktivis solidaritas Myanmar jelas mengekspos kemunafikan rejim ini, yang berceramah mengenai demokrasi sembari mencekiknya. Kaum revolusioner Myanmar, Indonesia, Thailand, Singapura, dan seluruh Asia Tenggara menghadapi musuh bersama yang sama: kediktatoran kapital.
Sejak keruntuhan ekonomi 2008 yang melahirkan gejolak perlawanan kaum pekerja di berbagai belahan dunia, gagasan sosialisme kembali dibicarakan. Kaum pekerja dan kaum muda mulai berbondong-bondong mempelajari ide yang digagas oleh Karl Marx dan Friedrich Engels ini. Mereka antusias untuk menggali segala hal yang berbau "sosialisme", salah satunya adalah sosialisme ala Tiongkok.
Tapi, satu hal perlu diajukan, apakah China/Tiongkok saat ini merupakan negeri sosialis sebagaimana yang diklaim oleh para petinggi Partai Komunis Cina (PKC)? Berikut ini analisa kami.
Bila ada satu hal yang bisa kita semua pelajari dari pandemi Covid-19, tidak ada bencana yang murni alam. Dimensi ekonomi dan sosial memainkan peran penting dalam menentukan lapisan mana yang paling terdampak. Kesiapan dan ketangguhan seseorang dalam menghadapi bencana, serta kemampuannya untuk lalu pulih darinya, ditentukan oleh faktor-faktor sosio-ekonomi. Tingkat penularan dan kematian akibat Covid-19 misalnya berbanding terbalik dengan tingkat pemasukan seseorang. Bencana alam hanya mengungkapkan dengan lebih terbuka ketimpangan-ketimpangan sosial yang sudah mengakar. Begitu juga dengan banjir bandang di NTT, yang hanya mengungkapkan kemiskinan dan ketertinggalan parah yang telah dialami oleh rakyat NTT selama bergenerasi.