Satu lagi aktivis gerakan kini masuk ke pemerintah. Kali ini Ilhamsyah, pemimpin KPBI dan Kompolnas, ditunjuk pemerintah untuk menjabat sebagai komisaris PT Pelindo. Ini bukan pertama kalinya kita saksikan aktivis sosialis masuk ke dalam pemerintah. Ia hanya menambah deret panjang aktivis sosialis yang telah menempuh jalan ini. Ini juga bukan isu baru; gerakan sosialis telah mendiskusikan ini selama lebih dari satu abad sebagai bagian dari perdebatan reformisme versus revolusi. Oleh karenanya apa yang akan kita katakan di sini bukanlah ide baru, bahwa tindakan Ilhamsyah ini, seperti halnya banyak alumni PRD lainnya, adalah pengkhianatan terhadap cita-cita sosialisme dan perjuangan proletar, dan merupakan konsekuensi niscaya dari reformisme.
Untuk lebih memahami problem ini, kita harus belajar dari sejarah karena siapa yang tidak belajar dari sejarah akan mengulang kesalahan yang sama. Pertama kalinya masalah kaum sosialis memasuki pemerintah borjuis menjadi polemik serius adalah ketika Alexandre Millerand, seorang tokoh sosialis dari Prancis, memutuskan untuk bergabung ke dalam kabinet Waldeck-Rousseau pada 1899. Ini adalah pertama kalinya seorang pemimpin sosialis menerima jabatan dalam pemerintahan borjuis dan ini langsung memicu krisis besar di dalam Internasional Kedua.
Lenin dalam karyanya What is to be done? mengkritik tajam langkah Millerand – serta kaum sosialis lainnya yang mulai mengikuti langkahnya – sebagai “penghinaan total dan degradasi sosialisme di hadapan seluruh dunia … [serta] perusakan kesadaran sosialis massa buruh” demi “reforma-reforma kecil yang menyedihkan”, bahwa ini tidak lain adalah usaha “memasukkan gagasan-gagasan borjuis dan elemen-elemen borjuis ke dalam sosialisme”.
Rosa Luxemburg juga mengecam keras langkah Millerand. Bukan kebetulan pula bila saat itu Luxemburg juga sedang meluncurkan kritik tajam terhadap Eduard Bernstein dan gagasan reformismenya, yang dituangkan dalam karyanya yang terkenal itu: Reforma atau Revolusi. Pada akhir abad ke-19, tendensi reformisme mulai mengkristal di dalam gerakan buruh dan sosialis, yang intinya mengatakan bahwa kesejahteraan buruh bisa dicapai lewat reforma-reforma gradual di dalam kerangka kapitalisme. Tidak perlu lagi revolusi karena kapitalisme telah mampu beradaptasi dan mengatasi kontradiksi-kontradiksinya.
Bila Bernstein memimpin tendensi reformisme ini dengan teorinya, Millerand memimpinnya dengan mempraktekkannya secara langsung. Dari premis reformisme bahwa kesejahteraan buruh bisa dijamin di bawah kerangka kapitalisme, maka tidak heran bila secara praktek mengalir taktik memasuki pemerintah kapitalis untuk mengubahnya dari dalam.
Maka dari itu, saat kami mendengar bahwa Ilhamsyah menerima jabatan komisaris dengan dukungan sepenuhnya dari Kompolnas, kami tidak terkejut karena sudah untuk waktu yang cukup lama dia serta lingkarannya mencampakkan sosialisme dan merangkul reformisme dengan eratnya. Mereka mungkin mengkritik keras kapitalisme, berbicara banyak mengenai kesejahteraan buruh, dan sesekali menyelipkan kata “sosialis” di sana sini, tetapi dalam praktiknya mereka tidak percaya kemenangan revolusi proletar untuk menggulingkan kapitalisme. Mereka memimpikan kapitalisme yang lebih baik dan humanis. Dengan demikian, mereka menjadi batu rintangan bagi buruh untuk menuntaskan tugas historis mereka dalam merebut kekuasaan dan mengakhiri dominasi kapital atas kehidupan mereka.
Ini terungkap jelas dalam pendekatan oportunis Kompolnas di dalam Partai Buruh. Mereka menolak memajukan gagasan sosialis, dan bahkan menolak memajukan diri sebagai oposisi kiri yang tegas terhadap kebijakan sayap kanan Partai Buruh. Awalnya mereka beralasan ini belum waktunya karena Partai Buruh masih dalam tahap pembentukan dan kita harus bisa berkompromi; lalu setelah terbentuk, alasan lain diajukan, bahwa kita perlu fokus pada kampanye pemilu; dan setelah pemilu selesai, ternyata mereka masih ada 1001 alasan lainnya untuk “menunda” memajukan gagasan sosialisme. Dari satu kompromi mereka berayun ke kompromi lainnya, dan semakin bergeser ke kanan. Mereka jadi tameng kiri kaum reformis kanan seperti Said Iqbal, Andi Gani, dkk.
Ketika para aktivis ‘kiri’ Kompolnas sedari awal menelan bulat-bulat asas Negara Kesejahteraan yang dimajukan oleh kaum reformis kanan, maka hanya masalah waktu mereka akan mengekor jejak yang belakangan ini. Kritik terhadap kebijakan oportunis Kompolnas ini telah kami jabarkan dengan detail dalam artikel “Melawan Reformisme dan Oportunisme Partai Buruh bukanlah “Ketidakacuhan Politik””. Pada analisa terakhir, implisit dalam reformisme adalah adaptasi terhadap kapitalisme.
Inilah yang telah diperingatkan oleh Rosa Luxemburg dalam perjuangannya melawan Bernstein dan Millerand. Dia menjelaskan, “kecenderungan internal [reformisme] adalah mendorong gerakan buruh ke jalur borjuis … bahwa oportunisme cenderung melumpuhkan sepenuhnya perjuangan kelas proletar.” Pada 1899 ketika menerima jabatan menteri, Millerand mungkin secara pribadi percaya bahwa dia sedang melakukan yang terbaik bagi perjuangan kelas buruh. Begitu juga kawan Ilhamsyah sekarang. Tetapi niat baik pribadi seorang bukanlah kompas politik yang baik. Sebaliknya, jalan menuju neraka ditaburi dengan niat baik. Selama menjadi menteri, Millerand sama sekali tidak memajukan gerakan buruh, apalagi sosialisme, sebaliknya semakin melemahkannya. Secara politik, Millerand terus beradaptasi ke kapitalisme dan semakin bergeser ke kanan, sampai akhirnya dia menjadi Menteri Perang selama Perang Dunia Pertama yang bertanggung jawab mengirim jutaan buruh ke ladang pembantaian.
Sejak itu nasib yang sama telah menimpa puluhan ribu aktivis buruh dan sosialis yang menempuh jalan oportunis yang sama dengan memasuki pemerintahan kapitalis. Alih-alih mengubah dari dalam, merekalah yang justru diubah menjadi agen kapitalis di dalam gerakan buruh untuk meredam militansi buruh. Mereka mengira mereka akan menjadi corong suara buruh di dalam pemerintah, tetapi yang terjadi justru sebaliknya; mereka jadi corong suara kapitalis di dalam gerakan buruh, jadi sabuk transmisi gagasan dan prasangka kapitalis untuk meracuni gerakan buruh.
Setiap kaum sosialis yang memasuki pemerintah kapitalis selalu berpikir, “Saya berbeda dari orang-orang sebelumnya.” Demikian pembenaran Kompolnas, yang mencoba berargumen bahwa Boing sudah lebih dari dua dekade berjuang sehingga dapat melawan tekanan penguasa dan dia juga memegang amanat kongres KPBI. Namun negara borjuis sudah dirancang dan disempurnakan sedemikian rupa untuk merusak siapa pun terlepas kepribadian mereka dan amanat organisasi yang sebelumnya mereka pegang. Pemerintah memberikan posisi ini bukan dengan cuma-cuma, tetapi dengan perhitungan cermat untuk melumpuhkan khususnya KPBI dan gerakan buruh umumnya dari dalam dengan mengkooptasi pemimpin mereka. Ini adalah taktik lama kelas penguasa dari masa ke masa. Karena posisi ini adalah pemberian pemerintah, maka pemerintah-lah yang akan menentukan apa yang bisa dilakukan dan dicapai oleh Ilhamsyah dalam lembaga ini.
Ketika hari ini rakyat begitu muak dengan privilese para politisi, menteri, pejabat, staf khusus, komisaris BUMN, dan semua parasit dalam pemerintah – kemuakan yang meledak dengan masifnya pada 25 Agustus hingga 1 September kemarin itu – justru aktivis gerakan dengan begitu kebeletnya memasuki jajaran busuk ini.
Kami ingin sekali berharap bahwa langkah Ilhamsyah dan Kompolnas ini datang dari kenaifan mereka mengenai karakter negara borjuis, sehingga ketika karakter ini nanti terungkap jelas mereka dapat belajar darinya. Tetapi dari semua yang bisa kita saksikan selama beberapa tahun terakhir, jelas langkah ini sudah dipikirkan masak-masak untuk semakin bergeser ke kanan, ke posisi reformisme dan oportunisme. Mereka sudah menyerah memperjuangkan sosialisme dan takluk di bawah tekanan borjuis. Langkah Ilhamsyah ini hanyalah kesimpulan logis darinya.
Gerakan hari ini dibangun dengan tradisi super-aktivisme yang fokus hanya pada pencapaian sehari-hari. Mereka mencampakkan tujuan akhir revolusi sosialis. Bagi mereka tidak penting perjuangan untuk sosialisme. Seperti halnya moto Bernstein: “Gerakan [atau reforma] adalah segalanya, tujuan akhir [sosialisme] bukan apa-apa”, sehingga yang mengalir dari ini adalah bahwa “setiap tujuan memperluas gerakan” adalah hal yang sama baik dan sama validnya “selama tidak terkooptasi” begitu kata mereka. Yang terjadi justru mereka meluaskan pengaruh borjuis ke dalam gerakan dan terkooptasi. Perjuangan untuk sosialisme direduksi menjadi perjuangan untuk mengambil posisi sebanyak jabatan di pemerintahan. Mereka menggantikan metode aksi massa dan perjuangan kelas dengan seruan-seruan pasif dari ruangan ber-AC komisaris. Perjuangan politik sosialisme digantikan dengan perjuangan demi memajukan karier politik aktivis. Ini sungguh menjijikkan. Semua ini cerminan dari demoralisasi aktivis sisa-sisa PRD akibat kekalahan mereka di masa lalu.
Satu lagi pemimpin buruh dilumat oleh sistem kapitalisme. Bagi kelas penguasa, kooptasi seperti ini – seperti halnya dengan Budiman, Dita, Mugi, dll. – juga memiliki signifikansi untuk menciptakan demoralisasi. Namun selama kita memiliki perspektif sosialis yang jitu, kita tidak punya alasan untuk merasa demor. Kapitalisme sedang memasuki krisisnya yang terdalam dan ada radikalisasi yang semakin meluas di antara kaum muda dan buruh. Ledakan revolusioner 25 Agustus kemarin – yang lalu disusul dengan revolusi di Nepal dan gelombang demonstrasi massa di Timor Leste, Filipina, Italia, Prancis, Spanyol – memberi kita tanda apa yang menanti kita. Kapitalisme sedang mempersiapkan syarat-syarat revolusi, sementara reformisme semakin terekspos bangkrut.
Generasi PRD dan aktivis 1998 sudah selesai. Kami sampaikan rasa terima kasih kami untuk jasa dan pengorbanan mereka sebelumnya, tetapi kini mereka telah menjadi batu penghalang bagi kemenangan revolusi sosialis. Ada generasi muda baru yang kini tampil ke depan dan mereka tidak membutuhkan beban mati generasi tua ini. Generasi muda ini dalam artian tertentu harus memulai bab baru dalam perjuangan sosialis mereka, dan mencampakkan apapun yang tersisa dari para aktivis generasi lama yang sudah menyerah dan penuh dengan pesimisme. Sebaliknya, kita generasi muda dipenuhi dengan optimisme akan kemenangan revolusi sosialis, bukan di masa depan nun jauh, tetapi dalam masa hidup kita. Kita optimis karena kita membekali diri kita dengan gagasan Sosialisme Ilmiah dan berkomitmen melakukan kerja persiapan yang diperlukan untuk kemenangan akhir sosialisme.