Menjelang pilpres tahun depan, kita dihadapkan sekali lagi dengan pertanyaan mengenai apa sikap, strategi, dan taktik yang harus diambil oleh Gerakan Kiri hari ini. Kita juga sekali lagi disajikan dengan analisa pemilu dari perwakilan kaum Marxis Liberal kita Martin Suryajaya. Setelah hampir 4 tahun yang lalu pamit untuk “menemukan kembali Marxisme” — dan kita masih menunggu Marxisme ini — kita sekarang tampaknya ditawarkan sedikit hidangan pembuka. “Tesis Agustus” Martin bisa memberi kita gambaran akan “Marxisme baru” macam apa yang sedang direkonstruksi olehnya selama 4 tahun terakhir, dan hanya kekecewaan yang akan menyambut mereka-mereka yang menunggunya karena tidak ada yang baru sama sekali. Kita hanya disajikan oportunisme lama yang paling buruk rupa. [Baca “Penemuan Kembali Marxisme Kita” oleh Martin, dan balasan “Marxisme Mereka dan Marxisme Kami”]
Mengenai sikap yang harus diambil oleh kaum revolusioner, ini sudah kami jabarkan dengan cukup detail di artikel-artikel analisa pemilu sebelumnya: “Perspektif Marxis untuk Pemilu 2014: Kritik, Analisa, dan Tugas Kita” dan “Apa Ada Bahaya Fasisme di Indonesia?” Secara garis besar tidak ada perubahan fundamental dalam konstelasi politik yang ada, sehingga posisi kami tetap sama: tidak ada satupun parpol atau kandidat dalam pemilu yang bisa didukung oleh kelas buruh di pemilu 2019 dan tugas utama kelas buruh masihlah pembangunan organisasi politik yang mandiri.
Ada tujuh tesis yang diajukan oleh Martin. Mari kita periksa satu per satu tesis gemilang dari intelektual kita ini. Tugas ini tidaklah mudah karena setiap baris dari artikelnya mengandung begitu banyak kekeliruan, misrepresentasi, kebingungan dan kebodohan, entah sengaja atau tidak disengaja, sehingga kami bisa menghabiskan banyak waktu untuk membantah semuanya. Oleh karenanya banyak kebodohan yang harus kami abaikan kalau kita ingin bisa fokus pada garis-garis utama yang perlu dikupas.
1. Tesis: “Tidak ada gerakan Kiri yang cukup berpengaruh untuk menghasilkan perubahan signifikan pada Pilpres 2019.”
Anti-tesis: “Gerakan buruh hari ini masih kecil dan tidak punya organisasi politik yang mandiri untuk mengintervensi pemilu. Mari kita mulai dengan serius dan konsekuen proses pembangunan Partai Buruh!”
Martin berkeluh kesah mengenai fragmentasi dan kecilnya gerakan Kiri. Dari sini ia simpulkan bahwa apapun yang dilakukan oleh gerakan Kiri tidak akan menentukan hasil pemilu. Menurutnya hanya di bawah 1% jumlah suara yang bisa dipengaruhi Kiri kalau mereka semua bersatu. “Insignifikan!” tegasnya dengan angkuh. Dia ingatkan kita agar jangan “mengidap waham kebesaran” atau delusion of grandeur, bahwa dengan memboikot pemilu dan mengkritiknya kita bisa menentukan hasil pemilu. Oleh karenanya akan lebih baik kalau kita dukung Jokowi.
Sepintas argumen ini tampak masuk di akal. Namun kalau Martin mampu berpikir lebih jauh justru argumennya di atas mengalahkan dirinya sendiri. Kalau memang yang pada akhirnya akan menang adalah Jokowi, atau Prabowo, dan gerakan Kiri terlalu kecil untuk menentukan hasil pertarungan pemilu, maka yang mengidap waham kebesaran adalah dia sendiri. Dia bayangkan bahwa dengan mendukung Jokowi maka dia dan gerakan Kiri – yang katanya perolehan suaranya hanya di bawah 1 persen – dapat memperbesar prospek kemenangan Jokowi, dan dengan demikian Gerakan Kiri sungguh dapat menentukan hasil pemilu. Tapi ini sangat bertentangan dengan keluhannya di atas.
Hanya mereka-mereka yang sudah menyerah yang selalu mengukur besar kecilnya gerakan Kiri dan organisasi Kiri sebagai tolak ukur untuk menentukan garis politik utama, dan dalam hal ini kemandirian kelas. Masalah kelas mana yang diwakili oleh kubu Jokowi sama sekali tidak disentuhnya. Mungkin karena Martin agak malu untuk mengatakan bahwa kelas buruh harus mendukung kelas kapitalis. Ia perlu belajar lebih banyak keberanian setidaknya dari kawan Bonnie Setiawan yang secara gamblang mengatakan bahwa tugas kelas buruh hari ini adalah mendukung kubu kapitalis yang dianggapnya progresif.
Keluhan mengenai organisasi Kiri yang kecil, terpecah-pecah, dan tidak signifikan dalam perpolitikan Indonesia bukanlah sesuatu yang baru dalam gerakan. Di satu sisi ini mencerminkan pesimisme kaum Kiri umumnya mengenai prospek revolusi sosialis. Di sisi lain ini juga menunjukkan bahwa tradisi serta pemahaman membangun partai revolusioner sangatlah lemah – dan bahkan sudah hilang – dalam gerakan. Alih-alih fokus secara sabar dan konsisten membangun partai, para aktivis sibuk melompat dari satu kampanye ke kampanye lain, dari satu kasus ke kasus lain, mengejar advokasi yang tidak ada akhirnya. Kerja pembangunan partai dianggap tidak penting dan terbengkalai. Bahkan konsep apa itu partai dan bagaimana membangunnya tidaklah banyak yang memahami, dan ini mengharuskan kita menggali kembali pelajaran dan pengalaman sejarah perjuangan kelas buruh selama 200 tahun terakhir, dari hari-hari Marx dan Engels sampai pada puncak pembangunan partai kelas buruh yang berhasil merebut kekuasaan: partai Bolsheviknya Lenin dan Trotsky.
2. Tesis: “Masuk ke dalam gelanggang Pilpres 2019 lebih menguntungkan buat gerakan Kiri ketimbang mempropagandakan golput”
Anti-tesis: “Tidak ada keuntungan yang datang dari membonceng parpol borjuasi. Mereka-mereka yang ingin untung segera tanpa kerja-kerja persiapan yang sabar dan telaten hanya akan kebablasan akhirnya.”
Mayoritas kaum Kiri pada pemilu sebelumnya telah mendukung Jokowi dan tidak sedikit yang sudah berhasil masuk ke dalam rejim. Kalau Martin mengatakan bahwa mendukung Jokowi akan lebih menguntungkan, kita setidaknya perlu menagih bukti keuntungan ini selama 4 tahun terakhir. Pada akhirnya pembuktian dari sebuah teori adalah hasil praktiknya. Kubu Kiri yang mendukung Jokowi – yang jumlahnya dan sumber dayanya jauh lebih besar daripada kubu Kiri yang tidak mendukung Jokowi – sama sekali tidak bisa menunjukkan hasil keuntungan ini, entah dalam bentuk Gerakan Kiri yang lebih besar dan terkonsolidasi, atau dalam bentuk “memajukan agenda Kiri”. Mungkin kalau dalam bentuk kemajuan karier ikut mendukung Jokowi dapat memberikan keuntungan, yang sudah terbukti dalam keberhasilan sejumlah aktivis Kiri yang telah kecipratan jabatan. Ketidakmampuan Martin untuk menyebut satu saja pencapaian utama yang konkret dari kubu Kiri pro-Jokowi ini sungguh memekakkan telinga, dan ini menghancurkan tesis keduanya.
Kaum Marxis tidak punya ilusi bahwa dengan memboikot pemilu – dan memboikot pemilu bukanlah posisi prinsipil – maka ini akan menghasilkan perubahan besar dalam sistem. Hari ini kaum Marxis adalah minoritas di antara minoritas. Kekuatan kita terlalu kecil untuk bisa menentukan alur politik besar, dan oleh karenanya tugas kita sekarang adalah dengan sabar dan telaten membangun apa yang bisa kita bangun dengan kekuatan kita yang kecil. Tugas kita adalah mendidik dan merekrut satu dua ke dalam barisan revolusioner lewat kerja-kerja kecil yang bersahaja: kelompok diskusi politik untuk kaum buruh dan muda; menerbitkan dan menyebarkan koran revolusioner yang independen; mengumpulkan seperak dua perak dana juang dari kaum buruh dan muda; melakukan intervensi politik ke dalam kehidupan kampus dan pabrik; dsb. Semua ini adalah kerja-kerja seputar membangun kerangka organisasi politik kelas buruh yang mandiri. Misalnya baru-baru ini sejumlah serikat buruh memulai inisiatif untuk merumuskan masalah pembentukan partai buruh, walau masih dalam tahap awal dan terbatas lingkupnya. Terbangunnya partai buruh akan menjadi momen politik historis bagi kaum buruh yang sejak 1965 tidak punya organisasi politik massa. Tapi ini harus dibangun dari nol, dari bawah, dan tidak ada satupun hal yang megah dan grandeur dalam kerja semacam ini. Semua hal-hal kecil ini dilakukan untuk persiapan menuju tujuan yang besar ke depannya: kemenangan revolusi sosialis.
Yang mengidap “waham kebesaran” justru adalah kawan kita Martin, yang ingin segera bertarung di medan politik nasional yang besar tanpa terlebih dahulu membangun fondasi kokoh, tanpa terlebih dahulu melakukan kerja-kerja kecil. Ia ingin segera “mengambil posisi dalam rejim yang akan menang demi memajukan agenda Kiri,” atau konkretnya dia ingin lebih banyak Hilmar Fahrid, lebih banyak Dita Indah Sari, lebih banyak Budiman Sudjatmiko, dan mungkin di hari depan dia sendiri bisa bergabung ke jajaran orang-orang Kiri yang berhasil ini. Ternyata “Marxisme baru” Martin ini tidak lain adalah reformisme, yang percaya bahwa masalah perubahan sistem adalah masalah “retooling”, masalah memasukkan lebih banyak orang-orang progresif ke dalam negara. Sama sekali tidak ada analisa karakter kelas dari negara yang ada, yang merupakan tesis utama Marxisme.
3. Tesis: “Mendukung Jokowi lebih menguntungkan bagi gerakan Kiri daripada mendukung Prabowo di Pilpres 2019”
Anti-tesis: “Belajarlah sejarah yang benar! Soekarno-isme bukan jalan menuju kemenangan tetapi kekalahan telak gerakan.”
Soekarnoisme kali ini dipanjatkan olehnya sebagai “pilihan terdekat (secara ideologis) bagi gerakan Kiri.” Kita diminta untuk “membuka buku sejarah Indonesia [dan] bukan Rusia”. Namun ketika kita buka buku sejarah Indonesia dan tengok apa hasil dari Soekarnoisme, apa hasil dari PKI yang mengekor Soekarno, kita temui tumpukan mayat yang menjadi fondasi kediktatoran militer Orde Baru selama 32 tahun.
Kita diwanti-wanti bahwa “mendukung Jokowi berarti menyelamatkan ruang demokrasi, sebab dia lah figur terkuat saat ini yang dapat membendung gelombang fundamentalisme anti-Kiri.” Ya, gelombang fundamentalisme telah dibendung Jokowi dengan merangkulnya masuk ke dalam rejim sebagai cawapres.
Lebih dari separuh abad yang lalu kita bisa bayangkan bagaimana Aidit mengatakan hal yang serupa, bahwa “mendukung Soekarno berarti menyelamatkan ruang demokrasi sebab dia lah figur terkuat saat ini yang dapat membendung imperialisme dan para jendral anti-Kiri.” Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Dengan mendukung Soekarno, kelas buruh dilumpuhkan karena mereka diharuskan menunda perjuangan kelas dan menumpulkan program-program politik kelasnya demi apa yang disebut “aliansi taktis” dengan kelas borjuasi progresif.
Soekarno-isme adalah perangkap untuk menyalurkan semangat revolusioner rakyat pekerja ke saluran yang aman — ke jalan buntu lebih tepatnya — guna melucuti rakyat pekerja yang kemudian diserahkan ke algojo Soeharto. Inilah fungsi dari Soekarno-isme. Kalau Soekarno sendiri sebagai individu mengalami nasib tragis sebagai korban Orba, kendati secara pribadi percaya bahwa dia sedang melakukan hal yang benar, ini tidaklah relevan karena politik tidak ditentukan oleh maksud baik seseorang. Maksud baik Martin ingin mencapai sosialisme lewat Soekarnoisme tidak akan membersihkannya dari kekeliruannya yang fatal.
Bagaimana dengan buku sejarah Rusia, yang menurut Martin bukan buku yang seharusnya kita buka? Dalam lembar-lembar sejarah Rusia kita temui kemenangan Revolusi Oktober pada 1917 di bawah kepemimpinan Lenin dan Trotsky, kemenangan megah yang membuka gerbang untuk gelombang revolusi-revolusi sosialis di Eropa dan revolusi-revolusi kolonial di negeri-negeri jajahan, kemenangan besar yang membangkitkan ratusan juta buruh dan tani di seluruh dunia. Bila saja Revolusi Indonesia – pada 1925-26, 1945-49, dan terutama pada 1960an – mengantar kita ke kemenangan semacam ini, tentunya tidak hanya kita tetapi juga seluruh rakyat pekerja dunia diwajibkan membuka buku sejarah Indonesia dan memetik pelajaran darinya. Tapi sayangnya tidak demikian. Tidak ada pelajaran kemenangan. Yang ada hanya pelajaran kekalahan yang pedih, yakni pelajaran mengenai apa yang tidak seharusnya dikerjakan atau What is not to be done: mengorbankan kemandirian kelas dengan mencari persekutuan dengan apa yang disebut kelas borjuasi progresif; mengekor pada sosialisme borjuis-kecil yang nasionalistis, yang di Indonesia disebut Soekarno-isme.
Martin mengidap Rusia-fobia yang akut. Ia begitu takutnya orang membuka buku sejarah Rusia karena Revolusi Oktober akan segera mengekspos oportunisme dan reformisme dari sang borjuis kecil kita. Seperti khalayak ramai borjuis kecil lainnya, dia hanya bisa terus mengulang “Indonesia bukan Rusia!”, “Rusia bukan Indonesia!” dan “Indonesia adalah Indonesia!” seakan-akan ini adalah sebuah pengungkapan intelektual yang luar biasa.
4. Tesis: “Kekeliruan Indoprogress di 2014: mengartikan “dukungan kritis” sebagai posisi intelektual, bukan sebagai kerja politik.”
Anti-Tesis: “Kekeliruan harus dibenahi, bukan diteruskan dan dilipatgandakan.”
Tesis di atas sesungguhnya adalah pengakuan bahwa taktik mendukung Jokowi pada pemilu 2014 kemarin telah gagal. “Sampah numpuk,” yakni sampah kebangkrutan rejim borjuasi Jokowi. Tetapi alih-alih mengakui kesalahan ini dan mengubah haluan, Martin justru terus menerjang. Ia meminta kaum Kiri untuk lebih giat membersihkan sampah ini. Ini yang kita sebut “double down”, yakni pejudi kronik yang sudah kalah lalu melipatgandakan taruhan selanjutnya. Kita tahu biasanya bagaimana nasib pejudi seperti itu. Tidak ada yang bisa mengalahkan bandar.
Yang dia tuntut di sini adalah bahwa tanggung jawab kegagalan rejim Jokowi untuk memenuhi janji-janjinya merupakan kesalahan dari para pendukungnya yang kurang tekun, yang “malas bekerja” dan “rendah inisiatif”. Bila saja para pendukung Jokowi tidak hanya memberi sokongan intelektual, moral, politik, atau yang sejenisnya, tidak hanya nyoblos saja, tetapi juga aktif “membangun negara” dan “kerja”, maka rejim Jokowi tidak akan mengecewakan rakyat. Kaum Kiri diminta untuk memenuhi tugas-tugas yang lalai dilakukan oleh Jokowi dan para pejabat negara yang tambun. Seperti John F. Kennedy yang mengatakan: Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country (Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu.)
Rakyat pekerja, mengabdilah dengan setia pada negaramu ini! Kalau negaramu tidak mampu menyejahterakan kalian, mari kita semua bekerja bersama sebagai warganegara untuk membangun negara ini agar sejahtera! Ilusi kewarganegaraan adalah ilusi paling beracun untuk mengaburkan kepentingan kelas yang bertentangan dan tak terdamaikan antara kapital dan buruh. Persis inilah yang dilakukan oleh Martin. Ia menuntut “kewajiban warga untuk membangun negara” dan tidak mengatakan apa karakter kelas dari negara yang ingin dia bangun ini, yakni negara borjuasi yang tujuannya adalah menindas kelas buruh. Dengan ini Martin telah menjadi corong suara dari kelas penguasa borjuasi. Kita patut bertanya: perenungan macam apa yang dilakukan olehnya selama empat tahun terakhir, yang mengantarnya bukan pada Marxisme tapi pada ideologi borjuis yang reaksioner?
5. Tesis: “Kaum Intelektual Kiri mesti kembali menjadi orang Indonesia, bukan berusaha menjadi Indonesianis.”
Anti-tesis: “Kaum Kiri mesti kembali menjadi pejuang kelas buruh, bukan berusaha mengaburkan garis kelas dengan abstraksi ‘Orang Indonesia’ dan menjadi alat ideologi kelas penguasa dengan masuk ke rejim borjuasi.”
Berputar-putar panjang, maksud Martin adalah jangan berteori saja tetapi berprakteklah yang nyata sebagai “orang Indonesia”. Dengan menggunakan prasangka anti-intelektual yang paling kasar, sang intelektual kita menyajikan gagasannya (teorinya) sebagai praktik nyata yang konkret, sementara gagasan-gagasan yang bertentang dengannya sebagai teori semata yang tidak praktis dan tidak konkret. Hanya orang bodoh yang bisa terjerumus pada demagogi hampa seperti ini.
Kita diingatkan sekali lagi di tesis ini: janganlah “membawa-bawa Rusia ke mana-mana”! Rusia-fobia sungguh menjangkiti borjuis kecil kita ini, seperti halnya ia menjangkiti para politisi AS dan Eropa hari ini, yang melihat Rusia di mana-mana sebagai biang kerok dari semua yang salah.
Kali ini ilusi kewarganegaraan borjuis ditaburkannya lewat abstraksi “orang Indonesia”. Kita harus menjadi berpikir dan berpraktik berdasarkan “kepentingan kebangsaan yang mewujud dalam … semua orang Indonesia yang hidup dan mati bersama kita di Republik ini.” Orang Indonesia yang kaya dan yang miskin, yang majikan dan yang buruh, yang tuan tanah dan petani, yang menindas dan tertindas, adalah perwujudan dari “kepentingan kebangsaan.” Kepentingan kelas menghilang atau dihilangkan di bawah “kepentingan kebangsaan”. Inilah Soekarno-isme: perjuangan kelas yang disubordinasi oleh perjuangan nasional yang katanya menyatukan semua kelas yang bertentangan. Tetapi sesungguhnya persatuan nasional ini semu, karena digunakan untuk mengaburkan realitas dominasi kapital atas buruh.
6. Tesis: “Yang kita butuhkan sekarang, lebih dari segalanya, adalah realisme politik.”
Anti-tesis: “Yang kita butuhkan sekarang adalah program politik yang berdasarkan kemandirian kelas buruh.”
Akhirnya kita tiba pada kesimpulan dari semua celoteh pintar Martin: “realisme politik” dan “Machiavelli”, yang menurutnya harus jadi pedoman perjuangan politik kita. Kedua paham ini dapat diisi apapun sesuai dengan kehendak pengujarnya, dan oleh karenanya tidak punya arti sama sekali. Mereka adalah ungkapan pamungkas dan demagogis kaum filistin. Sementara kita dinasihati agar jangan mematok diri kita pada “sistem klasifikasi Marxis sehingga … menggolong-golongkan mana yang boleh dan tak boleh dilakukan seturut sistem klasifikasi tersebut.” Intinya, menurut Martin Marxisme itu mengajarkan bahwa ya adalah ya, dan tidak adalah tidak, bahwa semua itu hitam dan putih, dalam klasifikasi moralis yang kaku.
Ini hanya menunjukkan bahwa sang intelektual kita, yang begitu getolnya dulu menulis berbagai artikel mengenai Marxisme – dengan judul-judul “Marxisme dan XYZ” – sesungguhnya tidak pernah memahami inti filsafat Marxisme. Marxisme justru menolak secara prinsipil klasifikasi yang kaku. Ia menolak logika formal yang hanya bisa menjawab ya atau tidak, yang menyangkal kontradiksi, yang ingin mengkotak-kotakkan segala hal dalam ruang dan waktu yang statis. Martin ternyata hanya bisa membeo dari apa yang dibacanya mengenai Marxisme tetapi tidak pernah sungguh meresapinya untuk bisa menerapkannya dalam politik. Ketika dia coba terapkan Marxisme dalam politik, hasilnya bertentangan dengan prasangka borjuis kecilnya, prasangka reformis dan oportunisnya, keinginannya untuk “mengambil posisi dalam rejim [borjuasi]”. Walhasil, seperti anak kecil yang mengambek, dia salahkan Marxisme sebagai sistem klasifikasi yang kaku.
Penolakan kaum Marxis terhadap Jokowi dan kubunya tidak datang dari perhitungan moral, tetapi dari perhitungan politik yang paling praktis – kalau kita ingin sungguh-sungguh berbicara mengenai “realisme politik” – untuk kemenangan sosialisme, yakni krusialnya mempertahankan kemandirian kelas. Alat utama kelas penindas untuk bisa mempertahankan dominasinya terhadap yang ditindasnya adalah dengan mengaburkan garis kelas, dengan ilusi “persatuan nasional”, “kepentingan kebangsaan”, “kita semua orang Indonesia”, “kewarganegaraan” dan berbagai turunannya. Kelas buruh dikecoh dengan ilusi-ilusi ini supaya kesadaran kelasnya tetap tak berkembang, supaya ia buta akan adanya penindasan kelas yang dialaminya, agar ia tetap hanya menjadi kelas dalam dirinya sendiri dan bukan kelas untuk dirinya sendiri. Ilusi ini lalu dikemas ulang oleh kaum borjuis kecil agar lebih menarik – dan dengan demikian lebih bisa mengecoh kelas tertindas – menjadi pembentukan front nasional antar semua kelas guna mempertahankan demokrasi, melawan fasisme, fundamentalisme, imperialisme, feodalisme, dan lain sebagainya. Fakta historis inilah yang mendikte tugas utama kaum revolusioner: mempertahankan kemandirian kelas buruh dari gempuran kelas borjuasi, bukan menggadaikannya ke kelas borjuasi demi apa yang disebut “realisme politik”. Kemandirian kelas bukan sesuatu yang bisa dijual untuk sementara dan lalu didapat kembali dengan bunga-bunganya. Sejarah, kalau kita serius ingin belajar darinya, menunjukkan bahwa mereka-mereka yang menjual kemandirian kelasnya tidak pernah mendapatkannya kembali.
Untuk sedikit menyejukkan hati nuraninya, Martin harus menyebut sekali saja kata “sosialisme”, bahwa semua ini dilakukannya untuk “menggali dan mempropagandakan akar sosialisme dari Soekarnoisme”. Namun tidak ada sosialisme dalam Soekarnoisme. Yang ada hanya karikatur borjuis kecil dari sosialisme, seperti sepatu Nike tiruan yang murah dan berkualitas buruk, yang tujuannya memerangkap kesadaran kelas buruh.
7. Tesis: “Kaum Kiri Indonesia, jangan centil!
Anti-Tesis: “Martin-Martin Indonesia, enyahlah!”
Memilih “terbaik dari yang terburuk” adalah “Marxisme baru” yang selama 4 tahun terakhir dia renungkan, yang tidak berbeda dengan posisi politiknya pada pilpres 2014 yang lalu. Kita tidak perlu 4 tahun untuk menemukan “Marxisme baru” macam ini. Kita hanya perlu membaca tulisan Stalin mengenai blok empat kelas, yang lalu diadopsi dengan gemilang oleh Aidit dengan hasil akhir yang berdarah-darah.
Pencarian “Marxisme” oleh Martin sejak awal sudah bisa diduga apa hasilnya. Mentok-mentok, yang ditemukannya tidaklah lebih dari Aidit-isme dan Soekarnoisme. Bila dia beruntung, dia akan berakhir ke liberalisme, tempat yang paling alami dan nyaman baginya. Semakin ia mencari Marxisme, semakin Marxisme akan menjauhinya, dan lebih baik memang demikian. Marxisme tidak membutuhkan orang-orang seperti Martin. Bagi yang ingin menemukan kembali Marxisme, pelajarilah secara langsung Marx, Engels, Lenin dan Trotsky, tidak hanya tulisan-tulisan teoretis mereka tetapi juga pengalaman berorganisasi mereka. Hanya dengan demikian maka kita sungguh akan bisa menemukan jalan keluar dari kebuntuan yang ada dalam gerakan.