Satu hari, sebuah negara bisa tampak begitu tenang dan kelompok yang berkuasa di sana bercokol dengan kokoh di tampuk kekuasaan. Namun keesokan harinya, lautan massa revolusioner berdiri di depan gedung parlemen yang terbakar. Polisi telah lenyap, para anggota parlemen telah melarikan diri, begitu pula sang Perdana Menteri. Foto-foto dan video-video yang baru-baru ini muncul dari Nepal sungguh mencengangkan. Pemandangan itu juga sangat mirip dengan adegan-adegan yang telah kita saksikan sebelumnya: di Sri Lanka, Bangladesh, Kenya, dan Indonesia.
Apa makna dari semua peristiwa ini? Sebagian kiri, yang terkesan dengan adegan-adegan tersebut, membiarkan diri mereka terseret oleh gelombang massa tanpa berhenti sejenak untuk mempertanyakan ke mana arah gelombang itu akan bermuara. Mereka bertindak selayaknya pemandu sorak bagi massa, padahal hal tersebut adalah yang paling tidak dibutuhkan oleh rakyat dalam revolusi.
Sementara itu, selapisan kiri lainnya memandang semua ini dengan tatapan yang lebih sinis dan skeptis. Mereka melihat Nepal, Sri Lanka, atau contoh-contoh lainnya, lalu membandingkannya dengan skema yang sudah melekat di kepala mereka tentang bagaimana seharusnya sebuah revolusi itu bergulir.
Mereka tidak menemukan adanya soviet. Mereka tidak menemukan dewan-dewan buruh. Sebaliknya, yang mereka dapati adalah massa yang terorganisasi, itu pun jika bisa disebut terorganisasi, di sekitar kepemimpinan yang aksidental, atau sekadar terorganisasi lewat tagar di media sosial. Mereka tidak melihat bendera-bendera merah. Yang mereka lihat adalah bendera Sri Lanka, bendera Kenya, bendera Bangladesh, dan bendera Nepal.
Mereka mendapati bahwa sejumlah tuntutan dari gerakan-gerakan ini bersifat kabur dan terbatas, terutama jika dibandingkan dengan program revolusi sosialis yang sudah tuntas. Lalu mereka menunjuk pada fakta yang tak terbantahkan bahwa, sejauh ini, revolusi-revolusi tersebut nyaris tidak menghasilkan perubahan mendasar apa pun. Dengan nada meremehkan, mereka menyatakan bahwa ini sama sekali bukan revolusi, lalu kembali tidur dan meminta dibangunkan ketika revolusi yang sebenarnya datang.
Sebagai kaum revolusioner sejati, kita tidak boleh membiarkan diri terpukau oleh penampilan luar, atau mengharapkan revolusi agar sesuai dengan skema-skema yang sudah baku. Kita harus memahami esensi yang melandasi setiap peristiwa yang konkret dan menarik pelajaran yang konkret pula darinya.
Lalu, bagaimana sikap kita terhadap peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung ini?
Revolusi-revolusi ini, dari Sri Lanka hingga Nepal, masing-masing memiliki karakteristiknya yang unik. Namun, kini mulai tampak pola-pola yang jelas dan tidak dapat disangkal. Jika dilihat secara keseluruhan, semua itu memberi tahu kita banyak hal mengenai karakter dari zaman yang telah kita masuki.
Kekuatan massa
Hal pertama yang harus ditegaskan adalah bahwa kita tidak bisa menuntut lebih dari apa yang telah diberikan oleh massa revolusioner, baik dalam pengerahan tenaga mereka maupun heroisme mereka. Rakyat pekerja telah menunjukkan betapa besarnya kekuatan laten yang mereka miliki.
Tiga tahun lalu, ketika rakyat menyerbu istana kepresidenan di Sri Lanka, yang menjadi domino pertama yang jatuh, aparat kepolisian begitu mudah tersapu ke samping. Keluarga Rajapaksa melarikan diri. Tidak ada satu pun kekuatan lainnya di dalam masyarakat yang bahkan mampu menandingi kekuatan massa ini.
Rezim itu mendapati dirinya lumpuh dan menggantung di udara tanpa daya. Revolusi ini sebenarnya bisa saja menghancurkan rezim itu saat itu juga. Faktanya, kekuasaan benar-benar berada di tangan massa di jalanan. Satu-satunya hal yang tersisa untuk dilakukan adalah mendeklarasikan bahwa rezim lama telah digulingkan. Namun, massa tidak sadar bahwa mereka memegang kekuasaan, dan tidak ada partai yang memiliki otoritas cukup untuk merebut kekuasaan atas nama mereka.
Maka, pada malam yang sama setelah kemenangan menakjubkan itu diraih, tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh massa revolusioner selain keluar dari istana kepresidenan dan kembali ke rumah mereka masing-masing. Setelah itu, parlemen lama yang dibenci rakyat, yang mayoritas kursinya dipegang oleh partai Rajapaksa, memilih seorang presiden pengganti.
Pada 5 Agustus 2024, rezim di Bangladesh juga mendapati dirinya dalam posisi lumpuh tak berdaya. Aparat kepolisian, yang telah melancarkan teror selama berminggu-minggu sebelumnya, menyatakan ‘mogok kerja’. Kenyataannya, mereka sudah kocar-kacir karena takut dipukuli massa. 450 dari 600 kantor polisi di negara itu menjadi puing-puing yang terbakar. Perdana Menteri Sheikh Hasina yang dibenci dimasukkan ke helikopter oleh para petinggi militer dan melarikan diri ke luar negeri.
Massa revolusioner memegang kekuasaan dan seharusnya dapat mengorganisir pemerintahan revolusioner mereka sendiri. Namun, sekali lagi, mereka tidak sadar akan kekuatan mereka. Rezim lama telah dikalahkan. Para jenderal dan para hakim tua seharusnya dan bisa saja disingkirkan. Sebaliknya, para pemimpin mahasiswa justru bernegosiasi dengan para jenderal yang telah kalah itu. Mereka menyetujui sebuah pemerintahan interim yang dipimpin oleh seorang mantan bankir, di mana mereka akan menempati pos-pos kementerian yang bersifat simbolis.
Di Kenya, setelah semua pengorbanan dan pertumpahan darah, pencapaian yang diraih bahkan lebih sedikit lagi. Ruto tetap bercokol di tampuk kekuasaan.
Enigma utama dalam semua kasus ini adalah kontras antara kekuatan dahsyat yang didemonstrasikan oleh massa dan betapa sedikitnya perubahan substansial yang diraihnya.
Ini karena ada satu faktor yang hilang, sebuah poin yang akan terus kami tekankan: absennya kepemimpinan revolusioner. Tanpa kepemimpinan, kebingungan merajalela di tengah-tengah massa mengenai masalah program dan tujuan akhir revolusi. Semua revolusi ini terhenti di tengah jalan.
Namun, kepada mereka yang mengatakan bahwa semua ini sama sekali bukan revolusi, kami tegaskan: tidak revolusi lain yang mungkin terjadi dalam kondisi seperti ini. Lenin telah menjawab ini secara definitif dalam balasannya kepada pihak-pihak yang menyangkal bahwa Pemberontakan Paskah 1916 di Irlandia memiliki signifikansi revolusioner apa pun, dan menganggapnya sekadar sebuah ‘putsch’:
“Membayangkan bahwa revolusi sosial mungkin terjadi tanpa adanya pemberontakan bangsa-bangsa kecil di wilayah koloni dan di Eropa, tanpa ledakan-ledakan revolusioner dari kaum borjuis kecil dengan segala prasangkanya, tanpa gerakan massa proletar dan semi-proletar yang tidak-sadar-kelas melawan opresi tuan tanah, gereja, monarki, penindasan asing, dll. – membayangkan hal itu sama saja dengan menyangkal revolusi sosial. Hanya mereka yang membayangkan bahwa di satu tempat sebuah pasukan akan berbaris dan berkata, ‘Kami mendukung sosialisme’ dan di tempat lain pasukan lainnya akan berkata, ‘Kami mendukung imperialisme’ dan percaya bahwa inilah wujud revolusi sosial; hanya mereka yang memegang pendapat yang pedantik dan menggelikan seperti itu yang bisa menghujat Pemberontakan Irlandia dengan menyebutnya sebuah ‘putsch.’ Siapa pun yang mengharapkan sebuah revolusi sosial yang ‘murni’ tidak akan pernah hidup untuk menyaksikannya. Orang seperti itu hanya memberikan sanjungan kosong kepada revolusi tanpa memahami apa itu revolusi.” (Lenin, The Discussion on Self-Determination Summed Up)
Masalah kepemimpinan
Tidak ada kepemimpinan yang jelas. Namun intinya, kondisi massa sudah begitu parahnya untuk menunggu adanya kepemimpinan. Kaum muda terutama tidak akan menunggu dengan sabar hingga kondisinya benar-benar matang untuk berjuang.
Fitur menonjol lainnya dari semua pergolakan revolusioner ini adalah bagaimana generasi baru kaum muda ini mendobrak masuk ke panggung perjuangan. Kaum muda, yang masa depannya dirampas, tidak akan kehilangan apapun kecuali rantai mereka. Mereka merupakan lapisan paling energetik yang tidak terbebani oleh kekalahan-kekalahan di masa lalu. Di mana pun mereka dapat ditemukan di garis depan.
Di Nepal dan Kenya, mereka menyebut fenomena ini sebagai ‘Revolusi Gen Z’. Di Serbia dan Bangladesh, gerakan masif mahasiswa telah menjadi titik rujuk yang mengekspresikan kemarahan jutaan rakyat pekerja dan rakyat miskin.
Meskipun ada perbedaan di setiap negara, kaum mudalah yang secara umum telah menjadi kepemimpinan dalam pergolakan revolusioner ini, sekalipun terbatas. Apakah mereka membawa kebingungan? Tentu saja. Salah siapa itu? Kami menjawab dengan tegas: itu adalah kesalahan para pemimpin organisasi-organisasi buruh yang tugasnya adalah untuk memimpin.
Kepengecutan para pemimpin buruh ini, yang absen dalam revolusi-revolusi ini, telah menjadi hal yang memalukan bila dikontraskan dengan keberanian kaum muda di garda terdepan.
Sebagaimana para jenderal di Kenya dan Bangladesh menahan para prajurit di barak untuk mencegah mereka terinfeksi oleh revolusi, demikian pula batalion-batalion kuat dari kelas buruh telah ‘dikurung di barak’ oleh para pemimpin buruh.
Ini adalah tindakan kriminal. Pada akhirnya, hanya kelas buruhlah yang memiliki kekuatan di tangannya untuk menghancurkan kapitalisme hingga ke akarnya, yang merupakan sumber dari segala kesengsaraan dan penderitaan massa.
Kaum muda, dalam banyak kasus, telah mencoba untuk membangun hubungan dengan buruh. Kaum mahasiswa di Serbia, yang patut dipuji, dengan tepat menyerukan kepada serikat-serikat buruh untuk mengorganisir pemogokan umum melawan rezim Vučić, dan telah menyerukan pembentukan zborovi di tempat kerja (majelis massa). Namun para birokrat serikat buruh yang picik pikirannya menolak semua seruan tersebut, yang mereka anggap sebagai pelanggaran terhadap “kerajaan-kerajaan kecil” mereka.
Di Kenya, sekjen COTU-K (Organisasi Sentral Serikat Buruh) yang menyedihkan itu bahkan membela RUU Keuangan 2024 pemerintahan Ruto yang regresif itu, RUU yang memicu seluruh gerakan ini!
Dan pada puncak aragalaya (‘perjuangan’) di Sri Lanka pada tahun 2022, gagasan pemogokan umum revolusioner beredar secara luas. Namun, serikat-serikat buruh hanya menyerukan pemogokan satu hari.
Melawan korupsi
Di semua gerakan ini, kita sudah melihat bagaimana massa menyerang simbol-simbol kekuasaan yang paling mencolok dan paling membuat mereka marah.
Klik-klik penguasa busuk yang mendominasi negara-negara ini, yang dibenci karena kebrutalan dan korupsi mereka, telah menjadi titik rujuk dari semua kemarahan massa: klik Rajapaksa di Sri Lanka; klik Hasina di Bangladesh; klik Ruto di Kenya; para penguasa dan ‘nepo kids’ mereka di Nepal; para politisi di Indonesia yang seenaknya menaikkan gaji mereka sendiri secara gila-gilaan; serta Vučić dan centeng-centengnya di Serbia.
Di atas segalanya, massa di Sri Lanka, Kenya, Bangladesh, Nepal, Indonesia, dan tempat-tempat lainnya terutama menyerang korupsi.
Banyak orang-orang skeptis menunjuk pada fakta ini dan mencibir bahwa ini membuktikan argumen mereka bahwa ini bukanlah revolusi. Revolusi yang sejati, kata mereka, seharusnya menentang kapitalisme, bukan korupsi.
Akan tetapi, korupsi hanyalah gejala yang paling tajam dan paling ekstrem dari segala kebobrokan sistem kapitalis itu sendiri. Massa rakyat penuh dengan rasa ketidakadilan, kebencian, dan kemurkaan yang mendalam ketika mereka menyaksikan kekayaan yang luar biasa di sekeliling mereka. Namun, yang mereka lihat seluruh kekayaan itu tengah dihisap oleh segelintir elite yang korup.
Para komentator Barat menunjuk korupsi sebagai sebuah fitur yang disayangkan dari apa yang disebut ‘Dunia Ketiga’ dan menunjuknya sebagai penyebab keterbelakangan negara-negara tersebut. Tentu saja, mereka menyalahkan korupsi untuk menutupi kejahatan imperialisme, penyebab utama dari kemiskinan dan keterbelakangan.
Namun korupsi serupa merajalela di semua negara kapitalis, tidak terkecuali di Eropa. Pertimbangkan kesamaan antara kejahatan runtuhnya kanopi di Novi Sad, Serbia dan bencana kereta api Tempi di Yunani, yang telah mendorong massa dalam jumlah besar turun ke jalan. Dalam kedua kasus ini, politisi koruplah yang harus disalahkan. Mereka menghitung uang yang mereka peroleh melalui suap dan kesepakatan korup, sementara kaum miskin menghitung korban jiwa dari bencana yang disebabkan oleh korupsi.
Sementara itu, seorang tukang becak miskin di Sri Lanka atau Bangladesh hanya perlu membandingkan rasa laparnya dengan proyek-proyek mewah seperti Menara Lotus di Kolombo atau Jembatan Padma di atas Sungai Gangga untuk merasakan jurang pemisah yang sangat besar antara mereka dan para penguasa mereka. Sementara Jakarta adalah neraka bagi kaum miskin, pemerintah Indonesia sibuk membangun ibu kota baru yang gemerlap berkilo-kilometer jauhnya dari kemiskinan dan kekumuhan ibu kota saat ini.
Ketika massa turun ke jalan untuk melawan rezim di Sri Lanka, Indonesia, Bangladesh, dan Nepal, sasaran serangan mereka adalah kaum munafik yang manja ini, para ‘pemimpin bangsa’ ini. Mereka secara naluriah menyerang geng-geng busuk ini, dan menyajikan kepada kita adegan-adegan penyerbuan gedung parlemen, penjarahan istana kepresidenan, serta pembakaran kantor partai dan kediaman anggota parlemen.
Massa menunjukkan naluri yang tepat dalam menyerang para gangster korup ini yang, melalui jabatannya, memperkaya diri mereka sendiri secara luar biasa. Namun, pada akhirnya, jika orang-orang ini ditendang keluar, akan ada orang-orang lain yang akan menggantikan mereka. Intinya, untuk mengakhiri korupsi, kita harus mengakhiri kekuasaan modal. Dan itu berarti menghapuskan kepemilikan pribadi, dan menghancurkan badan-badan bersenjata dari negara kapitalis, yang merupakan fondasi sesungguhnya kekuasaan kelas penguasa.
Kebencian terhadap semua partai
Ada sentimen di hampir semua gerakan ini bahwa bukan hanya geng penguasa saat ini, tetapi semua politisi dan partai sama buruknya satu sama lain. Apa yang disebut sebagai ‘oposisi’ dalam kebanyakan kasus terbukti tidak kalah busuknya.
Dan mereka dibenci bukan hanya karena korupsi. Fakta bahwa mereka berpartisipasi dalam permainan parlementer, dan menggunakan bahasa yang sama yang sarat dengan kebohongan, telah menodai pihak oposisi sekaligus pihak petahana.
Oleh karena itu, di Sri Lanka, di samping slogan ‘Pulanglah Gota’ yang menyerang presiden korup Gotabaya Rajapaksa, massa juga meneriakkan slogan, ‘Pulanglah 225’ – artinya, usir semua 225 Anggota Parlemen yang membentuk parlemen.
Di Kenya, kaum muda menyebut para Anggota Parlemen sebagai ‘MPigs’ (Anggota Parlemen Babi). Sangat tepat! Sambil membuat undang-undang yang membuat kaum miskin semakin miskin, para ‘MPigs’ ini – semuanya – memperkaya diri mereka dan menikmati berbagai privilese parlemen. Kaum muda Kenya ingin mengenyahkan Ruto, tetapi mereka juga ingin mengenyahkan para pemimpin oposisi seperti Odinga, yang tak lama kemudian ditemukan begitu takut akan para pemuda revolusioner dan mencari perlindungan di balik sepatu lars Ruto
Slogan mereka, ‘tanpa suku, tanpa pemimpin, tanpa partai,’ menangkap sebuah penolakan naluriah yang sangat sehat terhadap semua geng-geng kapitalis-tribal yang disebut ‘partai-partai politik’ di Kenya.
Namun jika semua partai yang ada adalah alat dari faksi korup kelas penguasa yang ini atau yang itu, apakah itu berarti kaum buruh dan kaum muda bisa bergerak tanpa partai sama sekali? Tentu tidak. Situasi ini sangat menuntut adanya sebuah partai dan kepemimpinan milik mereka sendiri yang mewakili kepentingan mereka.
Kaum Kiri pun sama buruknya
Penolakan terhadap semua partai politik ini juga merefleksikan fakta bahwa, dalam kebanyakan kasus, partai-partai yang disebut ‘sayap kiri’ sama buruknya dengan partai-partai sayap kanan!
Dalam beberapa kasus, kaum ‘kiri’ telah menjadi sama korupnya dengan partai-partai sayap kanan. Cukup sering, kaum ‘kiri’ pemburu jabatan ini justru lebih parah. Mereka telah mencemarkan nama ‘kiri’.
Ini bukanlah karena mereka menderita semacam cacat moral. Kebusukan ini berakar pada prinsip-prinsip teoretis yang keliru, terutama teori “revolusi dua tahap” Stalinisme yang busuk itu. Ini telah mengarah secara langsung pada banyaknya partai kiri yang bersekutu dengan elemen-elemen terburuk dan paling busuk dari kelas penguasa.
Menurut teori tersebut, tugas-tugas yang paling mendesak di negara-negara terbelakang bukanlah tugas-tugas sosialis, melainkan tugas-tugas borjuis-demokratis. Ada unsur kebenaran dalam hal ini.
Hasrat yang paling jelas dan mendesak dari massa di negara-negara kapitalis terbelakang seperti Nepal, Bangladesh, Sri Lanka, dan Indonesia adalah untuk mematahkan kekuasaan rezim-rezim saat ini yang korup dan sewenang-wenang. Di atas segalanya, massa yang hidup di bawah rezim-rezim brutal ini ingin bernapas dengan bebas. Mereka menginginkan hak-hak demokratis.
Tidak ada yang secara inheren sosialis dari tugas-tugas ini. Ini adalah apa yang kaum Marxis sebut sebagai tugas-tugas ‘borjuis-demokratis’.
Namun dari premis bahwa revolusi dihadapkan pada tugas-tugas borjuis-demokratis, teori ‘revolusi dua-tahap’ Stalinisme menyimpulkan bahwa kita harus mencari sayap ‘progresif’ dari kaum borjuasi untuk memimpin revolusi. Hanya setelah bertahun-tahun perkembangan kapitalis, yang seharusnya dimulai oleh tahapan borjuis nasional dari revolusi, negara tersebut pada akhirnya akan menjadi matang untuk sosialisme.
Hanya ada satu masalah kecil dalam teori ini. Tidak ada yang namanya sayap ‘progresif’ dari kelas kapitalis di negara terbelakang mana pun saat ini. Mereka adalah kelas yang sepenuhnya parasitik, dan sepenuhnya bergantung pada imperialisme. Mereka sangat takut pada massa revolusioner, dan terutama pada satu-satunya kelas yang secara konsisten revolusioner di masyarakat, yaitu kelas buruh. Semua kebijakan, tindakan, dan ucapan mereka membuktikan hal ini.
Dalam pencarian mereka atas sayap ‘progresif’ kelas kapitalis, kaum Stalinis mendapati diri mereka mengekor satu klik busuk atau klik busuk lainnya.
Partai Komunis Bangladesh, selama berpuluh-puluh tahun, telah mendukung Liga Awami pimpinan Hasina dan ayahnya, Mujib. Mereka menggambarkan Liga Awami sebagai pembela ‘progresif’ pembebasan nasional Bangladesh, dan membenarkan dukungan berkelanjutan mereka dengan alasan bahwa Liga Awami yang ‘sekuler’ adalah terbaik dari yang terburuk dibandingkan dengan kaum fundamentalis agama dari Jamaat-e-Islami.
Sekarang mereka ikut tercoreng oleh citra buruk Hasina, sementara kaum reaksioner Jamaat-e-Islami dapat menampilkan diri mereka sebagai martir.
Tanpa adanya partai revolusioner yang dapat menghubungkan persoalan korupsi dengan kapitalisme, kaum Islamis maju ke depan dan mulai berbicara tentang ‘memerangi korupsi’ versi mereka sendiri. “Ya, kami juga menentang politisi korup,” kata mereka. “Kita butuh politik yang lebih bersih, wajah-wajah baru, bukan yang lama.” Kaum reaksioner ini mengalihkan kesalahan atas korupsi dari kapitalisme ke penyebab-penyebab lain, seperti kaum sekuler yang kurang saleh dan tidak bermoral.
Kekeliruan teori “revolusi dua tahap” Stalinis paling terekspos di Nepal dengan kebijakan kaum Maois yang mendominasi panggung politik negara tersebut.
Setelah pemberontakan selama satu dekade, kaum Maois terangkat ke tampuk kekuasaan di atas gelombang revolusioner pada tahun 2006. Apa yang mereka lakukan? Mereka segera menandatangani Perjanjian 12 Poin dengan partai-partai yang terang-terangan borjuis seperti Partai Kongres Nepal, dan sejak saat itu, negara tersebut diperintah oleh koalisi antara kaum ‘komunis’ dengan elemen-elemen borjuis ini.
Pembenaran mereka untuk hal ini adalah bahwa semua kekuatan ‘progresif’ dan ‘anti-feodal’ harus bersatu untuk menekan monarki dan membangun sebuah republik. Ini akan membawa kita ke pembangunan kapitalisme Nepal yang, pada tahap tertentu, akan menjadi basis bagi revolusi sosialis di Nepal.
Namun antara tahun 2008 dan 2025, tidak ada kemajuan. Peringkat Nepal dalam Indeks Pembangunan Manusia telah jatuh dari posisi ke-140 menjadi ke-145 dari 193 negara. Ribuan dan ribuan kaum muda Nepal melarikan diri dari kemiskinan setiap tahunnya untuk bekerja di luar negeri, sampai-sampai sepertiga dari PDB negara itu berasal dari remitansi.
Setelah mengelola negara atas nama kelas kapitalis selama satu setengah dekade, para politisi Maois itu sendiri kini telah menjadi subjek kebencian massa. Mereka terperosok dalam korupsi sama dalamnya seperti partai-partai borjuis lainnya.
Di antara para ‘nepo kids’, yang kekayaannya telah memicu revolusi kemarin, ada siapa saja? Ada anak-anak muda seperti Smita Dahal, yang kakeknya tidak lain adalah Ketua Prachanda, mantan pemimpin gerilyawan Maois. Dia ditemukan memamerkan tas tangan seharga berkali-kali lipat dari rata-rata gaji bulanan buruh Nepal.
Revolusi Warna?
Ada juga pendapat – yang populer di antara kaum kiri yang mendukung dunia ‘multipolar’ yang baru – bahwa apa yang kita saksikan adalah kebalikan dari revolusi. Mereka mengatakan bahwa ini adalah kontra-revolusi atau revolusi ‘warna’. Artinya, sebuah konspirasi terselubung oleh badan-badan intelijen barat untuk memanipulasi massa.
Hal yang sama sering kali dikatakan mengenai Musim Semi Arab (Arab Spring), yang memiliki banyak kemiripan dengan gelombang revolusi saat ini. Kita dapat memahami mengapa sebagian orang secara keliru berpikir bahwa revolusi saat itu adalah konspirasi. Kelas buruh di Mesir tidak mampu merebut kekuasaan. Hasilnya? Al-Sisi menggantikan Mubarak, dan keadaan di Mesir hari ini seratus kali lebih sulit dibandingkan pada tahun 2010. Di Libya dan Suriah, imperialisme mampu menjerumuskan negara-negara ini ke dalam perang sipil yang biadab.
Fakta bahwa pusat gelombang revolusi saat ini berada di Asia Selatan, dan bahwa beberapa rezim yang diguncang condong ke Tiongkok, memberikan pembenaran pada gagasan bahwa ini adalah pergantian rezim yang direkayasa oleh Barat.
Ada sebuah ironi dalam gagasan bahwa apa yang kita saksikan sekarang adalah gelombang revolusi warna.
Para penganjur ‘multipolaritas’ mengklaim bahwa kaum kiri harus melawan imperialisme dengan mendukung rezim-rezim borjuis yang ‘progresif’ dan ‘anti-imperialis’ di ‘Dunia Selatan’. Namun mereka buta terhadap fakta bahwa alasan kaum kiri begitu terdiskreditkan, sehingga meninggalkan vakum yang dapat diisi oleh kaum reaksioner, adalah justru karena kaum kiri telah mendukung khayalan yang sama tentang borjuasi nasional yang ‘progresif’ dan ‘anti-imperialis’ selama bertahun-tahun!
Gagasan bahwa ini adalah ‘revolusi warna’ jelas keliru. Konspirasi tidak dapat menjelaskan apa yang sedang kita saksikan. Namun dibalik gagasan keliru ini ada elemen kebenaran. Tanpa kepemimpinan revolusioner, kekuatan kontra-revolusi dapat menyusup dan mengambil alih. Kaum imperialis dapat menemukan celah untuk melakukan intervensi, dan situasi dapat merosot ke arah yang sangat reaksioner.
Kita harus mengatakan secara blak-blakan bahwa neraca dari revolusi-revolusi ini menunjukkan ini, dan ini adalah pelajaran yang harus ditarik.
Di Suriah, kegagalan revolusi untuk merumuskan sebuah program proletarian memungkinkan kaum imperialis untuk membajak gerakan tersebut dan mengubahnya menjadi pemberontakan Islamis. Demikian pula, pemberontakan pemuda Iran tahun 2018, yang gagal mengembangkan pendekatan kelas yang jelas, hanyut menuju orbit oposisi liberal yang didukung oleh Barat.
Dan bagaimana dengan gerakan-gerakan baru-baru ini? Di Kenya, Ruto tetap berkuasa. Kaum muda jelas telah gagal menumbangkan Ruto hanya dengan aksi-aksi unjuk rasa. Di Bangladesh dan Sri Lanka, rezim lama berhasil ditumbangkan. Namun, di ketiga negara tersebut, pemerintah justru menjalankan kebijakan penghematan dan menyerang kelas buruh serta kaum miskin atas perintah IMF. Semua terpaksa menjalankan kebijakan ini karena inilah satu-satunya kebijakan yang mungkin di bawah kapitalisme.
Di tengah antusiasme yang meluap-luap untuk ‘pemulihan’ di Sri Lanka, hingga tahun lalu, tingkat kemiskinan tetap dua kali lipat dari angkanya pada awal tahun 2022. Kaum muda mencari cara untuk beremigrasi jika mereka bisa, atau jika tidak, mereka mendapati diri mereka terjebak bekerja berjam-jam tanpa henti untuk bertahan hidup. Di Bangladesh, sekitar 2,1 juta pekerjaan telah hilang sejak gerakan pada bulan Juli 2024.
Kondisinya terus memburuk. Masalahnya, akar penyebab penderitaan dan ketidakpuasan massa bersumber dari krisis kapitalisme, dan revolusi-revolusi ini tidak menyerang akar kapitalisme.
Korupsi juga belum berakhir. Di Bangladesh, para pemimpin mahasiswa telah menghabiskan sebagian besar otoritas mereka. Puncak dari ironi ini adalah apa yang terjadi pada sistem kuota yang memicu revolusi di Bangladesh. Tahun lalu kaum mahasiswa memobilisasi untuk mengakhiri diskriminasi: secara spesifik, untuk mengakhiri kuota pekerjaan sektor publik bergaji tinggi bagi anggota keluarga veteran Perang Kemerdekaan 1971. Itu adalah sistem yang, secara de facto, menyediakan pekerjaan bagi para antek rezim Hasina dan Liga Awami.
Sistem kuota itu memang dihapuskan … dan digantikan dengan sistem kuota pekerjaan yang dialokasikan untuk anggota keluarga veteran pemberontakan Juli 2024!
Satu-satunya hal yang mungkin terjadi di bawah kapitalisme adalah pembagian ulang hasil jarahan, tetapi tidak akan pernah ada akhir dari penjarahan itu sendiri.
Proses yang belum selesai
Revolusi bukanlah drama satu babak, dan ini bukanlah akhir dari cerita. Di Sri Lanka, Nepal, dan Bangladesh, rezim lama yang dibenci berhasil ditumbangkan. Massa mencetak kemenangan-kemenangan awal yang terbukti gemilang. Namun setelah ditelaah lebih dekat, ternyata kemenangan itu lebih bersifat semu daripada substansial. Kepala rezim telah dilengserkan, tetapi negara lama, kelas penguasa lama, masih memegang kekuasaan.
Ada analogi antara apa yang telah kita saksikan di sini dengan apa yang terjadi di Rusia pada Februari 1917.
Kaum buruh Rusia merangsek masuk ke panggung sejarah dalam sebuah pemogokan umum revolusioner. Dalam beberapa hari, Tsar dipaksa untuk turun takhta. Sebuah pemerintahan provisional didirikan. Tetapi ketika antusiasme sudah mereda, rakyat menemukan para jenderal dan birokrat monarkis lama masih berkuasa. Kaum kapitalis masih memiliki pabrik mereka, para tuan tanah masih menguasai semua tanah. Itu adalah Tsarisme tetapi tanpa Tsar.
Kemenangan akhir tidak akan tercapai sampai negara lama dihancurkan dan kaum buruh mengambil alih kekuasaan. Itulah yang terjadi dalam Revolusi Oktober 1917. Dan itu hanya mungkin terjadi karena kehadiran Partai Bolshevik yang memperjelas tujuan-tujuan revolusi dan memenangkan kelas buruh serta massa tertindas lainnya di Rusia ke panji mereka.
Seandainya partai itu tidak ada, kelas penguasa lama sangat mungkin akan menyeret Rusia ke barbarisme. Perang sipil, yang disertai dengan pogrom, akan membayangi. Kemungkinan besar, Rusia akan dipartisi di antara kekuatan-kekuatan imperialis dan jutaan orang akan tewas.
Dengan kata lain, Rusia akan menderita nasib yang sama seperti yang diderita Sudan hari ini. Di sana, massa revolusioner memiliki kesempatan yang sangat baik untuk merebut kekuasaan pada tahun 2019. Kepemimpinan yang ada membiarkan kesempatan itu lewat begitu saja, dan sekarang negara itu sedang dicabik-cabik oleh perang sipil yang biadab antara dua geng bersenjata reaksioner dan berbagai kekuatan imperialis yang berdiri di belakang geng-geng tersebut.
Tentu saja, kehancuran reaksioner seperti yang kita saksikan sekarang di Sudan sama sekali bukanlah sesuatu yang tak terhindarkan. Kekuatan kelas buruh dan serangkaian faktor lainnya turut berperan dalam menentukan hasil akhirnya. Namun, ini tetap merupakan sebuah peringatan keras bagi kita.
Siapa Selanjutnya?
Peristiwa-peristiwa revolusioner yang telah kita saksikan kemungkinan akan terus berlangsung selama beberapa tahun ke depan di Sri Lanka, Bangladesh, Nepal, Indonesia, Kenya, dan tempat-tempat lainnya. Akan ada pasang surut dan tidak diragukan lagi bahkan akan ada kebangkitan-kebangkitan insureksioner yang baru.
Jika sejarah Bolshevisme dari tahun 1903 hingga 1917 mengajarkan kita satu hal, hal itu adalah bahwa sebuah partai harus dibangun sebelum revolusi jika ingin memainkan peran yang menentukan. Kami ragu untuk mengatakan bahwa sebuah partai revolusioner tidak dapat dibangun dalam kondisi revolusi, tetapi melakukannya bukanlah tugas yang mudah.
Maka, apa yang harus kami sampaikan sekarang kami tujukan kepada kaum buruh dan kaum muda revolusioner yang paling maju di tempat-tempat yang belum diguncang oleh revolusi. Tugas membangun partai revolusioner harus segera dilaksanakan, sekarang juga! Semua contoh yang telah kami sebutkan di atas menunjukkan fakta tersebut.
Dibutuhkan waktu untuk membangun kader partai revolusioner massa di masa depan. Waktu bukanlah sesuatu yang kita miliki secara berlimpah. Kondisi-kondisi yang melahirkan revolusi di semua negara yang disebutkan sebelumnya sedang matang dengan cepat di mana-mana. Dan kondisi-kondisi yang menghasilkan revolusi-revolusi ini sangatlah mirip.
Di permukaan, negara-negara ini bahkan bukanlah negara-negara yang paling dilanda krisis di dunia. Jauh dari itu. Mereka justru sedang mengalami pertumbuhan yang akan membuat para ekonom di negara-negara kapitalis maju iri.
Antara tahun 2010 dan 2024, tidak termasuk tahun pandemi 2020, Nepal mengalami pertumbuhan tahunan rata-rata 4,7 persen; Kenya 5,2 persen; dan Indonesia 5,23 persen. Sri Lanka memasuki krisis lebih awal, tetapi pada tahun 2010 hingga 2018, negara itu juga mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 6,43 persen per tahun.
Namun jika digali lebih dalam, apa yang akan kita temukan? Pertumbuhan yang sangat tidak merata, yang tidak menciptakan lapangan pekerjaan, kemiskinan yang persisten, dan tumpukan utang besar dengan bunga tinggi yang harus dibayar ke kaum imperialis. Yang paling mengancam kelas penguasa adalah tingginya angka pengangguran kaum muda dan ketiadaan masa depan yang layak bagi kaum muda. Ini menjadi tema umum di banyak negara.
Di Sri Lanka, tingkat pengangguran kaum muda mencapai 25 persen pada 2021, empat hingga lima kali lipat dari tingkat rata-rata. Tujuh juta dari 44 juta pemuda Indonesia menganggur. Di Bangladesh, kurang dari 20 persen orang berusia 25-29 tahun memiliki pekerjaan tetap dengan kontrak lebih dari satu tahun. Sebelum pandemi, 39 persen lulusan di Bangladesh adalah pengangguran.
“Kami tidak punya pekerjaan dan tidak punya masa depan,” seperti yang diungkapkan seorang pemuda Kenya, “jadi kami punya seluruh waktu di dunia untuk menggulingkan kalian, dan tidak akan kehilangan apa pun dengan melawan kalian.”
Apakah ini ciri-ciri unik dari negara-negara ini? Bukan. Kondisi-kondisi tersebut sangatlah mirip dengan kondisi di banyak sekali negara lain.
Per tahun 2023, 21 negara, yang menaungi 700 juta orang, telah bangkrut atau berada di ambang kebangkrutan. Tiga miliar rakyat di seluruh dunia tinggal di negara-negara yang menghabiskan lebih banyak anggaran mereka untuk membayar bunga utang daripada untuk kesehatan atau pendidikan.
Bahkan selama masa-masa ‘baik’, massa harus bekerja mati-matian untuk bisa bernapas. Hal ini terutama berlaku di negara-negara miskin dan yang disebut berpenghasilan menengah, yang tidak memiliki cadangan yang diperlukan untuk menahan gempuran krisis yang pecah bersamaan dengan pandemi COVID-19.
Ketika revolusi mencengkeram Sri Lanka pada tahun 2022, kami memprediksi bahwa peristiwa serupa akan menimpa satu negara demi satu negara karena mereka memiliki ciri-ciri fundamental yang sama. Dan demikianlah yang terjadi, dan kami dengan yakin memprediksi bahwa daftar panjang negara-negara tersebut belum lengkap. Kelas-kelas penguasa di India dan Pakistan – dan banyak ‘anak-anak nepo’ mereka! – pasti gemetar ketakutan menyaksikan adegan-adegan di Nepal, Bangladesh dan Sri Lanka.
Gelombang revolusioner ini telah dimulai di negara-negara yang lebih miskin dan kurang berkembang, tetapi tidak akan tetap terbatas pada mereka. Seperti yang dijelaskan oleh Trotsky, “Penyakit asam urat dimulai dari jari kelingking atau jempol kaki, tetapi begitu dimulai, ia akan merambat hingga mencapai jantung.”
Api revolusi sudah mulai menjilat pinggiran Eropa di Serbia, dan gerakan bloquons tout di Prancis menunjukkan bahwa revolusi memang akan merambat hingga ke jantungnya. Dunia sedang terbakar, dan ledakan-ledakan revolusioner sudah ada dalam agenda. Kita harus menyerap fakta ini, dan segala sesuatu yang mengalir darinya dalam hal tanggung jawab yang dibebankan kepada kita sebagai kaum revolusioner untuk membangun dengan urgensi.
