Untuk yang mungkin sudah lupa, belum lama yang lalu ada pertempuran hebat di Indonesia dalam melawan kekuatan gelap fasisme. Kiri-kiri kita, termasuk para akademisi “Marxian” yang gemar menggelar ceramah dan kelas Marxis di Youtube, dengan gagahnya berjuang melawan kebangkitan fasisme dan Orde Baru. Mereka dengan bergegas melompat ke gerbong Demokrasi Jokowi untuk menghadang Prabowo. Tidak hanya sekali, bahkan dua kali, dengan antusiasme yang tidak berkurang sedikit pun. “Hore”, teriak mereka dengan gegap gempita ketika Demokrasi menang. Mereka menepuk dada mereka, sebagai tanda keberanian mereka telah menghentikan laju fasisme. Mereka telah menjadi bagian dari sejarah, begitu pikir mereka. Bahkan ada yang menyatakan ini sebagai kemenangan Soekarno-isme, yang katanya akan membuka jalan ke sosialisme ala Indonesia.
Kini Demokrasi dan Fasisme telah menjalin persekutuan suci, dengan majunya pasangan Prabowo-Gibran, yang de fakto sebenarnya adalah pasangan Prabowo-Jokowi, dengan Gibran sebagai utusan ayahnya belaka. Sesungguhnya persekutuan ini sudah sejak lama terjalin dengan masuknya Gerinda ke dalam koalisi pemerintahan berkuasa dan bergabungnya Prabowo ke kabinet Jokowi sebagai Menteri Pertahanan pada 2019. Kebodohan Kiri-kiri liberal kita, yang begitu gagap mengekor Jokowi, terungkap dengan begitu jelasnya. Pada kenyataannya, tidak pernah ada itu ancaman fasisme baik pada pemilu 2014 maupun 2019. Ini hanyalah bayangan yang diciptakan oleh Kiri liberal kita untuk membenarkan pengekoran mereka pada Jokowi.
Andai saja kebodohan ini hanyalah kesalahan pribadi yang dampaknya juga bersifat pribadi. Tetapi tidak, mereka sesungguhnya telah menjadi bagian dari politik borjuasi yang mengelabui rakyat pekerja. Kiri-kiri liberal kita ini memang gemar membuntuti borjuasi, tetapi mereka ingin menjaga kredensial kiri progresif mereka, kredensial radikal dan bahkan “Marxis” mereka, dan oleh karenanya mereka harus menciptakan narasi menghadang fasisme sebagai kedok untuk menutupi kebijakan kolaborasi kelas mereka. Seluruh teori mereka telah dihancurkan oleh realitas. Tetapi tidak apa-apa, mereka akan menciptakan teori baru lagi untuk membenarkan kolaborasi kelas mereka selanjutnya.
Selama dua periode, rejim Jokowi mewakili dengan setia kepentingan modal. Kebijakan demi kebijakan yang disahkannya telah menggerus tidak hanya taraf hidup rakyat tetapi bahkan ruang demokrasi rakyat. Jokowi telah melakukan semua yang ditakutkan oleh Kiri-kiri kita akan dilakukan oleh Prabowo. Ini tidak bisa tidak. Keduanya, dan juga semua partai politik borjuasi yang berdiri di belakang mereka, yang di setiap pemilu dengan mudahnya berpindah koalisi ke sana ke mari, adalah perwakilan setia kapital. Demokrasi yang ada adalah demokrasi borjuis, yaitu demokrasinya kelas penguasa. Bila di antara para perwakilan politik ini mereka tampak berseteru, ini hanya dagelan politik untuk menabur debu ke mata rakyat pekerja, sebagai sirkus politik yang meninabobokan kesadaran kelas mereka.
Hari ini, tidak ada basis ekonomi ataupun politik bagi ancaman fasisme ataupun kembalinya Orde Baru di Indonesia (Baca tulisan kami sebelumnya Apa ada Bahaya Fasisme di Indonesia?). Tetapi inheren dalam demokrasi borjuis, terutama saat kapitalisme tengah dilanda krisis mendalam, adalah kecenderungan menuju ke absolutisme. Ketika kaum kapitalis harus melawan kebangkitan gerakan massa yang semakin hari semakin militan, mereka akan mencampakkan norma-norma demokrasi dan semakin menggunakan kekerasan terbuka. Mendukung demokrasi borjuis oleh karenanya tidak akan mencegah kembalinya Orde Baru, tetapi justru mempersiapkan jalan ke sana. Semua politisi dan sistem politik mereka merupakan sisa-sisa Orde Baru, yang dapat kembali bila memang dibutuhkan oleh penguasa. Satu-satunya jalan untuk mencegah kembalinya Orde Baru adalah dengan secara revolusioner menumbangkan kapitalisme, dan prasyarat utamanya adalah mempertahankan kemandirian kelas buruh, tidak mengekor pada apa yang disebut sebagai borjuasi “progresif”.
Sebagian dari Kiri liberal yang sebelumnya pro-Jokowi kini telah bergabung ke dalam Partai Buruh. Tetapi ini tidak mengubah watak mereka. Mereka mengekor dengan setia ke sayap reformis kanan Partai Buruh, yang pada gilirannya mengekor ke borjuasi. Kepemimpinan Partai Buruh masih sibuk mempertimbangkan mana pasangan borjuis yang akan memberi mereka keuntungan: Ganjar atau Prabowo. Pada akhirnya, arahnya masih sama, menjual kemandirian politik buruh untuk mengekor ke borjuasi. Dengan kebijakan kolaborasi kelas seperti ini, nasib Partai Buruh akan berakhir. Bila buruh harus memilih antara Ganjar atau Prabowo, mereka tidak perlu melakukannya lewat Partai Buruh. Mereka bisa melakukannya lewat banyak partai borjuis yang ada hari ini. Tidak ada alasan bagi keberadaan Partai Buruh sama sekali. Polling terakhir dari Lembaga Survei Indonesia pada awal Oktober 2023 memberi Partai Buruh nol persen suara. Partai ini menjadi semakin tidak relevan semakin ia mendekati pemilu.
Dalam ajang pileg dan pilpres yang sebentar lagi akan dimulai, tugas kaum Marxis adalah memblejeti kemunafikan dan kebohongan demokrasi borjuis, dan bukannya terjebak dalam permainan memilih terbaik dari yang terburuk. Kita harus menerangkan kepada rakyat pekerja, dengan seterang-terangnya, dengan kesabaran dan keuletan yang teladan, akan antagonisme kelas yang tak terdamaikan antara modal dan buruh. Inilah pilihan terbaik dari yang terbaik bagi setiap kaum muda dan buruh revolusioner yang sungguh ingin berjuang demi sosialisme, yang jelas bukanlah jalan yang termudah dan paling nyaman.