Skip to content
Sosialis Revolusioner
Menu
  • Berita
  • Analisa
    • Gerakan Buruh
    • Agraria & Tani
    • Gerakan Perempuan
    • Gerakan Mahasiswa
    • Ekonomi
    • Politik
    • Pemilu
    • Hukum & Demokrasi
    • Imperialisme & Kebangsaan
    • Krisis Iklim
    • Lain-lain
  • Teori
    • Sosialisme
    • Materialisme Historis
    • Materialisme Dialektika
    • Ekonomi
    • Pembebasan Perempuan
    • Organisasi Revolusioner
    • Iptek, Seni, dan Budaya
    • Lenin & Trotsky
    • Marxisme vs Anarkisme
    • Sejarah
      • Revolusi Oktober
      • Uni Soviet
      • Revolusi Indonesia
      • Lain-lain
  • Internasional
    • Asia
    • Afrika
    • Amerika Latin
    • Amerika Utara
    • Eropa
    • Timur Tengah
  • Perspektif Revolusi
  • Program
  • Pendidikan
  • Bergabung
Menu

Kritik Marxis atas Gerakan Rimpang (Rizomatik)

Dipublikasi 25 July 2025 | Oleh : Redaksi Sosialis Revolusioner

Setiap kali gerakan mengalami stagnasi ataupun kemunduran, para partisipannya pun kerap kali mempertimbangkan ulang gagasan yang ada, dan tidak jarang mencoba mencari-cari ide baru untuk keluar dari situasi tak mengenakkan itu. Klarifikasi dan re-klarifikasi adalah kebiasaan yang baik bagi semua insan pejuang, agar tidak berhenti belajar dan berpikir. Tetapi, yang sering kali terjadi klarifikasi ini justru menjadi refleksi kepasrahan dan demoralisasi yang melanda gerakan. Inilah yang menjadi basis ramainya konsep gerakan rimpang atau rizomatik, yang esensinya bisa diringkas dalam sentimen pesimis ini: “Lantas, apa yang tersisa dan bisa kita kerjakan sekarang? Perlawanan sehari-hari, kecil atau besar. Apa yang tertinggal dari kita hanyalah kesadaran melawan untuk merespons segala kondisi bahaya ini.” (Alvino Kusumabrata. Apa yang bisa kita lakukan sekarang?) Tidak ada hal-hal besar yang bisa kita harapkan atau capai sekarang, apalagi revolusi, jadi yang tersisa adalah “perlawanan kecil” yang bisa dianggap sebagai “tindakan revolusioner”.

Pertama-tama, apakah situasinya memang seburuk itu? Kita harus memeriksa premis ini terlebih dahulu, yang biasanya jadi landasan untuk menyangkal perjuangan untuk perubahan besar atau revolusi. Kita harus memulai dari perspektif situasi nasional dan internasional yang ada, yang telah kami sajikan secara komprehensif dalam dua dokumen ini: Perspektif Politik 2025 dan Perspektif Dunia 2025.

Kapitalisme tengah memasuki krisisnya yang terdalam, yang telah menciptakan polarisasi tajam dan letupan-letupan di mana-mana. Situasi revolusioner tengah dipersiapkan karena kebuntuan kapitalisme dalam mengembangkan kekuatan produktif dan memajukan umat manusia. Kondisi objektif terus menjadi semakin matang. Tidak ada satupun negara yang imun yang proses ini. Di berbagai negara peristiwa bisa saja bergulir dengan kecepatan berbeda-beda, tetapi arahnya sama. Ini telah menemukan manifestasinya juga di Indonesia dalam sejumlah gelombang demonstrasi yang muncul selama beberapa tahun terakhir, seperti gerakan Reformasi Dikorupsi dan Peringatan Darurat. Ada tikus tanah yang sedang menggali di bawah permukaan kesadaran rakyat. Tetapi bila faktor subjektifnya hanya berkutat dalam perspektif perlawanan kecil rizomatik, dengan nada pesimis “apa yang tersisa dan bisa dikerjakan sekarang?”, maka faktor objektif sebaik apapun hanya akan menguap.

Revolusi tidak akan terjadi besok atau lusa. Saya bahkan tidak bisa menjanjikannya tahun depan. Tidak ada yang bisa memprediksinya. Tetapi kontradiksi inheren dalam kapitalisme terus mempersiapkan kondisi untuk revolusi, terlebih dalam periode krisis sekarang ini, dan kita memulai kerja kita dari perspektif ini.

Namun, bahkan bila situasinya sekarang reaksioner, tidak kondusif, dsb., ini tidak seharusnya membuat seorang menjadi pesimis. Dialektika mengajarkan kita bahwa tidak ada satupun keadaan yang ajek, terlebih ketika masyarakat kapitalis kian hari kian terjebak dalam kontradiksi yang tak terpecahkan. Cepat atau lambat, kesadaran massa yang tampaknya konservatif dan terbelakang itu akan melompat ke depan. Inilah revolusi.

Di sini kita bisa belajar dari sejarah, terutama sejarah Revolusi Oktober. Yang sering dilupakan adalah bagaimana 3 tahun sebelum terjadinya revolusi tersebut, dunia dijerumuskan ke dalam perang berdarah-darah, di mana buruh saling membantai di parit-parit perang. Hampir semua pemimpin Sosial Demokrasi berkhianat dan menjadi pendukung perang. Di tengah situasi yang sulitnya tak terbayang itu, ketika banyak aktivis yang demor dan pesimis, Lenin merumuskan perspektif perjuangannya dengan cara demikian: “Manifesto Basle 1912 … memproklamirkan datangnya revolusi proletariat sehubungan dengan perang ini. Dan memang, perang ini tengah menciptakan situasi revolusioner, tengah memupuk sentimen revolusioner dan keresahan di antara massa, tengah membangkitkan kesadaran lapisan proletariat yang termaju akan kebusukan oportunisme, dan tengah mempertajam perjuangan melawan oportunisme. … Perang imperialisme tengah membuka era ke revolusi sosial. Semua kondisi objektif hari ini telah menempatkan perjuangan revolusioner massa proletariat ke dalam agenda.” (Lenin. The Draft Resolution of the Left Wing at Zimmerwald, Agustus 1915).

Saat itu kekuatan kiri revolusioner sangat kecil dan terisolasi dari massa, tetapi ini tidak menghentikan Lenin untuk mengajukan slogan “ubah perang imperialis menjadi perang sipil”, alih-alih dengan nada menyerah membatasi diri pada “perlawanan sehari-hari”. Dengan perspektif revolusi sosialis seperti itulah Lenin membangun Partai Bolshevik, yang siap untuk mengintervensi secara menentukan ketika situasi berbalik dengan cepat. Inilah yang menjamin kemenangan Revolusi Oktober.

Di sinilah yang sebenarnya sangat kurang dari debat seputar gerakan rimpang, antara yang pro dan kontra. Umumnya yang diperdebatkan hanyalah hal yang sekunder, yakni dengan atau tanpa struktur, dengan atau tanpa pemimpin. Yang absen adalah perspektif apa yang seharusnya mendasari gerakan: reformisme atau revolusi?

Bila gerakan terstruktur, seperti serikat buruh dan partai buruh, tidak dipersenjatai dengan perspektif revolusi sosialis, dan hanya terbatas pada perspektif negara kesejahteraan – dalam kata lain, berjuang untuk kapitalisme yang lebih baik, lebih humanis – maka hasilnya seperti yang dikeluhkan oleh Alvino dalam artikelnya: pemandangan menjijikkan para aristokrat buruh berdiri bersama Prabowo di panggung perayaan May Day, tertawa sembari menyanyikan lagu Internasionale (baca May Day Kelas Buruh versus May Day Penguasa). Melihat kondisi serikat buruh dan Partai Buruh seperti demikian, tidak heran banyak anak muda yang lalu tertarik dengan konsep gerakan rimpang sebagai alternatif. Tetapi problem dasarnya bukanlah ada tidaknya struktur ataupun kepemimpinan. Struktur serikat buruh di bawah Said Iqbal, Andi Gani, dkk. yang konservatif, birokratik, dan menyesakkan itu, serta tabiat para pemimpin ini yang selalu ingin menghamba ke kapitalis, merupakan turunan dan konsekuensi dari ideologi reformisme mereka.

Gerakan rimpang dengan gagasan reformisme yang sama, yaitu perubahan-perubahan kecil dan gradual di dalam batas-batas kapitalisme tanpa perspektif untuk berjuang demi revolusi sosialis, niscaya akan membawa kita ke hasil yang sama. Bila kita periksa, gagasan yang melandasi gerakan rimpang memang tidak lain adalah reformisme, dan tidak bisa tidak karena secara konseptual dan spiritual gerakan ini mengekspresikan demoralisasi dari selapisan aktivis borjuis kecil dalam berjuang demi transformasi masyarakat secara fundamental dan revolusioner. Mereka sudah menanggalkan cita-cita sosialisme, atau bahkan sedari awal memang tidak pernah percaya padanya. Mereka telah menerima tugas mereka untuk memperbaiki kapitalisme sedikit demi sedikit. Ini tidak berbeda dengan mentalitas para pemimpin reformis dalam serikat dan partai buruh. Dengan demikian, mereka adalah dua sisi dari koin yang sama.

Ketika seorang baru saja terbuka matanya pada sistem penindasan yang ada dan mulai melawan, tentu saja dia akan memulai dari perlawanan kecil secara individual. Seorang buruh misalnya akan memperlambat kerjanya, atau mencuri waktu istirahat. Atau dia akan dengan ‘tidak sengaja’ merusak mesin pabriknya. Tetapi dengan cepat dia akan melihat bahwa “perlawanan sehari-hari”-nya yang remeh temeh ini tidak memadai. Belajar dari pengalaman gerakan buruh, dia akan mulai berorganisasi. Dari awalnya hanya berkutat dalam organisasi ekonomi (serikat buruh), kesadarannya terus berkembang hingga ia memahami bahwa problemnya adalah relasi produksi dan kepemilikan borjuis serta bangunan negara borjuis yang membelanya, dan untuk itu dibutuhkan perjuangan untuk merombak secara fundamental tatanan masyarakat yang ada: revolusi sosialis. Untuk mencapai cita-cita sosialisme ini, dibutuhkan partai yang bersenjatakan teori sosialisme revolusioner, yang merupakan distilasi dari pengalaman perjuangan kelas proletariat selama 200 tahun terakhir. Alih-alih tumbuhan merambat (rizomatik), yang akarnya begitu dangkal dan mudah dicerabut, dibutuhkan pohon dengan akar yang kuat, batang besar yang kokoh, ranting-ranting yang menyebar, yang tumbuh tinggi meninju langit.  

Ketika para advokat gerakan rimpang menjadikan fase awal perjuangan ini – yang sifatnya individual, sehari-hari, dan cair – semacam teori dan stratak umum gerakan, dengan memberinya ungkapan intelektual yang muluk-muluk, maka mereka secara aktif menyebabkan stunting pada perkembangan gerakan rakyat pekerja. Kelas penguasa tidak pernah melihat Deleuze, Foucault, dan para akademisi “Kiri’ semacamnya sebagai ancaman, persis karena mereka memainkan peran penting menciptakan kebingungan dan meredam elan revolusioner anak-anak muda. Sementara gagasan Marx dan Lenin – dan partai revolusioner yang mewakili gagasan mereka, dari PKI sampai PRD di masa awalnya – selalu ditakuti dan terus diserang dengan keji oleh kelas penguasa.

Kita tidak kekurangan perlawanan sehari-hari yang kecil. Rakyat pekerja tidak pernah punya pilihan lain selain terus melawan ketidakadilan dan ini telah mengambil banyak bentuk dan manifestasi. Tugas kita adalah mengintervensi semua manifestasi perlawanan ini, dengan memajukan ide, program, dan metode sosialis agar perlawanan ini berkembang lebih lanjut, terus mendorong kesadaran kelas buruh agar mencapai pemahaman akan tugas historis mereka: perebutan kekuasaan dan transformasi sosialis masyarakat. Hanya partai revolusioner yang rapat, disiplin, profesional, yang dibangun dengan ketekunan yang keras kepala, yang bisa melakukan ini.

Ingin menghancurkan kapitalisme ?
Teorganisirlah sekarang !


    Dokumen Perspektif

    srilanka
    Manifesto Sosialis Revolusioner
    myanmar protest
    Perspektif Revolusi Indonesia: Tugas-tugas kita ke depan

    ©2025 Sosialis Revolusioner | Design: Newspaperly WordPress Theme