Pemerintahan Prabowo sudah dilantik, yang merupakan kelanjutan dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya yang memperjuangkan kepentingan pemodal. Ada secercah harapan bahwa mungkin Partai Buruh akan menjadi partai oposisi, kendati perolehan suaranya yang tidak mumpuni untuk duduk di DPR. Tetapi justru Partai Buruh, yang katanya adalah partainya kelas pekerja, merapat dengan tanpa malu ke Prabowo. Dengan ini, Partai Buruh telah gugur prematur bahkan sebelum bisa merangkak.
“We are the working class,” begitu pekik para pemimpin Partai Buruh saat kongres pendirian Partai Buruh tiga tahun yang lalu. Tidak tanggung-tanggung, lagu Internasionale pun dinyanyikan saat itu. Kini slogan tersebut sudah terjungkir balik menjadi “Prabowo adalah kita. Kita adalah Prabowo”. Pada perayaan HUT ke-3 Partai Buruh pada 18 September kemarin, dengan resmi Said Iqbal dkk. menyatakan dukungannya pada pemerintahan Prabowo. Dengan demikian, perayaan HUT yang digembar-gemborkan sebagai perayaan kebangkitan gerakan buruh sesungguhnya lebih tepat disebut sebagai perayaan kejatuhan gerakan buruh.
Tidak hanya mendukung Prabowo, di hampir semua kota dan provinsi, Partai Buruh memasuki berbagai koalisi borjuis untuk pilkada 2024 nanti. Di Jakarta, dengan mendukung gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, kandidat dari koalisi gemuk 17 partai borjuis; di Banten, dengan mendukung kandidat PDI-P dan Golkar; di Jatim, dengan mengekor ke petahana Khofifah, politisi borjuis yang disokong partai-partai kelas penguasa; di Jateng, Partai Buruh bahkan sampai memberi gelar “Bapak Buruh” kepada mantan Kapolda Ahmad Luthfi yang akan berlaga dalam pilkada; dst., dst. Para pemimpin reformis ini tidak hanya bergandengan mesra dengan politisi borjuis, tetapi juga dengan aparatus kekerasan negara yang kerap digunakan untuk merepresi buruh dan tani.
Peluang yang disia-siakan
Tanda-tanda keguguran ini sudah terlihat sedari awal. Para pemimpin serikat buruh yang menjadi inisiator pendirian Partai Buruh telah dikenal sebagai pemimpin reformis kanan yang selalu sedia mendukung partai borjuis ini dan itu. Kolaborasi kelas dengan pemodal ada dalam DNA mereka, dan mereka hanya melihat Partai Buruh sebagai satu lagi metode untuk melakukan politik dagang sapi dengan penguasa. Ini terbukti ketika Partai Buruh kini dijadikan satu lagi lumbung suara untuk digadaikan ke kaum borjuis.
Tetapi ini tidak berarti Partai Buruh sejak pendiriannya tiga tahun yang lalu sudah terkutuk dan pasti akan gugur. Kita bukan fatalis. Nasib final Partai Buruh tidak sepenuhnya didikte oleh keinginan para pemimpin kanan mereka, tetapi juga oleh aspirasi massa buruh di bawah. Di tengah kebusukan parpol-parpol yang ada, serta krisis kapitalisme yang dalam, ada keinginan terpendam di antara rakyat pekerja untuk mencari partai baru yang berbeda dari semua partai yang ada hari ini, dan Partai Buruh memiliki peluang untuk menjadi partai baru tersebut.
Pada September 2021, di awal proses pendirian Partai Buruh ini, kami menulis: “Setelah lebih dari 50 tahun tidak memiliki partainya sendiri, dan hanya jadi lumbung suara untuk parpol-parpol kelas penguasa, kelahiran partai ini dapat menjadi momen historis bagi gerakan buruh Indonesia. Namun proses ini belum tentu rampung … dan masih akan ditentukan oleh proses-proses pergulatan selanjutnya.” (Kebuntuan Asas “Negara Kesejahteraan” Partai Buruh) Nasib PB saat itu masih akan ditentukan oleh pergulatan hidup di antara berbagai kekuatan, di satu sisi kerak birokrasi serikat buruh yang ada di atas dan di sisi lain dorongan buruh akar-rumput dari bawah.
Sayangnya, di hadapan lapisan birokrasi yang besar, yang mencekik mati semua pori-pori organisasi buruh selama dekade terakhir, dorongan akar-rumput tidak cukup kuat untuk membawa Partai Buruh ini ke jalur yang tepat. Setiap kebijakan dan pendekatan para pemimpin Partai Buruh tidak memberikan antusiasme karena rakyat dapat melihat tidak ada perbedaan fundamental dengan partai-partai lain. Alih-alih organisasi perjuangan militan yang menjunjung tinggi kemandirian kelas buruh, Partai Buruh dijadikan mesin elektoral semata, yang akhirnya – seturut kerangka elektoralisme yang sempit itu – dibawa memasuki koalisi dengan kelas penguasa.
Awalnya, tampaknya ada harapan kecil di antara selapisan buruh, kaum muda, dan rakyat pekerja lainnya akan potensi Partai Buruh. Tetapi dengan cepat harapan ini padam karena orientasi oportunis kepemimpinan mereka yang segera membawa partai ini merapat ke borjuasi. Belum mulai berlaga di pemilu saja kepemimpinan Partai Buruh sudah mendorong partai ini untuk mendukung capres-cawapres borjuis. Ini terungkap dalam rakernas pada awal 2023 ketika mayoritas petinggi Partai Buruh menyatakan akan mendukung politisi borjuis seperti Ganjar Pranowo, Anies, dan bahkan ketua KADIN dalam pilpres. Apapun antusiasme yang ada sebelumnya di antara rakyat pekerja langsung menguap tanpa bekas, dan hasilnya bisa diprediksi: Partai Buruh hanya meraup 0,6 persen suara.
Selain itu, cara partai ini diorganisir tidak berbeda jauh dengan cara serikat-serikat buruh kuning diorganisir, yaitu secara birokratik dan top-down, yang lantas merintangi keterlibatan aktif buruh akar-rumput. Posisi kepengurusan dan caleg dibagi-bagi oleh elite kepemimpinan buruh sesuai dengan kesetiaan mereka pada instruksi pemimpin di atas. Ada sejumlah aktivis kiri yang diberi posisi dan mereka mengira bahwa dengan posisi ini mereka bisa mendorong Partai Buruh ke kiri. Tetapi mereka justru tersandera oleh posisi ini, dan mereka hanya berakhir menjadi tameng kiri bagi sayap-kanan.
Satu hal lagi yang perlu dicatat. Partai Buruh didirikan di titik terendah gerakan buruh, yang telah mengalami kekalahan bertubi-tubi sejak Getok Monas 2012. Kekalahan-kekalahan ini pun sesungguhnya adalah konsekuensi dari kepemimpinan serikat buruh yang konservatif dan birokratik, yaitu kepemimpinan yang sama yang kini mendominasi Partai Buruh. Tanpa gerakan massa di belakangnya, maka tidak ada keterlibatan massa buruh luas di dalam partai ini. Sebagai konsekuensinya, Partai Buruh memiliki dinamika yang sama seperti kebanyakan serikat-serikat kuning yang membangunnya: yakni organisasi yang dikendalikan secara birokratik oleh elite-elite serikat yang konservatif. Haluan partai ini didikte oleh reformisme dan oportunisme yang sama yang mendominasi serikat-serikat tersebut. Demikianlah kondisi objektif yang ada.
Perjuangan ideologis melawan reformisme dan oportunisme
Namun kaum revolusioner bukan pesimis. Di hadapan kondisi objektif yang tidak menguntungkan sekalipun, dengan kekuatan yang kecil, kita terus menyuarakan gagasan sosialisme dan menyerang tanpa ampun oportunisme dan reformisme dalam gerakan buruh. Kaum revolusioner selalu melihat perjuangan sosialis dalam perspektif jangka panjang, bahwa perjuangan ideologi yang kita lakukan hari ini – bahkan ketika kita masih belum memiliki kekuatan organisasional untuk mengubah hasil – merupakan investasi untuk masa depan. Terkandung dalam perjuangan ideologis ini adalah pelajaran penting untuk generasi pejuang di hari depan.
Lewat kritik tajam kita yang membongkar oportunisme dan reformisme para pemimpin buruh, lewat analisa kita mengenai pengalaman Partai Buruh ini, kita tengah merekam pelajaran penting untuk masa depan agar tidak hilang ditelan waktu. Kita tengah mendidik generasi buruh muda di hari depan agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Ketika perimbangan kekuatan yang tidak menguntungkan masih belum memungkinkan kita untuk memenangkan posisi politik, maka kita harus mempertahankan posisi ideologis kita, bukan mengobralnya dengan dalih “karena kita kecil, kita ngikut dulu”.
Ketika semakin terang-terangan Said Iqbal membawa Partai Buruh ke rangkulan borjuasi, kami mengatakan: “Kiri sedari awal harus terbuka – tidak menahan diri – mengkampanyekan bahwa Partai Buruh harus mengadopsi prinsip kemandirian kelas buruh; mengumumkan dengan selantang-lantangnya bahwa kebijakan reformisme dan kolaborasi kelas dari para pemimpin kanan akan menjerumuskan Partai Buruh.” (Said Iqbal Arahkan Partai Buruh ke Borjuasi. Apa yang Harus Dilakukan Kiri?)
Bagaimana jawaban salah satu unsur kiri yang terbesar dalam Partai Buruh? Mari kita simak:
“Konfrontasi antagonistik hanya akan memperlemah proses konsolidasi politik kelas pekerja yang tengah diupayakan melalui Partai Buruh, sebab perhatian politik anggota partai menjadi terseret ke urusan konflik internal ketimbang fokus mempersiapkan pertarungan elektoral itu sendiri…. [Kita harus] memastikan suksesnya agenda elektoral Partai Buruh,” balas Muhammad Ridha, editor jurnal IndoProgres, salah satu ideolog Kompolnas dan juga Staf Khusus Ideologisasi dan Kaderisasi Partai Buruh. (Menilai Partai Buruh: Analisis dari Dalam)
Kenyataannya, dengan mencampakkan perjuangan ideologis yang tajam (atau yang disebutnya “konfrontasi antagonistik”), kita justru melemahkan proses konsolidasi politik kelas buruh di dalam Partai Buruh. Kaum reformis kanan dalam gerakan buruh mempertahankan dominasi mereka tidak hanya lewat kontrol mereka atas aparatus-aparatus birokratik serikat dan Partai Buruh, tetapi juga – dan terutama – lewat cengkeraman ideologi mereka. Saat ini ideologi yang paling dominan dalam gerakan buruh ialah ideologinya kelas penguasa, dan Said Iqbal dkk. adalah sabuk transmisinya. Ideologi ini mengatakan bahwa buruh dan pengusaha bisa sama-sama sejahtera; bahwa politisi borjuis (bahkan polisi) dapat menjadi perwakilan buruh yang baik; bahwa kapitalisme itu bisa dijadikan kapitalisme yang humanis dan adil, yang bisa menawarkan negara kesejahteraan; bahwa tidak perlu itu perjuangan kelas, apalagi revolusi. Selama ini tidak dilawan, tidak dikonfrontir secara antagonistik, maka selama itu pula para pemimpin kanan ini, yang tidak lain adalah pelayan kapitalis, akan memiliki cengkeraman kuat terhadap gerakan buruh.
Kapitalisme berulang kali bisa selamat dari krisis yang menghantamnya bukan hanya karena ia memiliki aparatus kekerasan yang digunakan untuk merepresi massa. Reformisme adalah benteng pertahanan terakhir kapitalisme, yang dari dalam gerakan buruh senantiasa meredam kekuatan massa yang hendak melawan dan menumbangkan kapitalisme. Di sinilah terletak signifikansi perjuangan kita dalam melawan reformisme. Bila kita mengira dengan memoderatkan politik kita, dengan menyimpan rapat-rapat sosialisme kita, kita dapat membangun kekuatan politik kelas pekerja, maka fakta – bukan sekali ini saja, dan bukan di Indonesia saja – telah membantah perspektif demikian.
Bila saja kaum kiri sedari awal berani dengan lantang meluncurkan perjuangan ideologis melawan politik kolaborasi kelas dan oportunisme dalam Partai Buruh, berani berbicara mengenai sosialisme, maka setidaknya ini dapat menjadi modal politik ke depan. Setelah selapisan buruh dan pemuda muak melihat pengkhianatan para pemimpin seperti Said Iqbal dan Andi Gani, mereka dapat melihat ada sayap kiri sejati dalam Partai Buruh, yang walaupun kecil punya nyali untuk mengedepankan gagasan sosialis yang jernih. Mereka dapat melihat kontras yang jelas antara pemimpin kanan dan pemimpin kiri. Mereka dapat belajar untuk berjuang secara prinsipil, untuk memenangkan Partai Buruh dari tangan para pelayan kapitalis tersebut. Kekuatan sayap kiri Partai Buruh dapat menjadi lebih kuat.
Dalam memperjuangkan gagasan sosialisme, tidak ada hasil instan. Ini kerja yang harus dilakukan secara konsisten dan sabar, bukan dicampakkan demi “memastikan suksesnya agenda elektoral Partai Buruh”. Ini oportunisme namanya, dan, sekali lagi terbukti dalam sejarah, oportunisme semacam ini hanya membawa kita ke kekalahan.
Reformisme dan krisis kapitalis
Implisit dalam reformisme adalah pengkhianatan. Inilah pelajaran utama yang harus terus kita tekankan pada setiap kaum buruh dan muda. Ini bukan berarti memboikot organisasi buruh yang masih didominasi oleh para pemimpin reformis, tetapi berarti berani secara konsekuen melawan para pemimpin reformis ini di dalam organisasi-organisasi buruh.
Kaum revolusioner tidak menihilkan perjuangan elektoral. Yang kami kecam adalah pengejaran agenda elektoral yang mencegah kaum kiri dari mengkritik kekeliruan paham reformisme dan kolaborasi kelas yang diusung oleh kaum Said Iqbal dan Andi Gani, dari mengajukan gagasan sosialisme sebagai tandingannya. Terutama, demi mengutamakan agenda elektoral, kritik terhadap gagasan Negara Kesejahteraan – yang merupakan esensi dari reformisme dan kolaborasi kelas – dikesampingkan. Lebih buruk lagi, banyak aktivis Partai Buruh yang mengaku “sosialis” yang justru ikut mengumandangkan Negara Kesejahteraan.
Dalam prinsip Negara Kesejahteraan tertambat harapan kaum reformis bahwa kapitalisme dapat menyejahterakan rakyat pekerja, bahwa negara itu adalah badan netral yang bisa digunakan untuk membela kepentingan buruh. Prinsip yang sama inilah yang lalu dijadikan alasan Said Iqbal untuk mendukung pemerintahan Prabowo. Untuk membenarkan keputusannya mendukung Prabowo, Said Iqbal dalam pidatonya pada HUT ke-3 Partai Buruh mengatakan demikian:
“Bila ada presiden Republik Indonesia memberi makan, masa kita gak dukung? Sekarang ketika APBN digunakan untuk memberi makanan bergizi pada rakyat, semua dikasih makan oleh negara, maka Partai Buruh berada bersama presiden Prabowo Subianto, mendukung program makan gratis. Itu jelas. Keberpihakan. Alasan kedua, presiden Prabowo Subianto …mengatakan, selayaknya, sepantasnya, UKT, uang kuliah tunggal yang mahal itu ditiadakan, seharusnya orang kuliah gratis. Masa kita menolak? Masa kita berhadapan? Tidak ada pilihan. Partai Buruh menyerukan kepada buruh-buruh di seluruh Indonesia kita bersama Prabowo Subianto.”
Ketika pemerintahan memberikan sejumlah program sosial seperti makan gratis dan kuliah gratis, maka bagi kaum reformis ini adalah perwujudan Negara Kesejahteraan. Maka dari itu, bagi Said Iqbal dkk. satu-satunya kesimpulan yang mengalir dari ini adalah mendukung pemerintah. Akan tetapi, program makan gratis ini hanyalah remah-remah kecil yang diberikan – atau lebih tepatnya dijanjikan selama masa pemilu – oleh borjuasi untuk mengalihkan perhatian kelas pekerja dari eksploitasi yang memiskinkan. Realisasinya pun masih dipertanyakan. Entah anggaran program sosial lain akan dipotong untuk membiayai makan gratis ini, atau hutang negara akan membengkak dan rakyat pekerja yang akan membayarnya nanti.
Dari masa ke masa, pemerintah kapitalis di mana pun telah menggelontorkan berbagai program sosial bagi rakyat pekerja, tetapi ini tidak mengubah sama sekali karakter kelas pemerintahan ini yang memfasilitasi penghisapan terhadap rakyat pekerja dan alam untuk mengisi pundi-pundi segelintir kaum kaya. Pemerintah memberikan sedikit program ini dan itu kepada rakyat – misalnya seperti berbagai kartu-kartu Jokowi – dan menggunakannya sebagai pencitraan untuk menutupi 1001 kebijakan pro-modal yang sejatinya merampok rakyat. Terkutuklah para pemimpin buruh yang tidak mampu melihat ini, atau, dalam kasus para pemimpin kanan Partai Buruh, secara aktif membantu penipuan ini.
Dengan demikian, reformisme – yang termaktub dalam prinsip Negara Kesejahteraan – berperan sebagai tabir yang menutupi realitas pertentangan kelas dalam masyarakat kapitalisme. Negara Kesejahteraan memuat ilusi bahwa semua orang bisa sama-sama sejahtera, seperti yang dikatakan oleh Said Iqbal: “Kau boleh kaya, tapi secara bersamaan, kau tidak boleh memiskinkan kami.” Ini tidak bisa tidak mengarah ke pengkhianatan terhadap perjuangan buruh, yang kini terbukti dalam masuknya Partai Buruh ke dalam koalisi pemerintah.
Partai Buruh Telah Mati
Hari ini Partai Buruh telah mati. Ini faktanya. Bahkan sebelum bisa berkembang menjadi partai massa, pemimpinnya telah menjualnya ke borjuasi dan dengan demikian menggugurkannya. Said Iqbal dkk telah merusak nama Partai Buruh di mata rakyat pekerja luas. Di kemudian hari, usaha baru dari gerakan buruh mendirikan partai kelas pekerja dan berlaga dalam perjuangan elektoral akan ditanggapi dengan apatisme dan sinisme oleh rakyat luas.
Namun perjuangan buruh akan terus mendorong terbentuknya partai kelas buruh yang baru. Setiap ledakan gerakan massa, setiap pemogokan nasional, yang cepat atau lambat akan terjadi, akan selalu mengedepankan masalah kekuasaan, dan oleh karenanya masalah partai. Kebusukan politik borjuis akan mendorong massa buruh untuk membangun partainya sendiri. Dalam usahanya untuk membangun partai massa yang sejati, kaum buruh akan menghadapi rintangan terbesarnya bukan dari luar tetapi dari dalam: para pemimpinnya sendiri yang lebih memilih menundukkan kemandirian politik kelas buruh di bawah jempol borjuasi. Untuk bisa menghancurkan rintangan ini, kaum buruh membutuhkan ide dan program sosialisme yang berani, bukan yang malu-malu dan kerap disimpan rapat-rapat demi pencapaian elektoralisme jangka-pendek. Inilah kesimpulan yang harus dipetik dari pengalaman tiga tahun terakhir.
Alih-alih negara kesejahteraan, partai kelas buruh membutuhkan program sosialis yang menyerang fondasi-fondasi kapitalisme, dengan tujuan final mengakhiri kapitalisme dan mendirikan ekonomi yang berdasarkan kepemilikan kolektif atas alat-alat produksi yang dijalankan di bawah kontrol demokratik buruh. Sosialisme adalah satu-satunya jalan keluar bagi kelas buruh dari eksploitasi, kesengsaraan, kebrutalan, dan kehancuran.
Kami lampirkan di bawah artikel-artikel kami mengenai Partai Buruh selama tiga tahun terakhir, yang menyimpan pelajaran penting untuk perjuangan ke depan.
Kebuntuan Asas “Negara Kesejahteraan” Partai Buruh. 23 September 2021
Partai Buruh dan Tugas Kaum Revolusioner Hari ini. 1 Desember 2021
Kolaborasi Kelas Partai Buruh, Jalan Menuju Jurang. 31 Januari 2023
Said Iqbal Arahkan Partai Buruh ke Borjuasi, Apa yang harus dilakukan Kiri? 11 Mei 2023
Partai Buruh dalam Pemilu 2024: Tidak ada sosialisme, tidak ada harapan. 13 Februari 2024
Melawan Reformisme dan Oportunisme Partai Buruh bukanlah “Ketidakacuhan Politik”. 15 Mei 2024