Skip to content
Sosialis Revolusioner
Menu
  • Berita
  • Analisa
    • Gerakan Buruh
    • Agraria & Tani
    • Gerakan Perempuan
    • Gerakan Mahasiswa
    • Ekonomi
    • Politik
    • Pemilu
    • Hukum & Demokrasi
    • Imperialisme & Kebangsaan
    • Krisis Iklim
    • Lain-lain
  • Teori
    • Sejarah
      • Revolusi Oktober
      • Uni Soviet
      • Revolusi Indonesia
      • Lain-lain
    • Sosialisme
    • Materialisme Historis
    • Materialisme Dialektika
    • Ekonomi
    • Pembebasan Perempuan
    • Organisasi Revolusioner
    • Iptek, Seni, dan Budaya
    • Lenin & Trotsky
    • Marxisme vs Anarkisme
  • Internasional
    • Asia
    • Afrika
    • Amerika Latin
    • Amerika Utara
    • Eropa
    • Timur Tengah
  • Perspektif Revolusi
  • Program
  • Pendidikan
  • Bergabung
Menu

Refleksi 25 Agustus untuk Membuka Jalan Ke Depan

Dipublikasi 22 October 2025 | Oleh : Redaksi Sosialis Revolusioner

Pada 25 Agustus, massa luas dengan spontan turun ke jalan dengan slogan “Bubarkan DPR”. Sejak awal sudah terlihat bahwa ada yang secara kualitatif berbeda dengan demonstrasi ini dibandingkan dengan semua demonstrasi sebelumnya. Tidak ada organisasi ataupun tokoh yang menyerukan ini. Tuntutan “Bubarkan DPR” tampaknya pun muncul begitu saja dari kedalaman. Massa luas, terutama anak-anak muda dan pelajar, menyeruak masuk ke arena perjuangan, tanpa komando, tanpa korlap, tanpa bendera organisasi.

Dalam waktu seminggu, demonstrasi ini meluas ke seluruh Indonesia dan segera mengambil karakter insureksi revolusioner yang melibatkan massa dengan jumlah serta energi yang tanpa preseden sejak 1998. Ada pergeseran kesadaran yang cepat dan luas yang tak pernah terlihat sebelumnya. (Baca Bagaimana Revolusi Ini Datang dan Kemana Ia Harus Melangkah)

Namun dalam waktu beberapa minggu, api perlawanan yang gemilang ini dengan cepat juga meredup. Rejim yang sebelumnya begitu penuh dengan kecemasan mengambil balas dendamnya dengan menangkap hampir 1000 orang.

Lantas, apakah semua ini sia-sia? Apakah ini hanya satu lagi gerakan demonstrasi yang gagal? Atau mungkin, seperti yang ditengarai oleh banyak aktivis liberal, ini hanyalah permainan bandar kepentingan? Jawabannya: Tidak, Tidak, dan sekali lagi Tidak!

Sesungguhnya, ada banyak pelajaran penting darinya, yang bila kita tarik dengan tepat akan menjadi landasan lebih lanjut bagi perkembangan gerakan proletariat. Syarat untuk dapat menariknya dengan tepat adalah metode analisis yang ilmiah, yang materialis dan dialektis. Sebaliknya, kesimpulan keliru yang berdasarkan pendekatan yang impresionis dan empiris hanya akan membawa kita ke demoralisasi dan pesimisme.

Pelajaran Pertama: kita harus memahami bahwa ledakan massa yang kemarin kita saksikan sudah dipersiapkan sejak lama oleh kondisi objektif yang ada, yakni krisis kapitalisme dunia. Seperti yang telah kita katakan dalam pembukaan dokumen perspektif dunia kita (Perspektif Dunia 2025: Dunia Terjungkir Balik – Sistem Kapitalisme dalam Krisis): “Kita sedang hidup melalui masa yang penuh dengan gejolak dan perubahan tajam dalam situasi dunia.” Untuk waktu yang lama, tampaknya situasi di Indonesia stabil dan adem ayem. Namun, krisis kapitalisme dunia juga telah menggerogoti fondasi kapitalisme Indonesia, seperti tikus tanah di bawah permukaan. Di atas kertas, semuanya tampak baik-baik saja. Indonesia mencetak pertumbuhan lima persen per tahunnya. Boom nikel mendorong investasi besar-besaran. Tetapi di balik semua itu adalah pengangguran kronik yang semakin mendalam, terutama di antara kaum muda; gelombang PHK massal; harga kebutuhan hidup yang terus naik; tergerusnya apa yang disebut “kelas menengah”; krisis hutang dan pemangkasan anggaran sosial; problem minimnya investasi dan rendahnya produktivitas; deindustrialisasi. Semua ini dilatarbelakangi oleh perang tarif yang diluncurkan Trump, sebagai bagian dari gelombang proteksionisme yang menandai berakhirnya tatanan dunia liberal yang lama. Sebagai akibatnya, kehidupan menjadi semakin tak tertanggungkan bagi massa luas, yang tidak melihat adanya masa depan, apalagi Indonesia Emas yang dijanjikan nantinya pada 2045.

Krisis ini bukan hanya masalah mismanajemen, di mana perubahan personel atau kebijakan akan dapat menyelesaikannya. Yang kita hadapi hari ini adalah kontradiksi inheren dalam sistem kapitalisme yang sudah uzur. Seperti yang kita jelaskan dalam dokumen perspektif di atas:

“Dalam analisa terakhir, akar dari krisis ini adalah ketidakmampuan sistem kapitalisme untuk mengembangkan kekuatan produktif. Pertumbuhan ekonomi terhambat oleh batas-batas negara-bangsa dan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Selama puluhan tahun, kaum kapitalis telah mencoba berbagai cara untuk mengatasi hambatan ini: mulai dari memperbesar likuiditas hingga memperluas perdagangan dunia, dan seterusnya. Namun kini, semua upaya itu justru berbalik arah dan menjadi sumber masalah baru.”

Ini berarti, walaupun api revolusi yang kemarin melompat dari dada anak-anak muda dan rakyat pekerja ke jalan-jalan itu tampaknya padam dengan cepat, akar permasalahan yang mengobarkan api revolusi ini belum – dan tidak akan bisa –- diselesaikan oleh kelas penguasa. Oleh karenanya, bagai api dalam sekam, akan ada ledakan-ledakan revolusioner susulan. Kita tidak tahu kapan pastinya, tetapi yang pasti krisis kapitalisme tengah mempersiapkan syarat-syarat revolusi. Yang bisa dan harus dilakukan oleh kaum revolusioner hari ini adalah mempersiapkan kekuatan kita supaya kita bisa mengambil keuntungan darinya.

Ini membawa kita ke Pelajaran Kedua: pentingnya membangun kepemimpinan revolusioner. Api revolusi yang kemarin tersulut sesungguhnya bisa membakar dengan lebih besar lagi bila saja ada kepemimpinan yang memiliki perspektif revolusi serta keberanian untuk mendorongnya lebih lanjut. Justru yang kita dapati adalah kepemimpinan serikat buruh yang dengan rapi berbaris di belakang rejim. Sementara, kaum liberal demokrat justru lebih takut pada revolusi daripada pada rejim. Mereka kelimpungan menyaksikan aksi massa spontan yang begitu meledak-ledak, yang memajukan tuntutan bubarkan DPR yang mereka anggap tidak masuk di akal. Sejatinya kaum oposisi liberal tidak menginginkan revolusi, melainkan perbaikan kosmetik untuk menyelamatkan kapitalisme dan kelas penguasa dari dirinya sendiri. Inilah esensi tuntutan 17+8 yang kemudian mereka ajukan, serangkaian tuntutan moderat untuk meredam ledakan revolusioner kemarin.

Tanpa kepemimpinan dan organisasi revolusioner – bahkan dengan semua kepemimpinan main stream gerakan yang ada berupaya menyabotasenya atau membawanya ke saluran yang aman – tidak heran bila api revolusi kemarin akhirnya kehilangan momentum dan dengan cepat berhasil dipadamkan. Tetapi ini pun sudah sungguh luar biasa. Massa luas dengan keberanian dan inisiatif mereka sendiri – terutama lapisan mudanya – berhasil membuat ketar ketir rejim. Dengan mengajukan slogan “Bubarkan DPR”, mereka mungkin saja tidak tahu apa yang harus menggantikan parlemen borjuis ini, tetapi mereka tahu betul bahwa lembaga korup ini harus dihancurkan. (Baca Makna Slogan Bubarkan DPR dan Dewan Rakyat Pekerja)

Massa yang memberontak telah menunjukkan keberanian dan inisiatif yang luar biasa. Tetapi ini saja tidak cukup. Mereka membutuhkan organisasi revolusioner yang dapat memberikan ekspresi politik yang terorganisir serta program yang lengkap untuk bisa membawa gerakan ini sampai ke kemenangan akhir: revolusi sosialis yang mengakhiri kapitalisme. Tugas pembangunan organisasi revolusioner ini menjadi seribu kali lebih mencolok sekarang ketika kita sedang memasuki periode sejarah yang paling penuh gejolak. Mayoritas aktivis – bahkan yang mengaku sosialis atau Marxis – telah lama mencampakkan tugas ini dan memilih kerja-kerja advokasi. Sebagai akibatnya, ketika mereka dihadapkan dengan insureksi massa kemarin, mereka pun tidak memiliki kesiapan sama sekali, tidak hanya secara organisasional tetapi juga secara politik.

Partai revolusioner yang harus kita persiapkan mesti memiliki perspektif revolusi sosialis, yang menghimpun dengan rapat kaum muda dan pekerja yang sadar kelas. Langkah awal membangun partai ini haruslah dengan meletakkan fondasi teori revolusioner yang tepat, yang didasarkan pada pengalaman perjuangan kelas proletariat selama lebih dari 150 tahun terakhir. Pengalaman-pengalaman ini telah disarikan dalam teori Marxisme dan kita harus menggalinya kembali, terutama ketika begitu banyak sampah yang menguburnya.

Tidak ada yang instan dalam pembangunan partai revolusioner ini, dan juga tidak ada yang megah. Ini adalah proyek jangka panjang yang membutuhkan kesabaran, ketelatenan, dan kedisiplinan revolusioner. Sejatinya proletariat telah memiliki pengalaman bagaimana membangun partai yang berhasil memenangkan revolusi sosialis. Kita tidak perlu mengulangnya dari nol. Model partai revolusioner ini adalah Partai Bolshevik dengan sejarah yang kaya yang bisa kita pelajari dari buku Alan Woods, Bolshevisme: Jalan Menuju Revolusi.

Tanpa partai revolusioner, kita akan menyia-nyiakan peluang revolusi yang cepat atau lambat akan dikedepankan lagi oleh krisis kapitalisme. Kita sudah saksikan bagaimana revolusi demi revolusi selama beberapa tahun terakhir seperti di Bangladesh dan Sri Lanka – atau bahkan baru-baru ini di Nepal dan Madagaskar sebagai bagian dari Revolusi Gen Z – mengalami kegagalan. Revolusi-revolusi ini berhasil melangkah lebih jauh dengan menumbangkan pemerintahan yang berkuasa, namun pada akhirnya ini hanya berujung pada perubahan personel di atas tanpa mengakhiri kapitalisme. Tidak ada perubahan fundamental dalam kondisi kehidupan rakyat. Kelas pekerja Bangladesh, Sri Lanka, Nepal dan Madagaskar sudah mengerahkan semua energi mereka, tetapi tanpa partai revolusioner energi besar ini menguap alih-alih dipusatkan sebagai pukulan mematikan terhadap keseluruhan kelas penguasa dan sistem penindasan mereka.

Pelajaran Ketiga: tidak ada satu pun negara yang imun dari krisis kapitalisme, yang telah mendorong seluruh dunia memasuki periode revolusioner. Siapa yang menyangka api revolusi yang awalnya menyala di Indonesia pada 25 Agustus dengan cepat menyebar ke Nepal, Timor Leste, Filipina, Madagaskar, Maroko, dalam apa yang kini disebut sebagai Revolusi Gen Z. Ledakan revolusioner di Indonesia mungkin saja padam – untuk sementara – tanpa mampu membubarkan DPR seperti slogan yang awalnya disuarakan dengan lantangnya, tetapi di Nepal dan Madagaskar api revolusi ini berhasil menumbangkan pemerintah yang berkuasa. Seperti halnya bagaimana insureksi di Indonesia awalnya menjadi inspirasi bagi rakyat Nepal dan Madagaskar, maka kemenangan awal –  yang masih parsial – di kedua negara ini akan bisa menginspirasi rakyat pekerja Indonesia lebih lanjut nantinya.

Tidak hanya itu. Di Spanyol dan Italia jutaan buruh mogok untuk Palestina. Ini adalah titik balik dalam gerakan solidaritas Palestina, yang tidak ada presedennya. Sungguh dua bulan terakhir ini adalah bulan yang merah menyala. Api-api revolusi ini sudah mulai menjilat-jilat ke banyak negara lainnya dan membuat khawatir kelas penguasa di mana-mana. Hantu Revolusi Gen-Z mulai bergentayangan.

Kapitalisme telah mengglobal dan krisis kapitalisme yang kita hadapi sudah bukan lagi krisis yang bersifat nasional, melainkan internasional. Gejolak-gejolak besar silih berganti mengunjungi satu negara ke negara lain. Di tiap-tiap negara, pemicunya mungkin saja unik, tetapi akar permasalahannya sama: kebuntuan kapitalisme dunia yang sejak 2008 belum bisa keluar dari krisisnya, dan justru terus tersandung dari satu krisis ke krisis lain.

Ada krisis organik yang begitu mendalam, sehingga krisis kali ini bukanlah siklus boom-and-bust seperti biasanya. Ini krisis berkepanjangan, dengan implikasi yang berkepanjangan pula. Sebagai konsekuensinya, kita tengah memasuki periode panjang revolusi, kontra-revolusi, dan perang, periode perubahan-perubahan cepat dan mendadak, dengan ayunan-ayunan yang keras dari satu kutub ke kutub lain. Fakta ini mendikte karakter revolusi hari ini, yang tidak semata-mata bergulir sebagai drama satu babak, tetapi dapat menjadi sebuah proses yang berkepanjangan. Dalam sejarah, Revolusi Spanyol 1931-39 menjadi salah satu contoh bagaimana revolusi dapat menjadi satu proses yang berkepanjangan, dengan ayunan-ayunan cepat, dengan pasang naik dan surut yang silih berganti.

Satu lagi faktor yang membuat krisis ini berkepanjangan, yang sebagai konsekuensinya kita akan saksikan serangkaian letupan-letupan revolusioner seperti selama dua bulan terakhir, adalah ketiadaan kepemimpinan revolusioner. Ini bukan faktor sekunder, tetapi menjadi faktor primer yang menentukan tempo dan ritme periode revolusioner yang sedang kita masuki. Ada urgensi untuk menuntaskan problem subjektif ini. Seperti yang Trotsky katakan: “Situasi politik dunia secara keseluruhan terutama ditandai oleh krisis historis kepemimpinan proletariat.”

Bahkan setelah meredupnya ledakan kemarin, kita tidak akan kembali ke masa sebelum 25 Agustus. Segala sesuatu sudah berubah. Apa yang terjadi telah terpatri dalam kesadaran massa, terutama di antara kaum muda. Tugas kita adalah menarik pelajaran dari episode kemarin, sehingga pengalaman kemarin tidak hanya terpatri tetapi juga terkristalisasi menjadi satu kesimpulan: bahwa tidak ada jalan keluar bagi masyarakat kita selain pecah dari kapitalisme secara revolusioner.

Mari kita rangkum tiga pelajaran penting dari refleksi ini. Pertama, akan ada letupan-letupan revolusioner susulan lainnya karena kondisi objektif yang mendorong insureksi kemarin belumlah terpecahkan sama sekali. Kehidupan yang semakin tak tertanggungkan, bagai api dalam sekam, akan mendorong massa luas kembali menempuh jalan perjuangan. Kedua, supaya energi massa ini tidak tersia-siakan, kita membutuhkan partai revolusioner yang harus dibangun dengan segala urgensi yang ada. Kepemimpinan lama yang ada hari ini jelas tidak mumpuni dan tugas generasi muda hari ini adalah membangun kepemimpinan revolusioner yang baru. Ketiga, kita sedang memasuki periode penuh gejolak di seluruh dunia. Krisis kapitalisme sedang mempersiapkan syarat-syarat revolusi dari satu negara ke negara lain. Akan ada perubahan yang cepat dan mendadak, dan kaum revolusioner harus siap menghadapi ini, tidak terkejut dan tertangkap basah tidak siap. Bahkan bila kekuatan kita hari ini masih terlalu kecil untuk bisa mengubah alur peristiwa, kita harus siap mengintervensinya dengan tepat untuk membangun kekuatan kita. Kita harus bersiap untuk revolusi.

Kapitalisme sudah memasuki jalan buntu. Kelas penguasa sungguh tidak punya jalan keluar. Sekalipun mereka bisa keluar dari krisis ini, setiap solusi yang mereka gunakan hanya menyiapkan krisis yang lebih besar nantinya. Bila kelas buruh tidak mampu menumbangkan sistem yang sudah sakit-sakitan ini, beban krisis akan semakin diletakkan di pundak kelas buruh. Bahkan sudah bukan lagi kemungkinan teoritis bahwa kapitalisme akan menyeret umat manusia ke jurang barbarisme. Pilihannya sungguh adalah sosialisme atau barbarisme; dan pada kenyataannya, kehidupan ratusan juta rakyat sudah bisa dikatakan tidak lebih baik dari barbarisme.

Kepada kaum muda yang kemarin telah menunjukkan keberanian dan tekad berjuang, tugas kalian baru saja dimulai. Bahkan bila pemberontakan kemarin berhasil mencapai apa yang dicapai di Nepal dan Madagaskar, kita tidak akan puas hanya mengganti satu rejim dengan rejim lainnya. Revolusi 1998 telah menunjukkan bahwa penggantian rejim saja tidak akan membawa perubahan fundamental bagi rakyat pekerja. Yang diperlukan adalah penumbangan relasi produksi borjuis. Yang diperlukan adalah revolusi sosialis. Inilah cita-cita yang harus kalian tetapkan.

Ingin menghancurkan kapitalisme ?
Teorganisirlah sekarang !


    Dokumen Perspektif

    Perspektif Dunia 2025: Dunia Terjungkir Balik – Sistem Kapitalisme dalam Krisis
    Perspektif Politik 2025: Bersiap Untuk Revolusi
    srilanka
    Manifesto Sosialis Revolusioner
    myanmar protest
    Perspektif Revolusi Indonesia: Tugas-tugas kita ke depan
    ©2025 Sosialis Revolusioner | Design: Newspaperly WordPress Theme