“Sementara di negeri-negeri yang homogen secara nasional kaum borjuis revolusioner mengembangkan kecenderungan sentripetal (persatuan) yang kuat, dan berhimpun untuk mematahkan partikularisme, seperti di Prancis, atau menanggulangi perpecahan nasional, seperti di Italia dan Jerman, sebaliknya di negara-negara yang heterogen secara nasional, seperti Turki, Rusia dan Austria-Hungaria, revolusi borjuis yang terlambat melepaskan kecenderungan sentrifugal (perpecahan).”[1]
Rusia sebelum Revolusi 1917 adalah bangsa yang sangatlah terbelakang, semi-feodal, dan sangat tergantung pada imperialisme asing. Situasinya serupa dengan banyak negeri Dunia Ketiga hari ini. Terlebih lagi, masalah kebangsaan menempati posisi sentral dalam kehidupan politik Rusia. Walaupun rejim Tsar Rusia gemar menutupi kebijakan ekspansionisnya di bawah kedok melindungi bangsa-bangsa kecil tertindas di Balkan, pada kenyataannya Rusia adalah penjara bagi bangsa-bangsa minoritas. 43 persen penduduk Rusia Tsar adalah dari bangsa Rusia Raya (Great Russian), sementara 57 persen lainnya adalah orang Ukraina, Georgia, Polandia, Finlandia, dan bangsa-bangsa tertindas lainnya.
70 juta warga Rusia Raya mendominasi sekitar 90 juta warga non-Rusia, dan semuanya didominasi dan ditindas oleh rejim birokratik Tsar. Ini semakin diperparah oleh kenyataan bahwa level ekonomi dan kebudayaan bangsa-bangsa yang tertindas ini, setidaknya yang berada di bagian barat Rusia yang berbatasan dengan Eropa Barat, umumnya lebih tinggi daripada di daerah Rusia lainnya. Bila bisa dikatakan kalau ekspansi Rusia ke timur – yakni daerah Kaukasus dan terutama Asia Tengah – memiliki peran progresif tertentu, ini tidaklah demikian dengan Polandia, Finlandia, dan negeri-negeri Baltik. Seperti yang dikatakan oleh Engels: “Finlandia dimukimi oleh orang Finlandia dan Swedia, daerah Bessarabia oleh orang Rumania, dan kerajaan Polandia oleh orang Polandia. Di sini sudah bukan lagi masalah menyatukan ras-ras yang berserakan, yang semuanya bernama ras Rusia. Di sini satu-satunya hal yang kita saksikan adalah penaklukan daerah asing secara terbuka dengan kekerasan, yang tidak lain adalah perampasan.”[2]
Partai Bolshevik sejak awal memiliki posisi yang saksama mengenai masalah kebangsaan. Ini penting guna memenangkan massa, terutama kaum tani. Masalah kebangsaan biasanya tidak terlalu mempengaruhi kelas buruh, dan lebih mempengaruhi massa borjuis kecil, terutama kaum tani, dan secara historis masalah kebangsaan dan masalah agraria berkaitan sangat erat. Kadang-kadang bahkan kaum Marxis yang cukup terdidik pun gagal memahami masalah ini. Guna meraih telinga massa borjuis kecil dan memenangkan mereka ke sisi revolusi, kita sungguh perlu mengedepankan tuntutan-tuntutan demokratik dan parsial lainnya, seperti tuntutan hak menentukan nasib sendiri. Tetapi penggunaan slogan-slogan semacam ini hanya masuk akal sebagai bagian dari perjuangan proletariat dan partainya untuk memenangkan massa dalam perseteruan melawan pengaruh dari partai-partai atau anasir-anasir borjuis dan borjuis kecil. Prasyarat untuk kemenangan sayap revolusioner adalah perjuangan keras kepala melawan kaum nasionalis borjuis dan borjuis kecil. Dan untuk meluncurkan perjuangan semacam ini dibutuhkan posisi yang jelas dalam masalah kebangsaan.
Seperti Lenin, Trotsky juga menulis cukup luas mengenai masalah kebangsaan, terutama bab luar biasa mengenai masalah kebangsaan di bukunya The History of the Russian Revolution yang meringkas dengan sangat baik posisi kaum Bolshevik. Tetapi Leninlah yang mengembangkan dan memperluas posisi Marxis dalam masalah kebangsaan. Meringkas posisi Bolshevik ini, Trotsky menulis:
“Lenin sejak dini mafhum keniscayaan perkembangan kekuatan sentrifugal dari gerakan nasional di Rusia, dan selama bertahun-tahun berjuang dengan keras kepala – terutama melawan Rosa Luxemburg – untuk paragraf ke-9 dari program partai yang lama, yang memformulasikan hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri – yakni hak untuk memisahkan diri sebagai sebuah bangsa. Dengan mengambil posisi ini bukan berarti lantas kaum Bolshevik menjadi pendukung pemisahan diri. Kaum Bolshevik hanya mengambil tanggung jawab untuk melawan segala bentuk penindasan nasional, termasuk tindakan memaksa bangsa ini atau itu menjadi bagian dari sebuah negara. Hanya dengan cara ini maka kaum proletariat Rusia bisa secara perlahan-lahan memenangkan kepercayaan dari bangsa-bangsa yang tertindas.”
“Tetapi ini hanya satu sisi saja. Kebijakan Bolshevisme dalam ranah nasional juga memiliki sisi lain, yang tampaknya berkontradiksi dengan yang pertama tetapi pada kenyataannya melengkapinya. Di dalam kerangka partai, dan di dalam kerangka organisasi buruh umumnya, Bolshevisme menuntut sentralisme yang kokoh, dan berjuang keras melawan setiap bentuk nasionalisme yang dapat memecah belah buruh. Sementara menolak sepenuhnya pemaksaan kewarganegaraan oleh negara borjuis, atau bahkan bahasa resmi, terhadap bangsa minoritas, Bolshevisme pada saat yang sama mengemban tugas suci untuk menyatukan buruh dari berbagai bangsa, dengan kedisiplinan kelas yang sukarela. Maka dari itu Bolshevisme menolak prinsip federasi nasional dalam membangun partai. Sebuah organisasi revolusioner bukanlah prototipe masyarakat atau negara masa depan, tetapi hanyalah instrumen untuk menciptakan masyarakat masa depan ini. Sebuah instrumen harus disesuaikan dengan tujuannya untuk membuat sebuah produk tertentu, dan tidak seharusnya menjadi produk itu sendiri. Oleh karenanya sebuah organisasi yang tersentralisir dapat menjamin keberhasilan perjuangan revolusioner – bahkan ketika tugasnya adalah menghancurkan penindasan bangsa-bangsa oleh negara yang tersentralisir.”[3]
Apa itu Nasion?
Selama periode sebelum Perang Dunia Pertama Lenin mencurahkan banyak waktu untuk masalah kebangsaan, dan khususnya untuk menjawab teori-teori revisionisnya Otto Bauer. Pada 1908-10 Lenin ada di pengasingan dan hampir terisolasi sepenuhnya. Karena tidak punya kontak dengan Rusia dan kekurangan kolaborator, dia menyambut dengan antusias kedatangan Stalin, seorang Georgia muda yang tidak dia kenal sebelumnya. Seperti biasanya, Lenin menghabiskan banyak waktu membina pendatang baru ini, seperti yang biasa dia lakukan dengan anggota-anggota muda. Ada bonus tambahan pula, Stalin adalah seorang dari Georgia, yakni bangsa minoritas yang tertindas. Lenin menggunakan kesempatan ini untuk mendidik muridnya, yang sangatlah rajin, mengenai garis-garis fundamental kebijakannya dalam masalah kebangsaan. Hasilnya adalah sebuah artikel panjang yang terbit pada akhir 1912 di majalah Prosveshcheniye (Pencerahan) dengan judul The National Question and Marxism.
Pada 1914 artikel ini muncul dalam bentuk pamflet berjudul The National Question and Marxism. Ini diterbitkan dalam volume kedua Karya-karya Stalin. Selama bertahun-tahun karya ini dianggap sebagai teks dasar Partai mengenai masalah kebangsaan. Kendati presentasinya yang agak formalistik, ini adalah karya yang cukup baik. Akan tetapi ini bukanlah hasil kejeniusan teoritik Stalin. Pada kenyataannya, artikel ini bukan karya Stalin sama sekali. Seperti yang ditunjukkan oleh sejarawan E.H. Carr: “Bukti eksternal dan internal menunjukkan bahwa karya ini ditulis di bawah panduan Lenin.”[4] Gagasan dalam karya ini sepenuhnya milik Lenin.
Kata pengantar untuk karya ini, yang ditulis di puncak kampanye anti-Yahudi di seputar kasus Beyliss, memberi peringatan mengenai “gelombang nasionalisme menyapu maju dengan kekuatan yang semakin besar dan mengancam menelan massa kelas buruh. … Di masa yang genting seperti ini, Partai Sosial Demokratik memiliki tugas yang penting – melawan nasionalisme dan melindungi massa dari ‘epidemik’ [sauvinisme] ini. Bagi kaum Sosial Demokrat, dan hanya mereka yang bisa melakukan ini, dengan membenturkan nasionalisme dengan senjata internasionalisme yang sudah terbukti ampuh: persatuan perjuangan kelas.”[5]
Isu sentralnya adalah bagaimana mendefinisikan nasion atau bangsa. Ini tidaklah semudah yang seorang bayangkan. Ini seperti mencoba mendefinisikan waktu. Saint Augustine mengatakan bahwa dia tahu apa waktu itu, tetapi bila ada orang yang memintanya untuk mendefinisikannya, dia tidak akan mampu melakukannya. Begitu juga dengan bangsa. Semua orang berpikir mereka tahu apa bangsa itu, tetapi bila diminta untuk mendefinisikannya, mereka akan segera menemui kesulitan. Pamflet Stalin berusaha menyediakan definisi ini dan mungkin ini adalah formulasi yang paling memuaskan yang bisa kita dapati. Berkebalikan dengan definisi Bauer yang subjektif, bangsa atau nasion didefinisikan dengan metode Marxis yang ilmiah: “Sebuah nasion adalah sebuah komunitas bahasa, wilayah, kehidupan ekonomi, dan susunan psikologi yang stabil dan berevolusi secara historis, yang termanifestasikan dalam sebuah komunitas kebudayaan.”[6]
Oleh karenanya sebuah bangsa harus memiliki bahasa dan wilayah bersama, sejarah dan kebudayaan bersama, dan juga tersatukan oleh ikatan ekonomi yang kuat. Demikianlah definisi umumnya, yang jelas tepat dan jauh lebih superior dibandingkan dengan pendekatan “psikologis” Otto Bauer dan para pendukung “otonomi kultural-nasional”. Namun, seperti halnya dengan semua definisi umum, ini sama sekali tidak menuntaskan seluruh permasalahan. Dalam kehidupan yang riil, kita selalu menemukan varian-varian konkret yang dapat berkontradiksi dengan definisi umum yang ada, dengan kekhususannya. Pertanyaan mengenai apa itu nasion adalah pertanyaan yang licin seperti belut, dan telah mengandaskan banyak analisa.
Ambil saja bahasa misalnya. Pentingnya bahasa bagi sebuah bangsa sudah jelas. Bahasa tampaknya adalah karakter kebangsaan yang paling jelas. Dalam History of the Russian Revolution, Trotsky menjabarkan signifikansi bahasa:
“Bahasa adalah alat terpenting manusia untuk berkomunikasi, dan dengan demikian menjadi alat terpenting untuk industri. Bahasa menjadi nasional bersamaan dengan kemenangan pertukaran komoditas yang menyatukan bangsa. Di atas fondasi ini negara nasional dibangun sebagai arena yang paling sesuai, menguntungkan dan normal untuk relasi-relasi kapitalis.”[7]
Meskipun demikian ada pengecualian. Sedikit sekali orang yang akan menyangkal kalau Swiss adalah sebuah bangsa. Identitas nasional Swiss telah ditempa selama berabad-abad perjuangan untuk mempertahankan identitas nasional mereka, terutama dari rongrongan Austria. Namun Swiss tidak memiliki satu bahasa bersama, seperti yang Lenin katakan di bawah ini:
“Di Swiss adalah 3 bahasa resmi, tetapi undang-undang yang akan ditentukan lewat referendum dicetak dalam 5 bahasa, yakni dua dialek ‘Romance’ selain 3 bahasa resmi. Menurut sensus 1900, dua dialek ini digunakan oleh 38.651 warga dari 3.315.443 warga Swiss, yakni sekitar 1 persen. Dalam angkatan bersenjata, perwira dan bintara ‘bebas sepenuhnya untuk berbicara dengan bawahannya dengan bahasa ibu mereka’. Di daerah Graubünden dan Wallis (dengan populasi sekitar 100 ribu), kedua dialek ini memiliki posisi yang setara.”[8]
Kunci untuk memahami masalah ini adalah proposisi awal bahwa sebuah bangsa adalah entitas yang “berevolusi secara historis”. Dialektik tidak berangkat dari definisi formal yang abstrak, tetapi dari mengkaji secara konkret proses-proses yang hidup, dari mengkaji hal ihwal sebagaimana mereka berkembang, berubah dan berevolusi. Sebuah bangsa bukanlah sesuatu yang kaku dan statis. Ia dapat berubah dan berevolusi. Bangsa atau nasion dapat lahir. Inilah bagaimana negara-bangsa modern hari ini muncul, seperti Prancis, Italia dan Jerman misalnya. Atau juga kesadaran nasional India, yang diciptakan – tentunya tidak dengan sengaja – oleh imperialisme Inggris. Hari ini, dengan membusuknya kapitalisme dan ketidakmampuan kelas borjuasi India untuk menawarkan jalan keluar, sudah bisa dilihat tanda-tanda jelas melemahnya dan fragmentasi kesadaran nasional ini, yang akan membahayakan India di masa depan.
Secara historis, nasion dapat dibentuk dari bahan-bahan mentah yang tersedia di bawah kondisi-kondisi perang, penjajahan dan revolusi, yang mencairkan relasi-relasi lama dan perbatasan-perbatasan lama, dan menciptakan yang baru. Perubahan-perubahan historis ini dapat menjungkirbalikkan semua hal. Bangsa yang kemarin hari tertindas atau koloni yang tempo hari dijajah dapat berubah menjadi negeri imperialis yang paling mengerikan. Contoh terbaik adalah Amerika Serikat, yang awalnya adalah koloni milik Britania dan hari ini adalah negeri imperialis terkuat dan paling reaksioner di dunia. Dengan cara yang sama, negeri-negeri borjuis yang baru-baru saja membebaskan dirinya dari dominasi asing, tetapi masih berada di posisi subordinat sehubungan dengan negeri-negeri imperialis besar di skala dunia, dapat memainkan peran sebagai kekuatan imperialis lokal, dan menindas serta mengeksploitasi negeri-negeri di sekitar mereka yang lebih lemah. Dengan cara demikian India memainkan peran imperialis sehubungan dengan Nepal, Assam, dan Kashmir. Rusia Tsar adalah salah satu kekuatan imperialis sebelum 1917, walaupun Rusia tidak mengekspor kapital dan adalah negeri semi-feodal terbelakang, dan dalam relasinya dengan Inggris, Prancis dan negeri-negeri kapitalis maju lainnya Rusia adalah negeri semi-koloni.
Masalah Kelas
Masalah kebangsaan, seperti halnya masalah-masalah sosial lainnya, pada analisa terakhir adalah isu kelas. Ini adalah titik berangkat Lenin, dan titik berangkat dari setiap Marxis sejati. Dalam karyanya Critical Remarks on the National Question, Lenin menjelaskan proposisi elementer Marxisme dengan teramat jelas:
“Setiap kebudayaan nasional mengandung anasir-anasir kebudayaan demokratik dan sosialis, bahkan bila belum berkembang sepenuhnya, karena di setiap bangsa ada massa rakyat pekerja yang tertindas, yang kondisi kehidupannya niscaya mendorong terlahirnya ideologi demokrasi dan sosialisme. Tetapi setiap bangsa juga memiliki kebudayaan borjuis (dan kebanyakan bangsa juga memiliki kebudayaan ‘Black-Hundred’ (reaksioner) dan klerus) yang mengambil bentuk bukan semata-mata sebagai ‘anasir’ tetapi sebagai kebudayaan yang dominan. Oleh karenanya ‘kebudayaan nasional’ yang umum adalah kebudayaannya kaum tuan tanah, kaum klerus dan kaum borjuasi.”[9]
Bagi seorang Marxis adalah ABC kalau gagasan yang berkuasa di setiap bangsa adalah gagasannya kelas penguasa. Lenin menekankan kalau menerima “kebudayaan nasional” sama saja dengan menerima dominasi kaum borjuasi di setiap bangsa. Masalah kebangsaan adalah masalah kelas. Kaum Marxis tidak boleh mengaburkan kontradiksi kelas, tetapi justru sebaliknya, mendorongnya ke depan agar jelas terpampang. Ini berlaku untuk kaum Marxis dari bangsa tertindas maupun bangsa penindas. Seperti yang dijelaskan oleh Lenin di Critical Remarks on the National Question:
“Di dalam dewan direktur perusahaan-perusahaan saham-gabungan, kaum kapitalis dari berbagai bangsa duduk bersama, dan sepenuhnya bekerja sama. Di pabrik-pabrik, kaum buruh dari berbagai bangsa bekerja bahu membahu. Dalam semua isu politik yang sungguh-sungguh serius dan penting, orang berpihak berdasarkan kelas dan bukan berdasarkan kebangsaan.”[10]
Di karya yang lain, dia menulis:
“Kepentingan kelas buruh dan perjuangannya melawan kapitalisme menuntut solidaritas penuh dan persatuan yang paling dekat antara buruh dari semua bangsa; ini menuntut perlawanan terhadap kebijakan nasionalis kaum borjuasi dari semua bangsa. …”
“Tidak ada bedanya bagi kaum buruh kalau dia dieksploitasi oleh kaum borjuasi Rusia, atau oleh kaum borjuasi Polandia, atau oleh kaum borjuasi Yahudi, dan seterusnya. Kaum buruh upahan yang telah memahami kepentingan kelasnya tidak peduli pada privilese negara dari kaum borjuasi Rusia, dan juga tidak peduli pada janji-janji kaum kapitalis Polandia atau Ukraina yang ingin membangun surga dunia dimana mereka bisa memperoleh privilese negara…”
“Entah bagaimanapun juga kaum buruh upahan tetap akan jadi bahan eksploitasi. Keberhasilan perjuangan melawan eksploitasi mensyaratkan kaum proletariat bebas dari nasionalisme, dan kaum proletariat harus sepenuhnya mengambil posisi netral dalam perseteruan di antara kaum borjuasi dari berbagai negara. Bila kaum proletariat dari sebuah bangsa memberikan dukungan sedikitpun untuk privilese ‘kaum borjuasi nasionalnya’, ini akan menimbulkan rasa ketidakpercayaan dari kaum proletariat bangsa lain; ini akan memperlemah solidaritas kelas internasional di antara buruh dan memecah belah buruh, dan ini sangat disukai oleh kaum borjuasi. Dan penolakan terhadap hak penentuan nasib sendiri, atau penolakan terhadap hak memisahkan diri, niscaya berarti – dalam praktiknya – mendukung bangsa yang dominan.”[11]
Di setiap saat bagian utama dari argumen Lenin adalah perlunya persatuan buruh dan massa tertindas untuk melawan kaum borjuasi. Lenin menunjukkan bahwa:
“Kebudayaan nasional kaum borjuasi adalah sebuah kenyataan (dan, saya ulangi, kaum borjuasi di manapun bersekongkol dengan kaum tuan tanah dan kaum klerus). Nasionalisme borjuis yang agresif, yang mengkerdilkan, membodohi dan memecah belah kaum buruh supaya kaum borjuasi dapat mengekang mereka seperti anjing, inilah kenyataan hari ini.”
“Siapapun yang ingin melayani kaum proletariat harus menyatukan buruh dari semua bangsa dan melawan nasionalisme borjuis, ‘di dalam negeri sendiri’ dan asing, dengan tegas.”[12]
Mengenai ini Lenin selalu tegas. Kutipan-kutipan serupa dapat ditemui di lusinan artikel dan pidatonya.
Kemandirian Kelas
Tuntutan-tuntutan nasional memiliki karakter demokratik, dan bukan sosialis. Penindasan nasional tidak hanya mempengaruhi kelas buruh, walaupun kelas buruh adalah yang paling menderita darinya, seperti halnya semua bentuk penindasan lainnya. Masalah kebangsaan mempengaruhi semua rakyat, dan terutama massa borjuis kecil. Meskipun demikian, seperti yang telah kita tunjukkan, Lenin selalu mendekati masalah kebangsaan dari sudut pandang kelas, dan kita akan mendekatinya dengan cara yang sama pula.
Lenin menjabarkan masalah kebangsaan dengan sangat jelas dan seksama. Tentu saja masalah ini punya sejarah yang panjang dalam gerakan buruh Rusia, dimulai dari debat dengan kaum Bund Yahudi di Kongres Kedua Partai Buruh Sosial Demokratik Rusia pada 1903. Bagaimana Lenin menghadapi masalah ini? Secara efektif, dia memegang posisi negatif. Kaum Bolshevik Rusia, seperti yang dia jelaskan ratusan kali, menentang segala bentuk penindasan nasional. In bukan masalah apa yang kau dukung (posisi positif) tetapi apa yang kau tentang (posisi negatif). Dan kita cukup mengatakan apa yang kita tentang. Kita menentang segala bentuk penindasan nasional, linguistik dan rasial, dan kita akan berjuang melawan semua ini. Dan posisi seperti ini cukup bagi tendensi proletariat yang ingin berjuang demi kebijakan demokrasi yang konsisten, dan pada saat yang sama mempertahankan kemandirian kelasnya.
Lenin tidak pernah mengatakan bahwa Marxis harus mendukung kaum borjuasi nasional atau kaum nasionalis borjuis kecil. Sebaliknya, premis utama dari posisi Lenin mengenai masalah kebangsaan adalah kemandirian kelas yang absolut. Prinsip pertama dari Leninisme adalah keharusan untuk melawan kaum borjuasi, dari bangsa penindas maupun tertindas. Di semua tulisan Lenin mengenai masalah kebangsaan selalu kita temui kritik keras terhadap kaum nasionalis borjuis dan juga kaum nasionalis borjuis kecil. Seluruh gagasan Lenin adalah kelas buruh harus meletakkan dirinya di pucuk kepemimpinan seluruh bangsa guna memimpin massa menuju perubahan masyarakat secara menyeluruh. Di Critical Remarks on the National Question, dia menulis:
“Kebangkitan massa dari keterpurukan feodal, perjuangan mereka melawan semua penindasan nasional, untuk kedaulatan rakyat dan kedaulatan bangsa adalah hal yang progresif. Oleh karenanya kaum Marxis wajib menegakkan demokrasi yang paling tegas dan konsisten di semua poin masalah kebangsaan. Tugasnya terutama berkarakter negatif. Tetapi kaum proletariat tidak boleh melampaui ini dalam mendukung nasionalisme, karena di luar batas ini aktivitas kaum proletariat menjadi ‘positif’ dalam mendukung kaum borjuasi memperkuat nasionalisme.” (Penekanan kami)
Lalu dia tekankan lagi:
“Melawan segala bentuk penindasan nasional – ya, tentu saja. Berjuang demi perkembangan nasional, demi ‘kebudayaan nasional’ secara umum – jelas tidak.”[13]
Lagi, di The Right of Nations to Self Determination, Lenin menulis:
“Inilah mengapa kaum proletariat membatasi dirinya pada tuntutan negatif untuk mengakui hak menentukan nasib sendiri, tanpa memberikan jaminan pada bangsa manapun, dan tanpa memberi apapun kepada satu bangsa dengan mengorbankan bangsa yang lain.”[14]
Di karya lain Lenin menulis mengenai pengaruh buruk nasionalisme dalam gerakan buruh:
“Kesimpulannya adalah semua nasionalisme borjuis-liberal menyebabkan kerusakan terbesar di antara kaum buruh dan sangat mencederai perjuangan pembebasan dan perjuangan kelas proletariat. Ini bahkan jauh lebih berbahaya karena anasir borjuis (dan borjuis-pemilik-tanah) bersembunyi di balik slogan ‘kebudayaan nasional’. Atas nama kebudayaan nasional – Rusia Raya, Polandia, Yahudi, Ukraina, dan lain-lain – kaum reaksioner Black-Hundred dan kaum klerus, dan juga kaum borjuasi dari semua bangsa, melakukan kerja kotor mereka.”
“Inilah kenyataan dari kehidupan nasional hari ini, bila diperiksa dari sudut pandang perjuangan kelas, dan bila slogan-slogan nasionalis ini diuji berdasarkan kepentingan dan kebijakan kelas dan bukan dari sudut pandang ‘prinsip-prinsip umum’, deklamasi dan frase-frase yang hambar.”[15]
Apa ini kurang jelas? Kaum buruh wajib menentang segala bentuk diskriminasi dan penindasan nasional. Tetapi mereka juga wajib menolak mendukung nasionalisme dalam bentuk apapun. Sungguh berkebalikan dengan para ‘Marxis’ yang begitu tergesa-gesa menjadi pemandu sorak untuk pasukan IRA (Tentara Republiken Irlandia), ETA (Tanah Air dan Kebebasan Basque) atau KLA (Tentara Pembebasan Kosovo), dengan anggapan yang keliru kalau mereka sedang mengimplementasikan kebijakan Leninis! Mengaburkan garis demarkasi antara Marxisme dan nasionalisme adalah pelanggaran terhadap semua hal yang Lenin percaya.
Untuk melawan ilusi jahat yang dijual oleh kaum nasionalis, Lenin memperingatkan bahwa:
“Kaum proletariat tidak boleh mendukung konsolidasi nasionalisme apapun, sebaliknya mereka harus mendukung segala sesuatu yang membantu menghancurkan perbedaan-perbedaan nasional dan menyingkirkan batasan-batasan nasional, mendukung segala sesuatu yang membuat ikatan antara bangsa-bangsa semakin dekat atau mengarah ke persatuan bangsa-bangsa. Bertindak sebaliknya berarti berpihak pada filistinisme nasionalis yang reaksioner.”[16]
Inilah posisi Leninisme yang sesungguhnya dalam hubungannya dengan nasionalisme. Sungguh berbeda dengan distorsi yang ingin mereduksi semuanya menjadi satu slogan “sederhana”: “Hak Menentukan Nasib Sendiri”! Bila kita melakukan ini maka kita akan tersungkur ke filistinisme nasionalis yang reaksioner dan mencampakkan Marxisme. Jauh dari mengelu-elukan nasionalisme dan menciptakan perbatasan-perbatasan baru lewat separatisme, Lenin, seperti Marx, tidaklah mendukung “kepicikan bangsa kecil”. Keduanya selalu mendukung bangsa yang sebesar mungkin – bila semua pertimbangan sama. Lenin mendukung penghapusan perbatasan, dan bukan pembentukan perbatasan baru. Dia mendukung campur baurnya populasi dan bahkan asimilasi, selama asimilasi ini bersifat suka rela. Dia menentang glorifikasi bahasa dan kebudayaan satu bangsa di atas lainnya. Lenin menulis:
“Kaum proletariat tidak mengemban tugas mendukung perkembangan nasional dari setiap bangsa, tetapi sebaliknya, memperingatkan rakyat agar tidak jatuh ke dalam ilusi ini. Kaum proletariat mendukung kebebasan terpenuh dari pencampurbauran dan menyambut setiap bentuk asimilasi, kecuali asimilasi paksa atau asimilasi yang dibangun di atas privilese.”
“Nasionalisme borjuis dan internasionalisme proletariat – inilah dua slogan yang saling bertentangan dan tak terdamaikan, yang mewakili dua kamp dalam masyarakat kapitalis dan mengekspresikan dua kebijakan (lebih dari itu, dua cara pandang dunia) dalam masalah kebangsaan.”[17]
Tidak ada keraguan mengenai ini. Nasionalisme borjuis dan internasionalisme proletariat adalah dua kebijakan yang sama sekali tidak kompatibel, yang merefleksikan cara pandang dari dua kelas yang saling bermusuhan. Tidak ada gunanya menggeliat-geliut darinya dan mencoba mengaburkan kebenaran ini. Lenin berdiri di atas internasionalisme proletariat dan menentang nasionalisme dalam bentuk apapun nasionalisme ini mencoba menutup-nutupi dirinya. Kenyataan bahwa dia menentang semua bentuk penindasan nasional dan menunjukkan simpati pada bangsa-bangsa tertindas tidak boleh digunakan untuk menutupi fakta yang tak terbantahkan ini. Lenin memusuhi nasionalisme.
Lenin dan Rosa Luxemburg
Seperti Marx, Lenin harus meluncurkan perlawanan ini di dua front. Di satu front, dia berjuang melawan pengaruh gagasan oportunis dan revisionis seperti dari Otto Bauer, yang merefleksikan tekanan dari kaum nasionalis borjuis dan borjuis-kecil terhadap lapisan pelopor proletariat. Pada saat yang sama, di front yang lain, dia juga harus melawan mereka yang menyangkal pentingnya masalah kebangsaan. Lenin meluncurkan polemik tajam melawan Rosa Luxemburg selama bertahun-tahun mengenai masalah ini, supaya Partai dapat mengadopsi posisi yang tepat. Lalu, selama Perang Dunia Pertama, dia harus berpolemik melawan Bukharin dan Pyatakov yang juga mengklaim kalau masalah kebangsaan sudah tidak lagi relevan dan mereka menentang tuntutan hak menentukan nasib sendiri. Rosa Luxemburg, tidak usah ditanya lagi, adalah seorang revolusioner besar dan seorang internasionalis yang konsekuen, tetapi sayangnya internasionalismenya agak abstrak. Dari posisi yang abstrak ini dia menyangkal hak rakyat Polandia untuk menentukan nasib sendiri dan mengklaim bahwa gagasan kebangsaan Ukraina adalah ciptaan kaum intelektual.
Walaupun kaum Sosial Demokrat Polandia memiliki posisi yang keliru, dan posisi yang abstrak, mereka adalah kaum internasionalis yang sejati dan termotivasi oleh keharusan memerangi nasionalisme borjuis kecilnya Pilsudski dan partainya (Partai Sosialis Polandia, Polska Partija Socialistyczna, PPS). PPS sama sekali bukan partai sosialis, tetapi adalah partai nasionalis borjuis-kecil, yang didirikan pada 1892. Partai ini mendukung separatisme dan secara sengaja mencoba memecah belah buruh Polandia dari buruh Rusia. Seperti semua gerakan nasionalis borjuis-kecil, ada sayap kiri dan sayap kanan dalam PPS. Pada 1906, kedua sayap ini pecah. Lalu, selama Perang Dunia Pertama, Sayap Kiri ini bergerak menjauhi nasionalisme dan akhirnya merger dengan kaum Sosial Demokrat Polandia pada Desember 1918 untuk membentuk Partai Buruh Komunis Polandia. Namun, sayap kanan PPS tepat memegang garis sauvinis. Selama Perang Dunia pertama mereka mengorganisir Legiun Polandia yang bertempur di sisi imperialisme Austria-Jerman.
Lenin sendiri adalah seorang Rusia, yakni warga negara dari bangsa penindas, Rusia Raya. Rosa Luxemburg adalah seorang Polandia dan juga Yahudi. Lenin memahami perlunya kepekaan yang sangat besar terhadap rakyat dari bangsa-bangsa yang tertindas oleh Tsarisme Rusia. Dia mengatakan demikian kepada kamerad-kamerad Polandia: “Lihat, kami paham posisi kalian. Kalian adalah kaum Sosial Demokrat Polandia. Adalah tugas utama kalian untuk melawan kaum nasionalis Polandia. Tentu saja kalian harus melakukan ini. Tetapi tolong jangan minta kami, kamerad-kamerad Rusia kalian, bahwa kami harus menghapus dari program kami tuntutan hak rakyat Polandia untuk menentukan nasib sendiri. Karena, sebagai kaum sosial demokrat Rusia, tugas pertama kami adalah melawan kaum borjuasi kami sendiri, yakni kaum borjuasi Rusia dan Tsarisme. Hanya dengan ini kami kaum Sosial Demokrat Rusia dapat meyakinkan rakyat Polandia bahwa kami sama sekali tidak punya niatan untuk menindas mereka, dan dengan demikian membangun fondasi untuk persatuan antara rakyat Polandia dan Rusia dalam perjuangan revolusioner.”
Dengan cara yang brilian dan dialektik ini, tujuan dari posisi Lenin dalam hal hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri bukanlah untuk memecah belah buruh Rusia dan Polandia, tetapi sebaliknya untuk menyatukan mereka.
Persatuan Organisasi Buruh
Mengapa Lenin mendukung hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri? Dia lakukan ini semata-mata dari sudut pandang memajukan perjuangan kelas, untuk menyatukan kelas buruh. Bagi kaum Bolshevik, masalah kebangsaan tidak hanya merupakan masalah atau rintangan tetapi juga potensi revolusioner. Tanpa posisi yang tepat mengenai masalah kebangsaan, Revolusi Oktober tak akan pernah bisa dimenangkan. Tetapi bagian integral dari kebijakan Lenin adalah penekanannya, sejak 1903, mengenai perlunya mempertahankan persatuan kelas buruh dan khususnya organisasinya, di atas semua perbedaan kebangsaan, bahasa, ras atau agama. Oleh karenanya dia secara tegas menentang usaha kaum Bund Yahudi untuk mengorganisir buruh Yahudi secara terpisah dari buruh Rusia. Mengenai poin ini dia sangatlah tegas:
“Berkebalikan dengan percekcokan nasionalis dari berbagai partai-partai borjuis mengenai masalah bahasa, demokrasi buruh mengajukan tuntutan ini: persatuan absolut dan peleburan penuh buruh dari semua kebangsaan di semua organisasi buruh, serikat buruh, koperasi, organisasi konsumen, pendidikan dan semua organisasi buruh lainnya, guna melawan nasionalisme buruh dalam berbagai bentuknya. Hanya persatuan macam ini yang dapat menjaga demokrasi, menjaga kepentingan buruh dari rongrongan kapital – yang telah menjadi dan kian menjadi internasional – dan menjaga kepentingan perkembangan umat manusia menuju cara hidup baru dimana semua privilese dan eksploitasi akan menjadi asing.”[18]
Seperti yang ditunjukkan oleh Trotsky, hak menentukan nasib sendiri hanya sebagian dari posisi Lenin mengenai masalah kebangsaan. Sisi lain dari posisi ini adalah oposisi tegas terhadap pemecahbelahan gerakan buruh di atas garis kebangsaan. Kita harus membedakan dua elemen ini. Hak menentukan nasib sendiri adalah tuntutan demokratik, atau lebih tepatnya tuntutan demokratik borjuis. Separuh dari program ini berkaitan dengan bangsa secara keseluruhan. Tetapi sepanjang kita berbicara mengenai kaum proletariat, organisasi buruh tidak boleh dipecah belah seturut garis kebangsaan. Walaupun Lenin sangatlah jelas dan tidak ambigu mengenai ini, hari ini setiap sekte yang menyedihkan, yang menyebut diri mereka “Trotskis”, tidak hanya telah mendukung, tetapi juga menganjurkan dan mengimplementasikan kebijakan kriminal memecah organisasi buruh seturut garis kebangsaan, dengan satu cara atau cara lain.
Ini sama sekali tidak ada kesamaannya dengan Leninisme. Namun sekte-sekte di Inggris telah secara aktif berpartisipasi dalam membentuk kelompok buruh kulit hitam dalam serikat buruh dan Partai Buruh. Di Skotlandia mereka mendukung usaha membentuk serikat terpisah untuk buruh minyak Skotlandia, yang merupakan pelanggaran terhadap prinsip Marxisme yang paling elementer. Contoh yang sama dapat kita temui di banyak negeri lainnya. Mari kita perjelas di sini: pembentukan organisasi terpisah untuk berbagai kelompok nasional dan rasial adalah tindakan kriminal yang hanya akan memecah belah dan melemahkan gerakan buruh. Adalah satu hal untuk melawan rasisme dan sauvinisme. Adalah hal yang berbeda untuk memecah kelas buruh seturut garis kebangsaan, linguistik, religius atau rasial.
Ini tidak pernah menjadi posisi Partai Bolshevik, atau PBSDR sebelumnya. Tidak ada satupun tendensi dalam Sosial Demokrasi Rusia (kecuali kelompok Bund Yahudi) yang setuju dengan memecah gerakan seturut garis kebangsaan. Kaum Menshevik punya posisi yang sama dengan Bolshevik. Masalah ini didiskusikan secara menyeluruh sejak awal ketika ada tuntutan untuk memberi kaum Sosial Demokrat Yahudi sebuah organisasi terpisah di dalam PBSDR. Bund (organisasi Sosial Demokratik Yahudi) yang sangatlah kuat di bagian Rusia Barat dan Lituania, dimana ada populasi Yahudi yang besar, menuntut agar mereka sendirilah yang punya hak untuk berbicara atas nama buruh Yahudi dan juga untuk membentuk sebuah organisasi Sosial Demokratik Yahudi yang terpisah. Tuntutan ini secara tegas ditolak oleh Lenin dan kaum Marxis Rusia yang menekankan bahwa hanya boleh ada satu partai buruh dan satu serikat buruh. Ini adalah posisi kita sampai hari ini. Senjata terkuat di tangan kelas buruh adalah persatuan. Ini harus dipertahankan dengan segala cara. Kita menentang divisi kelas buruh seturut garis kebangsaan, ras, bahasa, agama, atau lain-lain. Dalam kata lain kita mengambil posisi kelas.
Masalah Yahudi
Mereka-mereka yang mendukung memecah gerakan buruh seturut garis kebangsaan, ras atau kelamin terus mencoba membenarkan posisi mereka dengan demagogi atau sentimentalitas, dengan berbicara mengenai kesengsaraan kaum tertindas dan ketidakadilan yang mereka derita, sebagai “bukti” dari “kemustahilan” untuk menyatukan ke dalam organisasi bersama orang Hitam dan orang Putih, laki-laki dan perempuan, kaum Protestan dan Katolik, dan seterusnya. Argumen palsu ini dipatahkan oleh sejarah Bolshevisme itu sendiri, seperti yang ditunjukkan oleh sikap Lenin terhadap kaum Bund Yahudi. Kaum Yahudi di Rusia secara kejam ditindas oleh diskriminasi yang sistemik, dipaksa hidup terpisah dari populasi umumnya, dan berulang kali menderita pogrom (kerusuhan rasial) yang berdarah-darah. Kaum Yahudi yang diperbolehkan bekerja untuk pemerintah, atau masuk ke sekolah negeri, dibatasi jumlahnya. Pada 1917 ada 650 undang-undang yang membatasi hak-hak kaum Yahudi. Di sini kita dapati penindasan nasional dalam bentuknya yang paling kasar dan brutal.
Lenin selalu menjelaskan kalau tugas buruh adalah melawan borjuasinya sendiri. Ini berarti semua buruh, termasuk bahkan yang paling tertindas. Untuk alasan ini kaum Sosial Demokrat Rusia selalu menolak tuntutan kaum Bund. Kenyataan kalau kaum Yahudi menderita penindasan yang paling buruk bukanlah argumen. Kaum Bund mengedepankan slogan otonomi kultural-nasional, yang dicoleknya dari program Otto Bauer dan kaum Austria-Marxis. Tetapi slogan ini bahkan lebih tidak masuk akal untuk kaum Yahudi Rusia. Dengan populasi mereka yang terpencar-pencar, kaum Yahudi yang mayoritas tinggal di kota tidak memiliki satu wilayah tertentu yang bisa menjadi acuan, yang merupakan salah satu prasyarat untuk sebuah nasion atau bangsa. Gagasan otonomi kultural-nasional adalah untuk menyatukan populasi Yahudi yang berserakan ini ke sekolah-sekolah dan institusi-institusi khusus Yahudi. Tuntutan ini, yang dikecam Trotsky sebagai tuntutan Utopis yang reaksioner, akan semakin memperdalam alienasi kaum Yahudi dari populasi yang lain dan memperparah ketegangan dan friksi rasial.
Kaum Yahudi Rusia saat itu tidak memiliki wilayah bersama atau bahasa bersama. Walaupun banyak kaum Yahudi di Rusia dan Eropa Timur berbahasa Yiddi, banyak yang tidak menggunakan bahasa ini. Di negeri-negeri kapitalis maju kaum Yahudi menggunakan bahasa dimana mereka bermukim. Kaum Yahudi Sephardic yang berasal dari Spanyol mempertahankan bahasa Spanyol sebagai bahasa ibu mereka selama berabad-abad setelah mereka telah diusir dari Spanyol dan tercerai berai di Mediterania. Dimanapun kaum Yahudi bisa, mereka terasimilasi ke dalam populasi negeri dimana mereka bermukim. Tetapi fanatisme dan obskurantisme dari Gereja Katolik Medieval mencegah asimilasi ini. Kaum Yahudi secara paksa dipisahkan dan diasingkan dari masyarakat luas. Mereka dilarang memiliki tanah, dan karenanya mereka terpaksa mengais kehidupan di pinggiran masyarakat feodal, termasuk sebagai pedagang atau rentenir. Alienasi yang dipaksakan ke kaum Yahudi ini bahkan lebih vulgar di Rusia Tsaris yang terbelakang.
Bahkan Lenin kesulitan mengklasifikasi kaum Yahudi. Definisi terdekat yang bisa dia formulasikan adalah kasta spesial yang tertindas. Mengenai ini Lenin menulis:
“Hal yang sama berlaku untuk bangsa yang paling tertindas dan teraniaya, yakni kaum Yahudi. Kebudayaan nasional Yahudi adalah slogan dari para pendeta rabbi dan kaum borjuasi, slogan musuh kita. Tetapi ada elemen-elemen lain dalam kebudayaan Yahudi dan di sepanjang sejarah kaum Yahudi. Dari sepuluh setengah juta kaum Yahudi di seluruh dunia, kira-kira setengah darinya bermukim di Galicia dan Rusia, yakni negeri-negeri terbelakang dan semi-barbar, yang secara paksa menindas kaum Yahudi sebagai sebuah kasta. Yang setengah lagi tinggal di negeri-negeri beradab, dan di sana kaum Yahudi tidak didiskriminasi sebagai kasta. Di sana, fitur-fitur kebudayaan Yahudi yang progresif membuat dirinya terasa: internasionalismenya, dan kepekaannya pada gerakan progresif pada jamannya (persentase kaum Yahudi yang terlibat di dalam gerakan demokratik dan proletariat dimana-mana lebih tinggi dari pada persentase populasinya.)[19]
Walaupun kaum Yahudi tidak memiliki atribut-atribut sebuah nasion, dan Lenin tidak menganggap mereka sebagai sebuah nasion, namun setelah Revolusi Oktober kaum Bolshevik menawarkan hak menentukan nasib sendiri pada kaum Yahudi, dengan memberi mereka sebuah tanah air (di Birobidzhan) dimana mereka bisa beremigrasi bila mereka ingin. Hanya sedikit yang memilih melakukan ini. Ini jelas jauh lebih baik daripada mendirikan Negara Yahudi di Palestina, di tanah yang telah dimukimi oleh kaum Arab selama lebih dari seribu tahun, dan dengan demikian menyebabkan pertumpahan darah dan perang tiada akhir di Timur Tengah. Pendirian negara Israel adalah sebuah tindakan reaksioner yang ditentang oleh kaum Marxis pada saat itu. Trotsky telah memperingatkan jauh-jauh hari kalau ini akan menjadi perangkap yang kejam bagi rakyat Yahudi. Dan sejarah selama setengah abad terakhir telah menjadi bukti kebenaran dari peringatan Trotsky. Akan tetapi Israel hari ini telah eksis sebagai sebuah negara-bangsa, dan jarum jam sejarah tidak bisa diputar balik. Israel sekarang adalah sebuah bangsa dan kita tidak dapat menyerukan penghapusannya. Solusi dari problem kebangsaan Palestina (yang akan kita kupas nanti) hanya dapat dicapai melalui pendirian federasi sosialis Timur Tengah dimana rakyat Arab dan Yahudi dapat hidup bersama dengan tanah air otonomi mereka sendiri dan respek penuh terhadap semua hak-hak nasional.
Pendukung Zionisme di Rusia Tsaris adalah minoritas kecil. Kebanyakan dari kader gerakan revolusioner di Rusia berlatar belakang Yahudi, karena kebanyakan kaum intelektual dan buruh maju Yahudi paham bahwa masa depan mereka tergantung pada rekonstruksi masyarakat secara revolusioner. Ini terbukti tepat. Di Rusia setelah Revolusi Oktober, rakyat Yahudi meraih emansipasi sipil dan kesetaraan penuh mereka. Rakyat Yahudi puas dengan ini dan untuk alasan ini sedikit sekali yang mengambil tawaran mendirikan negara terpisah di dalam perbatasan Uni Soviet.
Hak Penentuan Nasib Sendiri
Tuntutan pengakuan hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri adalah sentral bagi posisi Lenin mengenai masalah kebangsaan. Ini secara umum diketahui. Tetapi Hegel pernah berkata, apa yang diketahui belum tentu dipahami. Lenin menulis banyak mengenai masalah kebangsaan, dan tulisan-tulisannya ini menjabarkan posisi Marxis mengenai masalah ini, yang dia kembangkan dengan cara yang sangat kaya, mempertimbangkan semua sisi, dan dialektis. Namun membaca sekilas saja tulisan-tulisan dari berbagai kelompok yang hari ini mengklaim meneruskan tradisi Lenin cukup untuk meyakinkan kita kalau tidak ada seorangpun dari mereka yang sungguh membaca Lenin, dan bila mereka membacanya mereka tidak paham satu kata pun. Terutama tuntutan hak menentukan nasib sendiri – yang tak diragukan adalah satu dari elemen penting dari pemikiran Lenin mengenai masalah kebangsaan – telah dicerabut dari konteksnya dan disajikan dengan cara yang mekanikal dan tidak-seimbang, seakan-akan tuntutan ini adalah satu-satunya hal yang dipertimbangkan oleh Lenin.
Lenin membela hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri, dan ini adalah proposisi ABC bagi setiap Marxis. Tetapi setelah ABC ada huruf-huruf lainnya, dan seorang anak sekolah yang hanya bisa mengulang-ulang huruf “ABC” tidak akan dianggap terlalu pintar. Dialektika, seperti yang dijelaskan oleh Lenin berulang kali, menganalisa fenomena dari semua sisi. Mengabstraksikan satu elemen dalam persamaan yang kompleks, dan lalu mempertentangkannya dengan elemen-elemen lain, adalah penyalahgunaan dialektik yang kekanak-kanakan. Penyalahgunaan seperti ini menghasilkan kekeliruan yang paling vulgar. Dalam politik, dan terutama dalam politik masalah kebangsaan, ini akan langsung mengarah ke pembelaan terhadap nasionalisme reaksioner dan pencampakan sosialisme. Masalah kebangsaan adalah seperti ladang ranjau, yang harus dilalui dengan bantuan kompas yang baik. Satu sentimeter saja kita melenceng dari posisi kelas, seketika itu juga kita akan tersesat. Makanya banyak dari mereka-mereka yang hari ini mencoba mengutip pembelaan Lenin terhadap hak menentukan nasib sendiri jatuh ke perangkap menyerah pada tekanan besar dari nasionalisme borjuis kecil, yang adalah kebalikan dari posisi Lenin. Mari kita dengar apa yang Lenin sendiri katakan:
“Kita tidak mendukung mempertahankan bangsa-bangsa kecil dengan cara apapun; bila semua kondisi sama, kita secara positif mendukung sentralisasi dan menentang gagasan relasi federal yang filistin.”[20]
Lenin mengingatkan kita kalau kita tidak harus kapanpun dan dimanapun mendukung hak bangsa kecil untuk menentukan nasib sendiri. Seperti yang dia jelaskan secara hati-hati, bila semua kondisi sama, kita selalu mendukung unit nasional yang lebih besar; kita selalu lebih mendukung sentralisasi, di atas basis demokratik, alih-alih desentralisasi. Tetapi semua kondisi tidak selalu sama. Kenyataan adanya penindasan nasional atas satu bangsa oleh bangsa yang lain menuntut kaum proletarian dan organisasinya untuk melawan penindasan nasional dan membela hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri.
Hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri adalah tuntutan demokratik dan Marxis mendukungnya, seperti halnya kita mendukung tuntutan demokratik lainnya. Tetapi dukungan untuk tuntutan demokratik umumnya tidak pernah dianggap oleh kaum Marxis seperti semacam Imperatif Kategorikal (absolut kapanpun dan dimanapun). Tuntutan demokratik selalu subordinat pada kepentingan kelas buruh dan perjuangan sosialisme, seperti yang dijelaskan Lenin: “Secara praktik, kaum proletariat dapat mempertahankan kemandirian politiknya hanya dengan mensubordinatkan perjuangan untuk semua tuntutan demokratik, termasuk tuntutan untuk republik, pada perjuangan revolusionernya untuk menumbangkan kaum borjuasi.”[21]
Tidak ada yang baru atau mengejutkan di sini. Ini sesuai dengan posisi Marxis umumnya mengenai tuntutan demokratik. Misalnya, hak bercerai adalah tuntutan demokratik, yang juga kita dukung. Tetapi apa arti hak ini? Ini berarti dua insan dapat hidup bersama selama keduanya bahagia. Tetapi bila hubungan antara dua insan ini rusak, maka mereka punya hak untuk berpisah. Tidak ada orang yang boleh memaksa mereka untuk hidup bersama. Atau mari kita pertimbangkan hak aborsi. Apa arti hak ini? Seorang perempuan punya hak untuk menentukan apa dia ingin punya anak atau tidak, karena jelas sang perempuan punya hak untuk memperlakukan tubuhnya sesuai dengan kehendaknya. Kita membela hak-hak demokratik ini. Tetapi apa lalu kita mengatakan kalau perceraian dan aborsi itu adalah hal yang baik dalam dirinya sendiri? Apakah kita mengatakan kalau semua orang harus melakukan aborsi, atau setiap pasangan harus bercerai? Ini konyol. Perceraian dan aborsi bukanlah hal yang baik, tetapi di bawah kondisi tertentu adalah opsi terbaik. Ini sama dengan hak menentukan nasib sendiri. Ada perbedaan antara mendukung hak menentukan nasib sendiri dan mendukung pemisahan. Ini adalah perbedaan antara kebijakan Marxis dan kebijakan nasionalis borjuis kecil. Lenin sangat jelas mengenai poin ini:
“ ‘Untuk tidak melanggar hak menentukan nasib sendiri’ maka kita wajib untuk tidak ‘mendukung pemisahan’, seperti yang diasumsikan oleh Tn. Semkovsky yang cerdik, tetapi mendukung hak bagi wilayah yang ingin berpisah untuk menentukan masalah ini sendiri.”[22]
Bagi Lenin, hak untuk menentukan nasib sendiri tidak berarti bahwa buruh “wajib mendukung pemisahan”, tetapi hak ini berarti menentang semua bentuk penindasan nasional dan menentang pemaksaan satu bangsa untuk jadi bagian dari bangsa lain, dalam kata lain, biarkan rakyat yang memutuskan sendiri nasib mereka. Ini adalah hak demokratik yang elementer, yang dibela oleh kaum Bolshevik. Tetapi biarpun begitu, hak ini tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang absolut, tetapi selalu subordinat pada kepentingan perjuangan kelas dan revolusi dunia. Kebijakan Lenin bukanlah pemisahan, tetapi persatuan secara sukarela. Slogan hak menentukan nasib sendiri sama sekali tidak berarti mendukung pemisahan, tetapi justru adalah bagian integral dari perjuangan melawan pemisahan. Lenin melanjutkan:
“Menurut Tn. Semkovsky, pengakuan hak menentukan nasib sendiri akan ‘menjerumuskan kita ke nasionalisme borjuis’. Ini adalah omong kosong yang kekanak-kanakan, karena pengakuan atas hak menentukan nasib sendiri tidak mencegah kita untuk melakukan agitasi dan propaganda menentang pemisahan atau mengekspos nasionalisme borjuis. Tetapi yang tidak terbantahkan adalah bahwa penyangkalan hak untuk memisahkan diri akan menjerumuskan kita ke tangan kaum nasionalis Rusia-Raya Black-Hundred yang paling reaksioner.” (Ibid.)
Mari kita ambil contoh dari zaman sekarang. Populasi Prancis di Quebec merasa tertindas secara nasional oleh Kanada. Kaum Nasionalis Quebec mendorong pemisahan. Kaum Marxis akan mengatakan kepada rakyat Quebec: yah, kalian punya hak untuk menentukan nasib sendiri. Kami akan membela hak ini. Tetapi kami menganggap pemisahan akan melukai perjuangan rakyat Quebec dan seluruh Kanada. Bila ada referendum, kami akan beragitasi menentang pemisahan. Kami mendukung Quebec yang sosialis di dalam Kanada yang sosialis pula, dengan respek penuh untuk hak nasional sebagai satu-satunya solusi. Inilah kira-kira posisi Lenin mengenai masalah kebangsaan.[23]
Lenin sama sekali tidak melihat hak menentukan nasib sendiri sebagai sebuah obat mujarab, yang harus diimplementasikan secara universal terlepas dari kondisi-kondisi yang ada. Kebodohan ini di kemudian hari diadopsi oleh kelompok-kelompok yang memberikan layanan bibir pada Marxisme dan Leninisme tanpa memahaminya sama sekali. Lenin tidak menganggap hak menentukan nasib sendiri sebagai sebuah hak yang absolut, di luar waktu dan ruang, tetapi sebagai bagian dari perjuangan kaum proletariat untuk merebut kekuasaan, dan oleh karenanya hak ini subordinat pada perjuangan tersebut. Di artikelnya Stalin, The National Question and Marxism, yang praktis didikte oleh Lenin, dan yang jelas mengekspresikan pandangan Lenin, gagasan ini terekspresikan dengan jelas:
“Sebuah bangsa punya hak untuk mengatur kehidupannya secara otonomi. Ia bahkan punya hak untuk memisahkan diri. Tetapi ini tidak berarti ia harus melakukan ini di setiap kesempatan, bahwa otonomi atau pemisahan akan di manapun dan kapanpun menjadi hal yang baik bagi sebuah bangsa, yakni bagi mayoritas populasi, yakni bagi strata rakyat pekerja.”
“Solusi apa yang paling kompatibel dengan kepentingan rakyat pekerja? Otonomi, federasi, atau pemisahan?
“Semua ini adalah problem yang mana solusinya akan tergantung pada kondisi-kondisi historis yang konkret yang dihadapi oleh sebuah bangsa tertentu.”
“Tidak, lebih dari itu. Kondisi, seperti semua hal, berubah, dan keputusan yang tepat pada satu waktu tertentu dapat menjadi sepenuhnya tidak sesuai untuk waktu yang lain.”[24]
Ini sepenuhnya benar. Posisi kaum Marxis mengenai tuntutan hak penentuan nasib sendiri tidak bisa ditentukan jauh hari sebelumnya. Ini akan tergantung pada situasi yang konkret di tiap-tiap kasus tertentu, dan implikasinya pada perjuangan kaum proletariat dan revolusi sosialis dunia. Ini yang selalu menjadi posisinya Lenin. Di The Right of Nations to Self-determination, dia menulis: “Kaum Marxis di negeri manapun sama sekali tidak boleh merumuskan program nasional mereka tanpa mempertimbangkan semua kondisi historis umum dan konkret ini.”[25]
Lenin berargumen melawan kaum Sosial Demokrat Polandia yang memiliki posisi ultra-kiri dalam masalah kebangsaan dan menyangkal hak penentuan nasib sendiri secara prinsipil, dan Lenin menjelaskan bahwa bukanlah tugas sosial demokrasi [Marxisme] untuk mendukung setiap perjuangan kemerdekaan. Lenin mengatakan: “Dari sudut pandang teori umum argumen ini buruk sekali, karena jelas argumen ini tidak logis. Pertama-tama, tidak ada satupun tuntutan demokratik yang tidak bisa disalahgunakan bila yang spesifik tidak disubordinatkan pada yang umum. Kita tidak diwajibkan untuk mendukung semua perjuangan kemerdekaan atau semua gerakan republiken atau anti-klerus [anti-feodal].”[26]
Ada satu kasus yang jelas dimana Lenin tidak mendukung hak penentuan nasib sendiri: ketika ini berarti menyeret kaum buruh ke peperangan. Menurut Lenin tuntutan untuk mendukung hak penentuan nasib sendiri (bahkan bila tuntutan ini adalah benar dalam dirinya sendiri) adalah tuntutan yang tidak bisa didukung bila ini berarti menyeret negeri-negeri kapitalis besar ke peperangan besar. Dukungan kaum Bolshevik terhadap perjuangan nasional akan tergantung pada kondisi-kondisi yang konkret, yang berbeda-beda di tiap-tiap kasus. Di setiap kasus Lenin mendekati masalah kebangsaan bukan dari sudut pandang nasionalisme sempit, tetapi dari sudut pandang revolusi dunia. Pada Juli 1916, Lenin memperingatkan rakyat Polandia untuk tidak meluncurkan perjuangan kemerdekaan nasional. Dia menjelaskan bahwa nasib perjuangan rakyat Polandia terikat erat pada perspektif revolusi di Rusia dan Jerman. Lenin menulis: “Untuk mengedepankan masalah kemerdekaan Polandia hari ini, di bawah relasi kekuatan-kekuatan imperialis tetangga yang ada hari ini, ini sungguh seperti mengejar utopia, dan jatuh ke nasionalisme picik dan melupakan bahwa premis yang dibutuhkan adalah revolusi Eropa atau setidaknya Revolusi Rusia dan Jerman.”[27]
Di situasi ini, dia menganjurkan kepada rakyat Polandia untuk mengsubordinatkan perjuangan kemerdekaan mereka pada perspektif revolusi di Rusia dan Jerman. Dalam hal ini Lenin terbukti benar. Hanya Revolusi Rusia yang menciptakan kondisi untuk pembentukan negara Polandia yang merdeka, sementara setiap usaha lainnya sebelumnya telah berakhir dengan bencana. Ini yang Lenin maksud ketika dia memperingatkan rakyat Polandia untuk tidak “mengejar utopia” atau “jatuh ke nasionalisme picik”. Sungguh anjuran yang baik! Dan ini jauh berbeda dengan karikatur posisi Lenin yang diajukan oleh sejumlah kaum Kiri yang mendukung pemecah-belahan Yugoslavia dengan dalih hak penentuan nasib sendiri! Ini tidak hanya mengejar utopia tetapi bahkan utopia yang reaksioner, dan jatuh ke nasionalisme picik yang paling buruk.
Lenin dan “kepraktisan”
Salah satu trik yang biasanya digunakan oleh para kritikus borjuis-kecil untuk menyerang posisi Marxisme mengenai masalah kebangsaan adalah dengan menuduhnya utopis. “Semua celoteh kalian mengenai menyatukan kaum buruh adalah utopis”; “Gagasan federasi sosialis tidaklah praktis.”; “Kita harus melakukan sesuatu sekarang juga!” dan seterusnya. Coba kita lihat bagaimana Lenin menjawab argumen semacam ini:
“Apa arti tuntutan ‘kepraktisan’ dalam masalah kebangsaan?”
“Ini berarti salah satu dari tiga hal ini: 1) mendukung semua aspirasi nasional; 2) menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’ terhadap pertanyaan pemisahan oleh setiap nasion; 2) tuntutan nasional pada umumnya harus segera ‘praktis’.”
“Mari kita periksa ketiga arti dari tuntutan ‘kepraktisan’ ini.”
“Kaum borjuasi, yang lazimnya mengambil kepemimpinan di awal dari setiap gerakan nasional, mengatakan bahwa dukungan untuk semua aspirasi nasional adalah praktis. Akan tetapi, kebijakan proletariat dalam masalah kebangsaan (seperti halnya semua masalah lainnya) mendukung kaum borjuasi hanya dalam arah tertentu, tetapi kebijakan proletariat tidak pernah sama dengan kebijakan borjuasi. Kelas buruh mendukung kaum borjuasi hanya untuk mengamankan kedamaian nasional (yang tidak bisa dicapai sepenuhnya oleh kaum borjuasi dan yang hanya bisa dicapai lewat demokrasi penuh), untuk mengamankan kesetaraan hak dan menciptakan kondisi terbaik untuk perjuangan kelas. Oleh karenanya, kaum proletariat memajukan prinsip-prinsip mereka dalam masalah kebangsaan dengan bertentangan dengan kepraktisan kaum borjuasi; mereka selalu memberikan kaum borjuasi hanya dukungan kondisional. Dalam masalah kebangsaan kaum borjuasi hanya menginginkan privilese untuk bangsanya sendiri atau keunggulan istimewa untuknya; dan ini disebut ‘praktis’. Kaum proletariat menentang semua bentuk privilese, semua bentuk keistimewaan. Oleh karenanya, menuntut agar kaum proletariat harus ‘praktis’ berarti mengekor kaum borjuasi, dan jatuh ke oportunisme.”[28]
[“Menuntut jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ untuk pertanyaan pemisahan oleh setiap bangsa mungkin akan tampak ‘praktis’. Pada kenyataannya ini absurd. Ini metafisik dalam teori, sementara dalam praktik ini berarti mengsubordinatkan kaum proletariat pada kebijakan borjuasi. Kaum borjuasi selalu meletakkan tuntutan-tuntutan nasionalnya di muka depan, dan mereka melakukan ini secara kategorikal. Akan tetapi dengan kaum proletariat tuntutan-tuntutan nasional selalu subordinat pada kepentingan perjuangan kelas. Secara teoritis, kita tidak bisa mengatakan jauh hari sebelumnya apakah revolusi borjuis-demokratik akan berakhir dengan berpisahnya satu bangsa dari bangsa yang lain, atau kesetaraannya dengan bangsa yang lain; terlepas dari semua ini, yang penting bagi kelas proletariat adalah menjamin perkembangan kelasnya sendiri. Penting bagi kaum borjuasi untuk menghambat perkembangan kelas proletariat dengan mendorong tujuan dari bangsanya “sendiri”, dan mendorong ke belakang tujuan proletariat. Inilah mengapa kaum proletariat membatasi dirinya pada tuntutan negatif untuk mengakui hak menentukan nasib sendiri, tanpa memberikan jaminan pada bangsa manapun, dan tanpa memberi apapun kepada satu bangsa dengan mengorbankan bangsa yang lain.”][29]
Ketika Lenin menulis ini pada 1914, dia masih memiliki perspektif revolusi borjuis-demokratik di Rusia. Kaum Bolshevik berjuang sebagai sayap kiri ekstrem dari kamp borjuis demokratik. Tujuan mereka adalah untuk memobilisasi massa di bawah kepemimpinan proletariat, bukan untuk mentransfer kekuasaan ke kelas buruh (Lenin hanya mencapai kesimpulan ini pada 1917) tetapi untuk menuntaskan revolusi borjuis-demokratik yang paling radikal di Rusia, dan dengan demikian menciptakan kondisi yang kondusif untuk perkembangan kapitalisme dan perjuangan kelas. Tentu saja perspektif Lenin tidak berhenti di sini saja. Dia membayangkan bagaimana kemenangan revolusi borjuis-demokratik di Rusia akan memberikan dorongan besar pada revolusi sosialis di Eropa Barat, dan ini pada gilirannya akan memungkinkan buruh Rusia – bersama-sama dengan buruh Eropa – untuk mengubah revolusi borjuis-demokratik menjadi revolusi sosialis. Tetapi tugas-tugas segera dari revolusi ini adalah borjuis-demokratik, dan yang paling utama dari tugas ini adalah revolusi agraria dan masalah kebangsaan.
Bahkan ketika Lenin masih memiliki perspektif revolusi borjuis-demokratik dia menekankan pentingnya kemandirian penuh kaum proletariat dari kaum borjuasi. Dalam masalah kebangsaan kaum buruh harus mandiri dari kaum borjuasi nasionalis. Mereka harus melawan penindasan nasional, tetapi mereka harus melakukannya di bawah panji mereka sendiri, dengan kebijakan dan metode mereka sendiri. Selama kaum borjuasi nasional mengambil langkah maju dalam melawan bangsa penindas, kelas buruh wajib mendukung mereka tentu saja. Tetapi dukungan ini sangatlah kondisional, dan tidak berarti buruh wajib mendukung kaum borjuasi nasional di setiap kasus. Lenin mewanti-wanti buruh mengenai pengkhianatan kaum borjuasi nasional, keserakahannya yang egois dan kecenderungannya yang reaksioner, dan memperingatkan buruh agar tidak tunduk pada demagogi “persatuan” yang kerap diumbar oleh kaum nasionalis.
Argumen kaum nasionalis borjuis dan borjuis-kecil terhadap posisi Marxis selalu sama: “Semua pembicaraan mengenai sosialisme dan perjuangan kelas ini utopis. Kita sedang menderita penindasan nasional sekarang, dan harus mengambil kebijakan-kebijakan yang praktis untuk menyelesaikan problem-problem kita.” Lenin telah menjawab demagogi macam ini:
“Menuntut jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ untuk pertanyaan pemisahan oleh setiap bangsa mungkin akan tampak ‘praktis’. Pada kenyataannya ini absurd. Ini metafisik dalam teori, sementara dalam praktek ini berarti mengsubordinatkan kaum proletariat pada kebijakan borjuasi. Kaum borjuasi selalu meletakkan tuntutan-tuntutan nasionalnya di muka depan, dan mereka melakukan ini secara kategorikal. Akan tetapi dengan kaum proletariat tuntutan-tuntutan nasional selalu subordinat pada kepentingan perjuangan kelas.”[30]
Dan lagi:
“Kaum borjuasi dari bangsa tertindas akan menyerukan kepada kaum proletariat untuk mendukung aspirasinya tanpa-syarat dengan dalih bahwa tuntutannya adalah ‘praktis’. Prosedur yang paling ‘praktis’ adalah mengatakan ‘ya’ untuk pemisahan satu bangsa tertentu alih-alih mendukung hak pemisahan bagi semua bangsa!
“Kaum proletariat menentang kepraktisan macam ini. Kaum proletariat mengakui kesetaraan dan hak yang setara bagi sebuah bangsa, tetapi di atas segalanya kaum proletariat berjuang untuk persatuan kaum proletariat dari semua bangsa, dan mengkaji semua tuntutan nasional, semua pemisahan nasional, dari sudut pandang perjuangan kelas buruh. Seruan kepraktisan ini pada kenyataannya adalah seruan untuk menerima aspirasi borjuis bulat-bulat secara tidak kritis.”[31]
Dari baris-baris ini sangatlah jelas kalau Lenin tidak berpendapat bahwa kaum proletariat wajib mendukung setiap tuntutan kemerdekaan. Dia menyerukan kepada buruh untuk menolak usaha kaum nasionalis borjuis dan borjuis-kecil untuk memaksa mereka mendukung nasionalisme, dengan dalih mendukung rakyat yang tertindas. Dia mengatakan, masalah kebangsaan selalu subordinat pada kepentingan umum proletariat dan perjuangan jelas, dan kita harus mengambil posisi mengenai masalah kebangsaan (hak penentuan nasib sendiri) hanya dengan pertimbangan bahwa posisi ini akan mendorong maju perjuangan proletariat dan perjuangan sosialisme. Kalau hak penentuan nasib sendiri ini justru menghambat perjuangan proletariat dan perjuangan sosialisme, kaum proletariat harus secara tegas menolaknya.
Posisi Lenin mengenai masalah kebangsaan berevolusi seiring dengan waktu, seperti halnya pandangan umumnya mengenai watak revolusi Rusia berubah. Setelah Revolusi Februari Lenin mencampakkan gagasan awalnya bahwa Revolusi Rusia akan berkarakter borjuis-demokratik (“kediktatoran demokratik proletariat dan tani”) dan bergerak ke posisi yang telah dibela oleh Trotsky sejak 1904-05. Trotsky menjelaskan, walaupun secara objektif tugas dari Revolusi Rusia adalah borjuis-demokratik dalam karakternya, revolusi ini hanya bisa dipimpin oleh proletariat yang bersekutu dengan kaum tani miskin. Kaum borjuasi Rusia tampil di panggung sejarah terlalu terlambat untuk bisa memainkan peran progresif. Di bawah situasi semacam ini, tugas-tugas revolusi borjuis-demokratik hanya bisa dilaksanakan oleh kelas buruh setelah mereka merebut kekuasaan. Tetapi ini bukanlah “kediktatoran demokratik proletariat dan tani” tetapi kediktatoran proletariat. Perspektif ini secara brilian mendapatkan konfirmasinya pada Oktober 1917.
Bahkan sebelum ini, seperti yang telah kita saksikan, Lenin tidak pernah memberikan dukungan pada borjuasi nasional, atau setidaknya hanya dukungan yang paling terbatas dan kondisional di bawah kondisi-kondisi tertentu, sementara selalu menekankan kemandirian kelas proletariat dari kaum borjuasi “progresif”. Tetapi setelah 1917 dia memahami bahwa kaum borjuasi nasional dari negeri-negeri semi-kolonial terbelakang seperti Rusia Tsaris sama sekali tidak mampu memainkan peran progresif apapun. Di Kongres Kedua Komunis Internasional, Lenin mengubah posisinya. Sejak itu dia menganggap borjuasi nasional di negeri-negeri kolonial tidak mampu memainkan peran progresif. Sejarah di kemudian hari membuktikan kebenaran posisi Lenin.
DAFTAR ISI
Bag 1: Masalah Kebangsaan Dalam Sejarah
Bag 2: Marx dan Engels dan Masalah Kebangsaan
Bag 3: Lenin dan Masalah Kebangsaan
Bag 4: Masalah Kebangsaan Setelah Revolusi Oktober
Catatan Kaki
[1] L. Trotsky, History of the Russian Revolution, hal. 890.
[2] MECW, vol. 27, hal. 28.
[3] Trotsky, The History of the Russian Revolution, hal. 890-1.
[4] E.H. Carr, The Bolshevik Revolution, vol., 1, hal. 425-6.
[5] J.V. Stalin, Marxism on the National and Colonial Question, hal. 8.
[6] Ibid.
[7] Trotsky, History of the Russian Revolution, hal. 889.
[8] LCW, Critical Remarks on the National Question, October-December 1913, vol. 20.
[9] LCW,Critical Remarks on the National Question, October-December 1913, vol. 20.
[10] Ibid.
[11] LCW, The Right of Nations to Self-determination, February-May 1914, vol. 20.
[12] LCW, Critical Remarks on the National Question, October-December 1913, vol. 20.
[13] Ibid.
[14] LCW, The Right of Nations to Self-determination, February-May 1914, vol. 20.
[15] LCW, Critical Remarks on the National Question, October-December 1913, vol. 20.
[16] Ibid.
[17] Ibid., Penekanan kami.
[18] LCW, Critical Remarks on the National Question, October-December 1913, vol. 20.
[19] LCW, Critical Remarks on the National Question, October-December 1913, vol. 20.
[20] LCW, The Socialist Revolution and the Right of Nations to Self-determination, January-February 1916, vol. 22.
[21] Ibid.
[22] LCW, The National Programme of the RSDLP, 15 December 1913, vol. 19.
[23] Catatan Penerjemah: Contoh mengenai kasus Quebec ini tidak berarti kaum Marxis akan selalu menentang pemisahan ketika referendum kemerdekaan diselenggarakan. Misalnya dalam kasus Referendum Kemerdekaan Skotlandia pada 2014, kaum Marxis mendukung kubu “Ya”, yakni kubu yang ingin Skotlandia merdeka dari Inggris Raya. Ini karena aspirasi kemerdekaan rakyat Skotlandia adalah ekspresi penentangan mereka terhadap rejim penghematan dan pemotongan yang dipaksakan oleh parlemen Inggris Raya, dan oleh karenanya adalah pukulan terhadap kapitalisme yang ingin memaksa rakyat pekerja menanggung biaya krisis kapitalis. Di kasus lain, misalnya pada Referendum Kemerdekaan 1995 di Quebec, Kanada, walaupun kaum Marxis mendukung hak penentuan nasib sendiri rakyat Quebec, yakni hak mereka untuk menggelar referendum kemerdekaan, pada saat referendum ini kaum Marxis tidak mendukung kubu “Ya” karena kubu ini dipimpin oleh kaum nasionalis borjuis yang menggunakan sentimen rasisme. Kaum Marxis oleh karenanya tidak pernah memiliki posisi yang absolut dalam masalah kebangsaan, selain posisi kemandirian kelas.
[24] Ibid., hal. 20-21, our emphasis.
[25] LCW, The Right of Nations to Self-determination, February-May 1914, vol. 20, hal. 401.
[26] LCW, The Discussion on Self-determination Summed Up, vol. 22, hal. 349, penekanan kami.
[27] LCW, The Discussion on Self-determination Summed Up, vol. 22, hal. 350, penekanan kami.
[28] LCW, The Right of Nations to Self-determination, February-May 1914, vol. 20, hal. 409-10.
[29] Terjemahan lanjutan dari penerjemah. LCW, The Right of Nations to Self-determination, February-May 1914, vol. 20, hal. 409-10.
[30] Ibid., our emphasis.
[31] Ibid., our emphasis.