“Berbagai tuntutan demokratik, termasuk tuntutan penentuan nasib sendiri, bukanlah tuntutan yang absolut, tetapi hanya bagian kecil dari gerakan demokratik (sekarang gerakan sosialis) sedunia. Di tiap-tiap kasus yang konkret, yang bagian dapat berkontradiksi dengan yang keseluruhan, dan bila demikian maka ia harus ditolak. Gerakan republiken di satu negeri bisa saja menjadi instrumen intrik klerus [atau feodal] atau finansial-monarki dari negeri lain; dan bila demikian maka kita tidak boleh mendukung gerakan ini. Tetapi konyol kalau kita lalu menghapus tuntutan pembentukan republik dari program Sosial Demokrasi Internasional dengan alasan ini.”[1] (Lenin)
Kalimat di atas menunjukkan bahwa hak menentukan nasib sendiri hanya sebuah hak yang relatif. Apakah kelas buruh harus mendukung tuntutan hak penentuan nasib sendiri akan tergantung pada kondisi-kondisi yang spesifik di tiap-tiap kasus yang berbeda. Ini adalah masalah yang konkret. Mustahil untuk mengambil satu posisi yang valid untuk semua kasus. Lenin jelas tidak pernah mengambil posisi seperti itu. Kita harus memeriksa setiap kasus secara konkret dan dengan hati-hati memisahkan yang progresif dari yang reaksioner. Kalau tidak kita akan jatuh ke dalam kekacauan. Dan posisi Lenin terbukti tepat dalam praktik pada 1916. Masalah kebangsaan diselesaikan di Rusia, bukan oleh kaum borjuasi tetapi oleh revolusi sosialis. Ini adalah fakta yang tidak ingin diakui oleh orang-orang yang menghitamkan Bolshevisme. Revolusi Oktober adalah penting bagi mereka yang sungguh-sungguh ingin memahami posisi Marxis mengenai masalah kebangsaan.
Seperti yang telah diprediksi oleh Lenin, rakyat Polandia hanya mendapatkan kemerdekaan mereka sebagai hasil dari revolusi di Rusia. Revolusi Oktober menciptakan kondisi untuk pecahnya Polandia dari Rusia. Sayap kanan Partai Sosialis Polandia terdorong ke tampuk kekuasaan, dimana dengan terburu-buru mereka menyerahkan kekuasaan ke tangan kaum borjuasi Polandia. Yang belakangan ini, didorong oleh Inggris dan Prancis, menyatakan perang melawan Rusia pada 1920. Kaum Bolshevik tidak hanya mempertahankan dirinya melawan borjuasi reaksioner Polandia, tetapi membawa perang ini ke dalam Polandia. Apakah ini penyangkalan terhadap hak penentuan nasib sendiri Polandia? Lenin menjawab masalah ini jauh hari di artikelnya The Discussion on Self-determination Summed Up, yang ditulisnya pada Juli 1916:
“Bila situasi konkret yang dihadapi Marx di periode dimana pengaruh Tsar mendominasi arena politik internasional mengulang dirinya sendiri, misalnya dimana ada sejumlah bangsa yang memulai revolusi sosialis (seperti hanya revolusi borjuis-demokratik dimulai pada 1848), sementara bangsa-bangsa lain menjadi benteng reaksi borjuis – maka kita juga akan mendukung perang revolusioner melawan bangsa-bangsa yang belakangan ini, mendukung ‘meremukkan’ mereka, mendukung menghancurkan semua pos terdepan mereka, tidak peduli bila ada gerakan nasional kecil yang muncul di sana.”[2]
Baris-baris di atas cukup menjelaskan sikap Lenin yang sesungguhnya mengenai penentuan nasib sendiri. Masalah kebangsaan (termasuk hak penentuan nasib sendiri) selalu subordinat pada kepentingan umum proletariat dan revolusi dunia. Kaum proletariat harus mendukung perjuangan pembebasan nasional dari bangsa-bangsa tertindas, sepanjang perjuangan pembebasan ini diarahkan melawan imperialisme dan tsarisme. Dalam hal ini gerakan nasional dapat menjadi sekutu kaum proletariat, seperti halnya kaum tani. Tetapi ketika gerakan nasional ini diarahkan melawan revolusi, ketika bangsa-bangsa kecil digunakan sebagai pion imperialisme dan reaksi (seperti yang biasanya terjadi dalam sejarah), maka gerakan buruh harus melawannya, bahkan sampai pada titik mengobarkan perang melawan gerakan ini. Ini jelas dari apa yang dikatakan oleh Lenin.
Program Bolshevik mengenai masalah kebangsaan dimaksudkan sebagai sarana untuk menyatukan buruh dan tani dari semua kebangsaan dalam Rusia Tsaris, guna menumbangkan Tsarisme secara revolusioner. Segera setelah kaum buruh Rusia berkuasa, mereka menawarkan hak penentuan nasib sendiri untuk bangsa-bangsa tertindas, tetapi di kebanyakan kasus rakyat dari bangsa-bangsa tertindas ini memutuskan untuk tetap berada di dalam Federasi Soviet dan secara sukarela berpartisipasi di dalamnya. Polandia dan Finlandia memutuskan untuk pecah dari Federasi Soviet, dan kedua negeri ini membentuk pemerintahan kediktatoran reaksioner yang memusuhi Soviet. Ukraina jatuh ke tangan Jerman. Kaum Bolshevik tidak mengintervensi Finlandia dan Polandia, bukan karena hak penentuan nasib sendiri tetapi karena mereka terlalu lemah untuk melakukan ini. Di kemudian hari mereka mengintervensi Polandia, Ukraina, dan Georgia.
Setelah Revolusi Oktober, lebih dari satu kali pemerintahan Bolshevik terpaksa mengobarkan perang melawan gerakan nasionalis reaksioner, misalnya gerakan Dashnak Armenia dan Rada Ukraina, yang tidak lain adalah kedok untuk intervensi imperialis di Republik Soviet. Pada 1920, Lenin mendukung mengobarkan perang revolusioner melawan Polandia. Trotsky menentang ini, bukan secara prinsipil atau karena hak menentukan nasib sendiri Polandia (rejim reaksioner Pilsudski adalah kacungnya imperialisme Inggris dan Prancis yang mendorong kebijakan agresif Polandia terhadap Soviet Rusia). Trotsky menentangnya hanya karena alasan-alasan praktis.
Ketika kaum borjuasi nasionalis Finlandia, untuk alasan reaksioner mereka sendiri, pecah dari Rusia setelah Revolusi Oktober, kaum Bolshevik tidak berusaha mengintervensi. Tetapi ini adalah refleksi dari lemahnya negara Soviet pada saat itu. Negara buruh Soviet saat itu sedang terlibat dalam perjuangan hidup-dan-mati di banyak front. Trotsky harus mengimprovisasi Tentara Merah dari nol. Di Finlandia meledak perang sipil yang berdarah-darah [pada 1918], antara Tentara Putih borjuis nasionalis dan kaum buruh.[3] Bila pada saat itu kaum Bolshevik sudah memiliki Tentara Merah, mereka tentunya akan mengintervensi untuk mendukung buruh Finlandia dalam melawan kaum borjuasi nasionalis reaksioner. Tetapi sayangnya tidak demikian. Kaum Bolshevik tidak mengintervensi Perang Sipil Finlandia bukan karena “hak menentukan nasib sendiri”, yang seperti yang telah dijelaskan berulang kali oleh Lenin, hanya merupakan satu bagian – yang relatif kecil – dari strategi umum revolusi proletariat dunia. Hak penentuan nasib sendiri selalu subordinat pada revolusi proletariat dunia, seperti halnya yang bagian selalu surbordinat pada yang keseluruhan.
Pada 1922 di bukunya Social Democracy and the Wars of Intervention (yang juga diterbitkan dengan judul Between Red and White), Leon Trotsky menulis demikian:
“Perkembangan ekonomi masyarakat hari ini memiliki karakter yang teramat sentralis. Kapitalisme telah meletakkan fondasi awal untuk ekonomi yang teregulasi dengan baik dalam skala dunia. Imperialisme hanyalah ekspresi predatoris dari keinginan kapitalis untuk mengambil peran kepemimpinan dalam mengelola ekonomi dunia. Semua negeri-negeri imperialis besar menemukan bahwa mereka tidak punya cakupan yang cukup di dalam batas-batas sempit perekonomian nasional, dan mereka semua mencari pasar yang lebih luas. Tujuan mereka adalah monopoli perekonomian dunia. …”
“Tugas fundamental dari epos kita adalah membangun relasi ekonomi yang erat antara sistem-sistem ekonomi dari berbagai belahan dunia, dan membangunnya untuk kepentingan seluruh umat manusia, yang berdasarkan produksi dunia yang terkoordinasi, dengan penggunaan semua kekuatan produksi dan sumber daya dengan cara yang paling ekonomis. Inilah tugas sosialisme. Dari sini jelas sekali kalau prinsip penentuan nasib sendiri sama sekali tidak menggantikan kecenderungan penyatuan dari pembangunan ekonomi sosialis. Dalam hal ini, penentuan nasib sendiri menempati, dalam proses perkembangan sejarah, posisi subordinat yang biasanya ditempati oleh demokrasi umumnya. Namun sentralisme sosialis tidak bisa begitu saja menggantikan sentralisme imperialis, tanpa sebuah periode transisi dimana bangsa-bangsa yang tertindas harus diberikan kesempatan untuk meregangkan kaki dan tangan mereka yang telah menjadi kaku karena terikat rantai kapitalis.”
“Tugas dan metode revolusi proletariat bukanlah secara mekanis menghapus karakteristik-karakteristik nasional atau mengimplementasikan persatuan (amalgamasi) secara paksa. Revolusi proletariat tidak akan campur tangan dalam masalah bahasa, pendidikan, literatur dan kebudayaan dari berbagai bangsa. Revolusi proletariat lebih memikirkan hal-hal lain ketimbang ketertarikan profesional dari kaum intelektual dan kepentingan ‘nasional’ kelas buruh. Kemenangan revolusi sosialis akan memberikan kebebasan penuh pada semua kelompok-kelompok nasional untuk menyelesaikan untuk diri mereka sendiri semua masalah kebudayaan nasional. Pada saat yang sama revolusi sosialis akan menyelesaikan tugas-tugas ekonomi di bawah satu kepemimpinan (untuk kebaikan bersama dan dengan persetujuan buruh), yang membutuhkan pendekatan yang bijaksana dan sepadan dengan kondisi-kondisi alam, historis, dan teknis; dan bukan dengan kelompok-kelompok nasional. Federasi Soviet adalah bentuk negara yang paling luwes dan fleksibel untuk koordinasi kondisi-kondisi nasional dan ekonomi.”
“Para politisi Internasional Kedua, serempak dengan mentor-mentor diplomat borjuis mereka, tersenyum mengejek pada pengakuan kami atas hak menentukan nasib sendiri. Pengakuan ini mereka anggap sebagai jebakan untuk rakyat yang bodoh – sebuah jebakan dari imperialisme Rusia. Pada kenyataannya, sejarah sendirilah yang telah menaruh jebakan ini, alih-alih menyelesaikan masalah ini secara langsung. Bagaimanapun juga, kita tidak bisa dituduh mengubah zig-zag perkembangan sejarah menjadi jebakan, karena walaupun kita mengakui hak penentuan nasib sendiri kita selalu memastikan untuk menjelaskan kepada massa rakyat keterbatasan historis dari hak tersebut, dan kita tidak pernah menaruhnya di atas kepentingan revolusi proletariat.”[4]
Lenin dan Nasionalisme Rusia Raya
Lenin mengenal dengan baik dan mencintai tradisi, sejarah, sastra dan kebudayaan nasional Rusia. Walaupun Lenin adalah seorang internasionalis, dia sangat berakar pada kehidupan dan kebudayaan Rusia. Namun dia tidak pernah sekalipun memberikan konsesi pada sauvinisme Rusia Raya. Sebaliknya, sepanjang hidupnya dia memerangi sauvinisme ini. Kemenangan revolusi proletariat tentu saja tidak berarti semua prasangka kuno, kebiasaan berpikir lama dan tradisi tua akan segera menghilang, dimana semua ini membebani kesadaran manusia seperti “gunung Alpen”. Kita tidak mengubah cara berpikir manusia dalam waktu semalam hanya dengan menumbangkan kekuasaan kaum penindas dan menasionalisasi alat-alat produksi. Masyarakat yang baru masih akan menanggung barut dan deformasi dari tatanan yang sebelumnya, tidak hanya di kulit punggungnya tetapi juga di benak pikirannya.
Terbangunnya relasi manusia yang sejati antara laki-laki dan perempuan, antara bangsa yang sebelumnya tertindas dan yang sebelumnya tertindas, hanya dapat berlangsung dalam kurun waktu tertentu, yang panjangnya akan ditentukan oleh tingkat perkembangan kekuatan produksi, lamanya jam kerja, dan tingkat kebudayaan rakyat. Inilah arti dari periode transisional antara kapitalisme dan sosialisme. Dalam kasus Rusia, dimana revolusi menemui dirinya terisolasi dalam kondisi keterbelakangan yang paling mengerikan, masalah-masalah yang dihadapi oleh Soviet sangatlah besar. Ini berpengaruh langsung pada masalah kebangsaan. Menjelang Perang Dunia Pertama Lenin menulis:
“Bahkan sekarang, dan mungkin untuk waktu yang cukup panjang, demokrasi proletariat harus berurusan dengan nasionalisme dari kaum tani Rusia Raya (bukan dengan tujuan memberi konsesi padanya, tetapi untuk memeranginya).”[5]
Dan dia lanjutkan:
“Situasi ini memaksa kaum proletariat Rusia untuk menghadapi sebuah tugas yang memiliki dua sisi: memerangi semua nasionalisme dan terutama nasionalisme Rusia Raya; mengakui tidak hanya hak setara untuk semua bangsa umumnya, tetapi juga kesetaraan hak dalam hal kenegaraan, yakni hak bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Dan pada saat yang sama, tugas kaum proletariat adalah meluncurkan perjuangan melawan nasionalisme dari semua bangsa, apapun bentuknya, dan menjaga persatuan perjuangan proletariat dan persatuan organisasi proletariat, meleburkan organisasi-organisasi ini menjadi satu asosiasi internasional yang rapat, terlepas dari keinginan borjuis untuk meraih keeksklusifan nasional.”
“Kesetaraan hak yang penuh untuk semua bangsa, hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri, persatuan buruh dari semua bangsa – inilah program nasional yang diajarkan oleh Marxisme, yakni pengalaman seluruh dunia dan pengalaman Rusia, kepada buruh.”[6]
Lenin selalu menunjukkan kepekaan yang besar ketika berurusan dengan bangsa-bangsa kecil di Soviet. Kaum Bolshevik memenuhi semua kewajiban mereka pada bangsa-bangsa yang sebelumnya ditindas oleh rejim Tsar. Pertama, nama Rusia dihapus dari semua dokumen resmi. Kaum Bolshevik hanya menggunakan nama “Negara Buruh”. Lalu ada usaha untuk membentuk Persekutuan Republik-republik Soviet (Union of Soviet Republics). Walaupun jelas federasi ini bersifat sukarela, yang dibentuk segera setelah Revolusi Oktober, Lenin berusaha sekeras mungkin untuk tidak memberi kesan barang secuilpun pada bangsa-bangsa non-Rusia bahwa Bolshevik ingin membangun kembali kerajaan Tsaris lama dengan nama baru. Dia menuntut kesabaran dan kepekaan. Akan tetapi, Stalin, yang ditunjuk sebagai Komisar Bangsa-Bangsa karena dia adalah seorang Georgia, punya pikiran lain. Sudah sering terjadi dimana seorang yang berasal dari bangsa kecil tertindas, yang mendapatkan jabatan tinggi dalam pemerintahan bangsa penindas, cenderung menjadi sauvinis yang paling buruk. Misalnya, Napoleon Bonaparte, walaupun seorang Corsica, menjadi pendukung sentralisme Prancis yang paling fanatik.
Stalin, yang merupakan makhluk birokrasi, menjadi seorang sauvinis Rusia Raya yang sama fanatiknya, walaupun dia tidak fasih bahasa Rusia dan punya logat Georgia yang kental. Pada 1921, kendati keberatan dari Lenin, Stalin meluncurkan invasi ke Georgia, yang adalah (secara teoritis) sebuah negara independen. Dihadapi dengan fait accompli, Lenin terpaksa menerima ini. Tetapi dia dengan keras menganjurkan kaum Bolshevik untuk menangani Georgia dengan hati-hati dan peka, guna menghindari kesan sauvinisme Rusia Raya. Pada saat itu Georgia, negeri yang dominan tani dan borjuis kecil, diperintah oleh kaum Menshevik. Lenin mendukung kebijakan konsiliasi, dengan tujuan memenangkan kepercayaan rakyat Georgia. Dia menekannya pentingnya menjaga hubungan bersahabat antar bangsa, dan juga menekannya karakter sukarela dari federasi Soviet. Stalin, sebaliknya, ingin menggunakan cara apapun untuk mendorong persatuan antara Federasi Sosialis Rusia (RSFSR, Russian Soviet Federative Socialist Republic) dengan Transcaucasian Federation, Ukrainian SSR (Soviet Socialist Republic) dan Bielorussian SSR. Ketika draf proposal Stalin diserahkan ke Komite Pusat, Lenin mengkritiknya dan mengajukan sebuah draf alternatif yang berbeda secara prinsipil dari drafnya Stalin. Lenin, seperti biasa, menekannya elemen kesetaraan dan watak sukarela dari federasi Soviet: “Kita berdiri sama tinggi duduk sama rendah dengan Republik Sosialis Soviet Ukraina dan yang lainnya, dan bersama-sama dengan mereka dan dengan hak dan kewajiban yang setara kita memasuki sebuah persekutuan yang baru, sebuah federasi yang baru…”[7]
Sementara, di belakang punggung kepemimpinan Partai, Stalin, dibantu oleh kacungnya Ordzhonikidze (seorang Georgia yang ter-Rusia-kan seperti dirinya) dan Dzerzhinski (seorang Polandia) meluncurkan semacam kudeta di Georgia. Bertentangan dengan anjuran Lenin mereka membersihkan kaum Menshevik Georgia, dan ketika kaum Bolshevik Georgia memprotes ini mereka dengan kejam disingkirkan. Stalin dan Ordzhonikidze menginjak-injak semua kritik. Dalam kata lain, mereka menjalankan kebijakan yang berkebalikan dengan apa yang dianjurkan oleh Lenin. Mereka mem-bully kaum Bolshevik Georgia dan bahkan menggunakan kekerasan fisik, seperti ketika Ordzhonikidze menampar salah seorang Bolshevik Georgia, sebuah tindakan yang tak pernah terdengar sebelumnya. Ketika Lenin, yang sudah lumpuh karena sakit, akhirnya mengetahui hal ini, dia sangat geram dan mendikte serangkaian surat ke sekretarisnya, dimana dia mengecam tindakan Stalin dengan sangat keras dan menuntut hukuman yang paling berat untuk Ordzhonikidze.
Di sebuah surat yang didikte pada 24-25 Desember 1922, Lenin mencap Stalin sebagai “seorang sosialis-nasionalis yang tulen”, dan seorang “bully Rusia Raya” yang vulgar.[8] Dia menulis: “Saya juga khawatir Kamerad Dzerzhinski, yang berangkat ke Kaukasus untuk menyelidiki ‘kejahatan’ dari ‘para sosialis-nasionalis ini’, justru menggunakan kerangka berpikir Rusia (sudah biasa kalau orang-orang dari bangsa non-Rusia yang telah ter-Rusia-kan justru memiliki kerangka berpikir Rusia yang berlebihan) dan imparsialitas dari seluruh komisinya dikarakterkan dengan kekerasan yang dilakukan oleh Ordzhonikidze.”[9]
Lenin meletakkan kesalahan dari insiden ini di muka pintu Stalin. Dia menulis: “Saya pikir ketergesa-gesaan dan kegemaran Stalin dalam menggunakan metode administrasi murni, bersamaan dengan kebenciannya terhadap “sosialisme-nasionalis” memainkan peran yang fatal di sini. Dalam politik, kebencian biasanya memainkan peran yang paling buruk.”[10]
Lenin menghubungkan sikap Stalin di Georgia dengan masalah degenerasi birokratik aparatus negara Soviet di bawah kondisi keterbelakangan yang mengerikan. Dia terutama mengecam ketergesa-gesaan Stalin dalam mendorong Persekutuan Republik-republik Soviet, tanpa mempertimbangkan opini dari rakyat yang bersangkutan, di bawah dalih “pentingnya aparatus negara yang tersatukan”. Lenin dengan tegas menolak argumen ini, dan menjelaskan kalau argumen ini adalah ekspresi dari sauvinisme Rusia Raya yang datang dari Birokrasi, yang diwarisi oleh Revolusi dari tsarisme:
“Ada yang mengatakan bahwa kita membutuhkan sebuah aparatus negara yang tersatukan. Dari mana argumen ini datang? Bukankah ini datang dari aparatus Rusia yang sama, yang, seperti yang telah saya tunjukkan di salah satu bagian dari catatan harian saya, kita ambil alih dari Tsarisme dan kita basuh sedikit dengan minyak Soviet?”
“Jelas kalau kebijakan ini [terkait dengan Georgia] harusnya kita tunda sampai kita bisa bersumpah kalau aparatus negara sekarang adalah sungguh milik kita. Tetapi sekarang, kita harus jujur mengakui bahwa aparatus negara kita, pada kenyataannya, masih asing bagi kita; aparatus ini adalah aparatus tambal sulam borjuis dan Tsaris, dan selama lima tahun terakhir kita tidak bisa menghancurkannya tanpa bantuan dari negeri-negeri lain dan karena hampir setiap saat kita ‘disibukkan’ dengan peperangan [Perang Sipil] dan perjuangan melawan kelaparan.”
“Lazim kalau di bawah situasi seperti ini ‘kebebasan berpisah dari federasi [Soviet]’ yang merupakan justifikasi kita hanya akan menjadi secarik kertas saja, karena kita tidak bisa membela rakyat non-Rusia dari gempuran orang Rusia tulen itu, yakni sauvinis Rusia Raya, yang pada substansinya adalah seorang bajingan dan tiran, seperti birokrat Rusia yang tipikal. Tidak ada keraguan kalau buruh Soviet yang jumlahnya teramat kecil ini akan tenggelam di bawah gelombang sauvinisme Rusia-Raya seperti lalat di susu.”[11]
Setelah persoalan Georgia, Lenin menggunakan semua otoritasnya untuk menyingkirkan Stalin dari posisi Sekretaris Jenderal partai yang dia duduki sejak 1922, setelah meninggalnya Sverldov. Namun, kekhawatiran utama Lenin sekarang adalah perpecahan terbuka dalam tubuh kepemimpinan partai, di bawah kondisi yang ada sekarang, dapat memecah partai seturut garis kelas. Oleh karenanya dia berusaha membatasi polemik ini di badan kepemimpinan partai saja, dimana catatan dan dokumen-dokumen tidak dibuat publik. Lenin mengirim surat ke kaum Bolshevik-Leninis Georgia (dengan terusan ke Trotsky dan Kamenev) dan mengatakan dia akan mendukung mereka untuk melawan Stalin “dengan sepenuh hati”. Karena dia tidak bisa menangani masalah ini secara langsung, dia menulis ke Trotsky dan memintanya untuk membela kaum Bolshevik Georgia di Komite Pusat.
Bukti-bukti perjuangan Lenin yang terakhir melawan Stalin dan birokrasi disembunyikan selama puluhan tahun oleh Moskow. Tulisan-tulisan terakhir Lenin disembunyikan dari anggota akar rumput Partai Komunis di Rusia dan seluruh dunia. Surat terakhir Lenin untuk Kongres Partai, kendati protes dari istrinya, tidak dibaca pada saat Kongres Partai (Kongres Partai ke-13 pada Mei 1924) dan dikunci rapat-rapat sampai 1956 ketika Khrushchev dkk. menerbitkannya, bersamaan dengan tulisan-tulisan lain mengenai Georgia dan masalah kebangsaan. Dengan demikian perjuangan Lenin untuk mempertahankan kebijakan Bolshevik dan internasionalisme proletariat yang sejati dibuat lenyap oleh birokrasi.
“Sosialisme di satu negeri”
Nasionalisme dan Marxisme adalah dua hal yang tak terdamaikan satu sama lain. Nasionalisme adalah kembar siam Stalinisme dalam berbagai variasinya. Di jantung ideologi Stalinisme adalah teori sosialisme di satu negeri. Gagasan anti-Marxis ini tidak pernah terbayangkan oleh Marx ataupun Lenin. Sampai pada akhir 1924, Stalin masih mendukung posisi internasionalis Lenin. Pada Februari tahun itu, dalam karya Foundations of Leninism, Stalin meringkas pandangan Lenin mengenai pembangunan sosialisme:
“Penumbangan kekuasaan borjuasi dan pembangunan pemerintahan proletariat di satu negeri belum menjamin kemenangan penuh sosialisme. Tugas utama sosialisme – pengorganisasian produksi sosialis – masih ada di muka. Dapatkah tugas ini dituntaskan, dapatkah kemenangan akhir sosialisme di satu negeri tercapai, tanpa usaha bersama kaum proletariat dari beberapa negeri kapitalis maju? Tidak, ini mustahil. Untuk menumbangkan kaum borjuasi, usaha dari satu negeri saja cukup – sejarah revolusi kita telah membuktikan ini. Untuk kemenangan akhir Sosialisme, untuk pengorganisasian produksi sosialis, usaha dari satu negeri, terutama negeri tani seperti Rusia, tidaklah cukup. Untuk ini dibutuhkan usaha dari kaum proletariat dari beberapa negeri maju.”
“Inilah, secara keseluruhan, ciri khas teori Leninis mengenai revolusi proletariat.”
Bahwa ini adalah “ciri khas teori Leninis mengenai revolusi proletariat” tidak pernah digugat sampai pada paruh pertama 1924. Kata-kata ini telah diulang berkali-kali di ratusan pidato, artikel, dan dokumen Lenin sejak 1905. Namun sebelum akhir 1924, buku Stalin telah direvisi. Pada November 1926 Stalin sudah bisa mengatakan yang sebaliknya: “Partai selalu mengambil sebagai titik acuannya gagasan bahwa kemenangan sosialisme di satu negeri, dan tugas tersebut dapat dipenuhi dengan kekuatan dari satu negeri.”
Kalimat ini menandai perpecahan penuh dari kebijakan internasionalisme proletariatnya Lenin. Stalin tidak akan pernah bisa mengatakan ini ketika Lenin masih bernafas. Teori sosialisme di satu negeri merefleksikan mood dari kasta birokrasi yang sedang menguat, yang telah hidup nyaman dari hasil Revolusi Oktober dan sekarang ingin menghentikan periode badai revolusioner. Sosialisme di satu negeri adalah ekspresi teoritis dari reaksi borjuis kecil dalam melawan Revolusi Oktober. Di bawah panji sosialisme di satu negeri, lapisan birokrasi Stalinis meluncurkan perang sipil melawan Bolshevisme (sebuah perang yang timpang), yang berakhir dengan penghancuran secara fisik Partainya Lenin dan lahirnya sebuah rejim totaliter yang mengerikan.
Rejim yang dibangun di atas tulang belulang Partai Bolshevik akhirnya menghancurkan setiap warisan Revolusi Oktober. Tetapi ini bukan sesuatu yang niscaya sejak awal. Setelah Revolusi Rusia, Komunis Internasional membela posisi masalah kebangsaan yang tepat. Tetapi dengan perkembangan Stalinisme dan degenerasi Komunis Internasional, semua gagasan fundamental Bolshevik lenyap. Kebanyakan pemimpin Partai-partai Komunis di luar Uni Soviet dengan mata tertutup patuh kepada garis dari Moskow. Komintern diubah dari kendaraan untuk revolusi proletariat sedunia menjadi instrumen pasif untuk kebijakan luar negeri Stalin. Ketika Komintern sudah tidak lagi cocok untuk kepentingannya, Stalin dengan begitu saja membubarkannya pada 1943, tanpa bahkan menyelenggarakan kongres.
Hanya satu orang yang menjelaskan jauh-jauh hari ke mana teori Sosialisme di satu Negeri ini akan berakhir. Sedini 1928, Leon Trotsky memperingatkan bahwa bila teori ini diadopsi oleh Komintern, ini akan secara tak terelakkan memulai proses yang hanya dapat berakhir dengan degenerasi nasionalis-reformis dari setiap Partai Komunis di dunia. Tiga generasi selanjutnya, Uni Soviet dan Komunis Internasional luluh lantak, dan Partai-partai Komunis di mana-mana sudah lama menanggalkan kedok kalau mereka memperjuangkan kebijakan Leninis.
Trotsky dan Masalah Ukraina
Bagi Trotsky, seperti halnya Lenin, masalah mendukung hak penentuan nasib sendiri adalah masalah konkret, yang ditentukan sepenuhnya oleh kepentingan kelas proletariat dan revolusi dunia. Salah satu contoh yang baik mengenai metode Trotsky adalah sikapnya terhadap Ukraina pada 1930an. Perilaku buruk birokrasi Stalinis terhadap Ukraina telah merusak parah rantai solidaritas antara Rusia dan Ukraina yang dibangun oleh Revolusi Oktober.
Seperti Georgia, Ukraina adalah negeri yang dominan agraris, dengan populasi tani yang besar. Ukraina memiliki luas wilayah dan populasi yang hampir sama dengan Prancis, dan sangat strategis bagi Bolshevik. Keberhasilan revolusi di Ukraina adalah krusial untuk memperluas revolusi ke Polandia, Balkan, dan yang terpenting dari semuanya Jerman. Pada Januari 1919 Christian Rakovsky, Presiden Komisar Republik Soviet Ukraina, menyatakan: “Ukraina sungguh adalah poin strategis untuk sosialisme. Revolusi di Ukraina akan memantik revolusi di daerah Balkan dan memberi kaum proletariat Jerman peluang untuk menghalau kelaparan dan imperialisme dunia. Revolusi Ukraina adalah faktor yang menentukan dalam revolusi dunia.”[12]
Rejim Soviet didirikan di Ukraina dengan tidak begitu mudah. Ini sebagian karena intervensi asing. Kesulitan utama adalah mengatasi dominasi kaum tani. Ini diperparah oleh masalah kebangsaan. Walaupun bahasa Ukraina cukup dekat dengan Rusia, dan rakyat dari kedua bangsa ini berbagi sejarah bersama selama berabad-abad (Kiev sebelumnya adalah ibukota Rusia Kuno), rakyat Ukraina adalah bangsa terpisah dengan bahasa, kebudayaan dan identitas nasional mereka sendiri – ini sebuah kenyataan yang tidak selalu diapresiasi oleh orang Rusia Raya yang biasanya menyebut Ukraina “Rusia Kecil”.
Garis perpecahan nasional di Ukraina kurang lebih sama dengan garis perpecahan kelas dalam masyarakat Ukraina. Dimana 80 persen populasi adalah kaum tani yang berbahasa Ukraina, mayoritas populasi urban adalah orang Rusia. Oleh karenanya kaum Bolshevik punya basis yang kuat di kota-kota, tetapi sangatlah lemah di pedesaan. Nasib revolusi Ukraina tergantung pada penyelesaian masalah ini. Kelemahan Partai Bolshevik adalah mereka dilihat sebagai Partai “Rusia dan Yahudi”. Akan tetapi, seiring dengan pecahnya revolusi di Ukraina, diferensiasi kelas mulai terkuak di antara kaum tani dan ini terefleksikan dalam perpecahan di organisasi-organisasi nasional Ukraina. Perkembangan terpenting adalah bergesernya ke kirinya organisasi Borotbists, yang bisa disamakan dengan Partai Sosial Revolusioner Kiri di Rusia. Selama Perang Sipil, Borotbists bersekutu dengan kaum Bolshevik untuk melawan Tentara Putih (Petlyura). Kendati keragu-raguan kaum Bolshevik Ukraina, Lenin menuntut agar mereka bersatu dengan Borotbists. Setelah banyak kesulitan, akhirnya Borotbists fusi dengan Partai Komunis, dan dengan demikian memberi partai ini untuk pertama kalinya basis massa di antara kaum tani. Ini adalah faktor menentukan yang menjamin kemenangan revolusi di Ukraina.
Ada banyak penyimpangan “nasionalis” di Partai Komunis Ukraina setelah itu. Ini benar. Tetapi masalah ini ditangani dengan kesabaran dan kepekaan yang selalu menjadi ciri khas dari kebijakan Lenin dan Trotsky dalam masalah kebangsaan. Namun kebangkitan Stalin dan degenerasi birokratik negara Soviet memperparah keresahan di Ukraina. Di Kongres Partai ke-12 pada 1923, Rakovsky menjelaskan akar permasalahan ini, sama seperti Lenin:
“Stalin hanya bisa memberikan penjelasan yang ada di permukaan saja. Ada penjelasan kedua yang lebih penting, yakni jurang yang memisahkan antara partai kita dan program kita di satu sisi, dan aparatus negara kita di sisi lain. Inilah permasalahan utamanya. …”
“Pemerintahan pusat kita mulai melihat pengelolaan seluruh negeri dari sudut pandang kenyamanan. Lazim kalau sangatlah melelahkan untuk mengelola dua puluh republik, dan alangkah nyaman dan gampangnya kalau keduapuluh republik ini disatukan. Dari sudut pandang birokratik, ini akan lebih sederhana, lebih mudah, lebih nyaman.”[13]
Pemusatan kekuasaan di tangan segelintir aristokrasi birokrasi baru yang berprivilese memiliki pengaruh yang teramat buruk pada masalah kebangsaan di USSR. Avonturisme birokratik yang dipaksakan oleh kaum birokrasi dalam meluncurkan kolektivisasi pertanian memiliki konsekuensi katastropik di seluruh Uni Soviet, dan terutama di Ukraina. Pembersihan yang dilakukan oleh Stalin dimulai lebih awal di Ukraina, karena kegilaan kolektivisasi paksa telah mendorong massa tani Ukraina untuk menentangnya. Ini terefleksikan dalam terbentuknya oposisi di barisan anggota Partai Komunis Ukraina. Dari 1933-36, Partai Komunis Ukraina dihancurkan oleh Stalin. Di satu tahun saja, pada 1933, lebih dari separuh sekretaris daerah Partai disingkirkan. Banyak dari mereka yang disingkirkan adalah pendukung Stalin, seperti Mykola Skrypnyk, seorang Bolshevik Tua dan pemimpin terkemuka Partai Komunis Ukraina, yang bunuh diri pada 1933 sebagai protes terhadap kampanye pembersihan Stalinis. Ini hanyalah pukulan pertama. Pada 1938, pada puncak Pembersihan Moskow, hampir separuh sekretaris dari organisasi-organisasi Partai disingkirkan sekali lagi. Ini adalah peringatan bahwa hanya kepatuhan penuh pada birokrasi Moskow yang akan ditolerir.
Dari pengasingannya Trotsky mengikuti peristiwa-peristiwa ini dengan keresahan yang kian besar. Dia melihat bagaimana Pembersihan ini telah memukul Ukraina jauh lebih parah daripada republik-republik lain, dan dia menyimpulkan bahwa kebijakan opresif dari Birokrasi Rusia akan sangat meregangkan hubungan antara Ukraina dan Uni Soviet. Dia melihat adanya bahaya kebangkitan nasionalisme Ukraina yang borjuis dan kontra-revolusioner. Di tengah situasi seperti ini tendensi ini dapat mendapatkan gaung yang kuat di antara kaum tani. Trotsky telah memperingatkan dunia akan keniscayaan perang dunia yang baru, dimana Hitler akan mencoba menaklukkan Uni Soviet. Di bawah situasi ini masalah Ukraina sangat penting dan mendesak bagi masa depan dunia.
Di bawah kondisi yang khusus ini Trotsky mengedepankan slogan Ukraina Soviet Sosialis yang independen. Maksudnya jelas: melemahkan kaum nasionalis borjuis Ukraina yang ingin memecah Ukraina dari USSR di atas basis reaksioner, yang berarti menyerahkan Ukraina, dengan potensi pertanian dan industrinya yang besar, ke Hitler. Trotsky memahami bahwa sebuah revolusi politik di Ukraina akan segera mengedepankan masalah kebangsaan. Dan dia paham bahwa kita sudah tidak bisa lagi mencegah Ukraina untuk pecah dari sebuah persekutuan atau federasi yang dipaksakan, yang sekarang diasosiasikan di benak massa dengan kekerasan, penderitaan dan penghinaan nasional. Tugas kaum Bolshevik-Leninis Ukraina oleh karenanya adalah memberi gerakan nasional Ukraina sebuah konten sosialis, dan bukannya borjuis.
Kemenangan revolusi di Ukraina akan memiliki pengaruh yang besar di Rusia dan negeri-negeri tetangga, terutama di Ukraina Barat, yang berada di bawah kediktatoran Bonapartis Pilsudski di Polandia. Reunifikasi Ukraina di atas basis rejim soviet sosialis yang independen akan merobohkan rejim Pilsudski dan memantik revolusi sosialis di Polandia. Ini pada gilirannya akan mendorong kelas buruh Jerman untuk melawan Hitler. Seperti pada 1919, Ukraina pada 1930an juga adalah “kunci ke revolusi dunia”. Bila kelas buruh Ukraina menaklukkan kekuasaan, bahkan bila ini mengarah ke perpisahan dari Rusia, pintu masih akan terbuka untuk pembentukan federasi dengan Rusia di hari depan. Namun sejarah bergulir tidak seperti yang diprediksi oleh Trotsky. Perang Dunia Kedua mengubah perspektifnya.
Ketika Stalin pada 1939 menandatangani Pakta Hitler dan mengirim Tentara Merah menduduki sebagian wilayah Polandia, termasuk Ukraina Barat, Trotsky memperingatkan kalau Hitler pasti akan ingkar janji dan menyerang Uni Soviet. Di situasi ini, keresahan nasional di Ukraina akan menjadi ancaman serius bagi Uni Soviet: “Kebijakan Hitler adalah seperti berikut, pembangunan sebuah tatanan tertentu di negeri-negeri jajahannya, satu demi satu, dan dari setiap taklukannya yang baru dia akan membangun sistem ‘persahabatan’ yang baru. Pada tahapan ini Hitler menyerahkan Ukraina Raya ke Stalin, temannya, sebagai deposito sementara. Di tahapan selanjutnya dia akan mengedepankan pertanyaan siapa pemilik Ukraina ini: Stalin atau dia, Hitler.”[14]
Dia memperingatkan kalau penindasan nasional terhadap Ukraina oleh Birokrasi Stalinis Rusia Raya akan mendorong rakyat Ukraina ke pelukan Hitler. Karena alasan inilah, dan dalam konteks sejarah yang unik ini, Trotsky mengajukan slogan Soviet Ukraina yang independen, sebagai cara untuk memerangi nasionalisme borjuis Ukraina yang reaksioner dan memenangkan buruh dan tani Ukraina ke gagasan kekuasaan soviet. Menjelang Perang Dunia Kedua dia menulis:
“Orientasi pro-Jerman dari selapisan opini di Ukraina sekarang akan mengungkapkan karakter reaksioner dan utopisnya. Yang tersisa hanyalah orientasi revolusioner. Perang akan mempercepat laju perkembangan peristiwa. Supaya tidak tertangkap basah tidak siap, kita harus mengambil posisi yang jelas dan tepat pada waktunya mengenai masalah Ukraina.”[15]
Pada 1941, tepatnya satu tahun setelah Trotsky dibunuh oleh agennya Stalin, Hitler menyerang Uni Soviet, seperti yang telah diprediksi oleh Trotsky. Dan seperti yang dia takuti, banyak rakyat Ukraina, terutama kaum tani, awalnya melihat Jerman sebagai harapan, atau setidaknya dengan kepasrahan. Tetapi ini segera berubah karena kebijakan rasis dari Nazi, dengan kegilaan “ras inferior” mereka. Bila Uni Soviet diserang oleh pasukan Amerika Serikat dengan komoditas murah di bagasi kereta mereka, hasilnya akan berbeda. Tetapi pasukan Hitler datang bukan dengan komoditas murah tetapi dengan kamar gas. Sebagai akibatnya populasi Ukraina, dan tidak hanya Ukraina tetapi seluruh Uni Soviet, bersatu untuk melawan penjajah Nazi. Pada akhirnya, jumlah kolaborator Nazi relatif kecil, bahkan di Ukraina. Kendati semua kejahatan Stalinisme, mereka melihatnya sebagai terbaik dari yang terburuk.
Trotsky melihat Ukraina sebagai kasus spesial. Dia mengedepankan slogan “Soviet Ukraina independen” untuk sementara dan untuk alasan-alasan khusus. Dia tidak pernah mengedepankan slogan yang sama untuk republik-republik lainnya di USSR. Terlebih, slogan ini sekarang sudah tidak lagi cocok untuk Ukraina. Setelah runtuhnya USSR, Ukraina – bersama dengan republik-republik soviet lainnya – telah meraih kemerdekaan. Tetapi setelah 10 tahun mendapat berkah kemerdekaan dan kapitalisme, massa di Ukraina sekarang tidak lagi menginginkan mereka. Rakyat telah menarik kesimpulan mereka dari keruntuhan ekonomi dan kebudayaan mengerikan yang merupakan hasil dari keruntuhan Uni Soviet. Sekarang ada mood yang semakin membesar untuk kembali ke Uni Soviet. Tentu saja rakyat Ukraina menginginkan hak-hak demokratik, termasuk otonomi untuk mengurus dapurnya sendiri dan menghormati aspirasi, bahasa dan kebudayaan nasional mereka. Mereka ingin diperlakukan setara, bukan seperti “Rusia Kecil” kelas kedua. Dalam kata lain mereka menginginkan Federasi Sosialis yang sejati, yang berdasarkan prinsip Leninis. Ini juga adalah program kita. Slogan lama “Soviet Ukraina independen” sudah tidak masuk akal. Ini akan membuat kita lebih terbelakang dari rata-rata rakyat Ukraina yang insaf bahwa kemerdekaan tidak memberikan solusi apapun.
Bahkan lebih bodoh lagi adalah usaha untuk mengaplikasikan slogan lama Trotsky secara mekanis ke Kosovo, seperti yang coba dilakukan oleh satu sekte Trotskis. Setelah menemukan sebuah frase dari tulisan Trotsky pada 1930an, mereka mengulang-ulangnya seperti burung beo, tanpa sedikitpun pemahaman mengapa Trotsky mengedepankan slogan tersebut atau apa artinya. Metode dialektik, yang digunakan oleh Lenin dan Trotsky, selalu mulai dari proposisi dasar bahwa “kebenaran selalu konkret”. Kami telah menjelaskan alasan-alasan khusus mengapa Trotsky secara sementara mengedepankan slogan ini, di bawah kondisi yang unik dan hanya di bawah kondisi tersebut. Tetapi Kosovo, setengah abad kemudian, sama sekali tidak sama.
Kami akan menjelaskan di tempat lain posisi kami perihal masalah Kosovo (yang telah kami jelaskan berulang kali sebelumnya). Pembubaran Yugoslavia – seperti halnya pembubaran USSR – adalah sebuah perkembangan yang sepenuhnya reaksioner, yang tidak bisa kita dukung. Dan seperti biasanya di Balkan, di belakang setiap gerakan nasionalis selalu ada negeri-negeri imperialis besar yang bermain. Bagi negeri-negeri besar ini, bangsa-bangsa kecil hanya seperti recehan yang habis pati ampas dibuang. Elemen menentukan dalam persamaan ini adalah manuver imperialisme AS, yang menggunakan bendera NATO. Tentara Pembebasan Kosovo (KLA, Kosovo Liberation Army) adalah sebuah gerakan reaksioner, yang dalam kasus ini memainkan peran agen lokal imperialisme AS. Dalam situasi seperti ini, seperti yang telah kita ulang-ulang sejak awal, peperangan di Kosovo – yang katanya diperjuangkan di bawah panji “kemerdekaan” atau “penentuan nasib sendiri” – hanya dapat berakhir dengan berdirinya protektorat atau negara boneka AS di Kosovo. Dan inilah yang terjadi. Bila ada yang begitu buta hingga tidak bisa melihat ini, kami merasa kasihan pada mereka.
Apa hubungannya ini dengan penentuan nasib sendiri? Bagaimana kegilaan hari ini [Perang Kosovo dan juga perang-perang Yugoslavia lainnya pasca perpecahan Yugoslavia] membantu perjuangan kelas buruh dan sosialisme? KLA, sebuah organisasi gangster, terlibat dalam penyeludupan narkoba, pemalakan uang keamanan dan pembantaian rakyat Serbia, orang Gipsi dan bangsa-bangsa minoritas lainnya. Mereka ingin berkuasa supaya dapat meraih kemerdekaan nantinya. Tetapi ini mustahil. Sebuah Kosovo yang merdeka akan berarti perang di Balkan, yang melibatkan tidak hanya Yugoslavia, tetapi juga Albania, Makedonia, Yunani, Bulgaria dan Turki. Untuk alasan ini imperialisme AS menentang kemerdekaan Kosovo. Tetapi, ada pepatah: “fools rush in where angels fear to tread” (Orang yang bodoh tergesa-gesa ingin menyelesaikan sesuatu yang bahkan dihindari oleh orang yang paling bijak). Apa masalahnya kalau ini menyebabkan peperangan di Balkan? Begitu pikir sang sektarian. Yang penting Kosovo merdeka! Tetapi ada sektarian lainnya yang bahkan lebih gila, yang menambahkan: “Kemerdekaan, ya, tetapi ini harus kemerdekaan yang soviet dan sosialis!”
Sungguh sayang sekali kalau tulisan-tulisan dari orang-orang bodoh ini tidak tersedia untuk para pemimpin NATO, yang jelas butuh hiburan ringan dari waktu ke waktu. Ini pasti akan membuat para jenderal NATO terpingkal-pingkal. KLA bukanlah apa-apa tanpa Amerika di belakangnya. Pada kenyataannya KLA adalah kepanjangan tangan dari pasukan AS dan oleh karenanya tidak punya kemandirian. Hanya dengan bantuan pasukan AS KLA dapat memasuki Kosovo. Dan hanya dengan seizin AS KLA dapat beroperasi. Bila KLA mbalelo, sang majikan akan menghukumnya. Imperialisme sekarang berkuasa di Kosovo, dan akan berkuasa untuk waktu yang lama karena mereka tidak akan begitu mudah menarik mundur pasukannya. Inilah realitas konkret di Kosovo hari ini. Inilah “penentuan nasib sendiri” yang telah diantarkan dengan bom-bom Amerika. Bodoh untuk mengharapkan hal lain. Tetapi masih saja ada orang-orang yang menyebut diri mereka Marxis yang mendukung KLA, dan bahkan menuntutnya. Salah satu dari mereka (seorang “teoretikus Marxis” bila kita percaya) menulis ke Robin Cook, Menteri Luar Negeri Inggris, dan meminta agar NATO membom Yugoslavia. Ya, mereka semua mendukung “penentuan nasib sendiri” dan “kemerdekaan”, dan bahkan “Kosovo sosialis yang independen”. Tetapi sekarang, ketika dihadapkan dengan realitas konkret dari sebuah negara boneka imperialis di Balkan, dimana bangsa yang sebelumnya tertindas sekarang membantai dan menindas bangsa-bangsa minoritas lainnya, apa yang bisa mereka katakan?
Masalah kebangsaan adalah jebakan bagi mereka yang tidak memikirkan segala sesuatunya sampai tuntas. Bila kita tidak memiliki posisi kelas yang tegas, kita hanya akan menggantikan satu penindasan dengan penindasan yang lain. Kosovo membuktikan ini.
Masalah Kebangsaan dan Stalinisme
Lenin menjelaskan bahwa masalah kebangsaan, pada akhirnya, adalah masalah roti. Perkembangan ekonomi USSR yang pesat, yang dimungkinkan oleh nasionalisasi dan ekonomi terencana, menandai peningkatan besar dalam taraf hidup dan tingkat kebudayaan semua rakyat Uni Soviet. Peningkatan terbesar dicapai oleh republik-republik yang paling terbelakang di Kaukasus dan Asia Tengah. Dari 1917 sampai 1956, produksi industri keseluruhan di USSR meningkat lebih dari 30 kali lipat. Tetapi di Kazakhstan meningkat 37 kali, Kirghizia 42 kali, dan Armenia 45 kali. Pertumbuhan yang serupa tercatat di Uzbekistan, Tadzhikistan, dll. Kendati semua pencapaian luar biasa ini, penindasan nasional masih terjadi di Uni Soviet. Kecongkakan kaum birokrasi sungguh tidak ada habisnya. Ini yang mereka tulis misalnya:
“USSR adalah semacam negara multinasional yang tak pernah ada sebelumnya dalam sejarah, yang didirikan di atas prinsip-prinsip kerja sama fraternal dan saling percaya. USSR dimukimi oleh bangsa-bangsa sosialis (?) – Rusia, Ukraina, Georgia, Uzbek, dan lainnya. Mereka adalah bangsa-bangsa tipe baru (?) yang tidak ada paralelnya dalam sejarah. Mereka adalah bangsa-bangsa rakyat pekerja yang bebas dari segala macam penindasan dan eksploitasi. Mereka terikat bersama oleh kesatuan moral dan politik, dan oleh persahabatan sejati dari rakyat yang tengah membangun sebuah masyarakat baru. Bangsa-bangsa ini memiliki susunan moral dan politik yang baru, yang dimanifestasikan dalam sebuah kebudayaan bersama, yang kontennya sosialis dan bentuknya nasional. Mereka telah dididik oleh Partai Komunis dalam semangat patriotisme Soviet, persahabatan antar rakyat dan penghormatan atas hak-hak rakyat lain, dalam semangat internasionalisme.”[16]
Mitos birokrasi yang menyajikan relasi antar bangsa-bangsa di USSR secara idealis tidak sesuai sama sekali dengan realitas sesungguhnya. Di sini bukanlah tempatnya untuk mengkaji perkembangan dan evolusi Uni Soviet setelah kematian Lenin. Para pembaca bisa membaca buku karya Ted Grant, Russia – From Revolution to Counter-revolution, dimana masalah kebangsaan di USSR dianalisis cukup rinci. Sauvinisme buruk rupa dari Stalin dan Birokrasi menggerus solidaritas yang ada di antara rakyat dari beragam bangsa di Uni Soviet, dan dengan demikian membuka jalan bagi pecahnya Uni Soviet [pada 1989-91] yang membawa kesengsaraan bagi semua rakyat. Kita akan kesulitan, dan bahkan mustahil, menjelaskan begitu cepatnya Uni Soviet pecah bila kita menerima propaganda Stalinis bahwa semuanya baik-baik saja. Pada kenyataannya tidak demikian.
Di bawah Stalin, penindasan yang paling mengerikan diderita oleh bangsa-bangsa minoritas di USSR. Pembersihan 1936-38 menyelesaikan apa yang telah dimulai oleh Stalin pada 1922 – likuidasi Partai Bolshevik. Sekitar pertengahan 1937 Stalin meluncurkan pembersihan besar-besaran di semua Partai Komunis republik-republik Uni Soviet. Sejumlah pimpinan Partai-partai Komunis nasional disidang bersama dengan Bukharin pada Maret 1938 di sebuah pengadilan kanguru [yang dikenal dengan nama The Trial of the Twenty One, atau Persidangan Dua Puluh Satu]. Para pemimpin ini dituduh bersalah atas penyimpangan “nasionalisme borjuis” dan dieksekusi. Setelah persidangan ini penangkapan dan deportasi massal diluncurkan. Jumlah persis korban Pembersihan Stalin mungkin tidak akan pernah diketahui, tetapi jelas dalam jumlah jutaan. Orang Ukraina, Armenia dan Georgia tidak akan merasa lebih baik mengetahui kalau orang Rusia juga menjadi korban dari Pembersihan yang sama. Nasionalisme Rusia Stalin yang ekstrem bisa diringkas dalam sebuah pidato yang diterbitkan oleh Pravda pada 25 Mei 1945, dimana dia menyatakan bahwa rakyat Rusia adalah “bangsa yang paling hebat dari semua bangsa di Uni Soviet” dan “kekuatan pemandu” USSR.[17] Ini artinya semua bangsa lainnya adalah bangsa kelas-dua yang harus menerima “panduan” dari Moskow. Konsepsi semacam ini melanggar semangat kebijakan Leninis dalam masalah kebangsaan.
Kejahatan yang paling mengerikan yang dilakukan oleh Stalin adalah deportasi massal terhadap rakyat dari bangsa-bangsa minoritas selama Perang Dunia Kedua. Selama Perang ini, tidak kurang dari tujuh bangsa yang dideportasi ke Siberia dan Asia Sentral di bawah kondisi yang paling tidak manusiawi: rakyat Tartar Krimea, Jerman Volga, Kalmyk, Karachai, Balkar, Ingushi dan Chechen. NKVD, polisi rahasianya Stalin, menciduk semua orang, laki-laki, perempuan, anak-anak, yang tua dan yang pesakitan, kaum Komunis dan aktivis serikat buruh, dan menggiring mereka semua ke truk-truk dengan senapan di tangan. Banyak sekali yang mati di transit atau di tempat tujuan, karena dingin, lapar atau letih. Tentara yang bertempur di garis depan, bahkan mereka-mereka yang telah diberi medali kehormatan, juga ditangkap dan dideportasi. Warisan kepedihan akibat kekejaman, kesewenang-wenangan, dan penindasan nasional ini masih terasa sampai hari ini. Ini terekspresikan dalam pecahnya Uni Soviet dan mimpi buruk di Chechnya.
Upaya untuk me-Rusia-kan rakyat non-Rusia ditunjukkan oleh komposisi dari badan-badan kepemimpinan Partai-partai Komunis di republik-republik USSR. Pada 1952, hanya sekitar setengah dari pejabat tinggi Republik-republik Asia Sentral dan Balik adalah orang lokal. Di tempat lain proporsinya bahkan lebih rendah. Misalnya, di Partai Moldova hanya 24,7 persen adalah orang Moldova, sementara hanya 38 persen rekrut Partai Tadjik adalah orang Tadjik.
Salah satu fitur paling menjijikkan dari Stalinisme adalah antisemitismenya [anti Yahudi]. Partai Bolshevik selalu berjuang melawan antisemitisme. Oleh karenanya kaum Yahudi melihat Revolusi Oktober sebagai keselamatan mereka. Kaum Bolshevik memberi kaum Yahudi kebebasan penuh dan kesetaraan hak. Bahasa dan kebudayaan mereka diberi ruang untuk berkembang. Mereka bahkan membentuk sebuah republik otonomi, supaya orang Yahudi yang menginginkan tanah air yang terpisah boleh memilikinya. Tetapi di bawah Stalin sampah-sampah rasisme lama dibangkitkan kembali. Kaum Yahudi dijadikan kambing hitam lagi. Sejak tahun 1920an Stalin sudah siap menggunakan antisemitisme untuk melawan Trotsky. Karena cukup banyak Bolshevik Tua adalah Yahudi, mereka menderita lebih parah selama Pembersihan. Setelah Perang Dunia Kedua, ada kampanye antisemitisme, yang secara parsial ditutupi dengan kedok “Zionis” atau “kosmopolitan tanpa akar” [sebutan ini mengacu pada kaum intelektual Yahudi yang dianggap tidak patriotik dan dituduh keBarat-baratan], kata-kata yang sebenarnya mengacu pada kaum Yahudi. “Plot Doktor”, dimana pada 1952-53 sejumlah dokter Kremlin dituduh mencoba meracuni Stalin, adalah sinyal untuk kampanye anti-Yahudi. Setelah pendirian negara Israel pada 1948 (yang awalnya didukung oleh Moskow), kebudayaan Yahudi sejak itu direpresi keras. Pada 1952, setahun sebelum meninggalnya Stalin, hampir semua tokoh budaya Yahudi dieksekusi, dan banyak orang Yahudi yang ditangkap. Hanya kematian Stalin yang mencegah dimulainya sebuah Pembersihan yang baru. Bahkan hari ini, elemen antisemitisme masih ditemui di Partai “Komunis”nya Zyuganov [Partai Komunis Federasi Rusia yang dibentuk setelah runtuhnya Uni Soviet, yang dipimpin oleh Gennady Zyuganov]. Ini saja sudah cukup untuk membuktikan adanya jurang dalam yang memisahkan Stalinisme (dan neo-Stalinisme) dari Leninisme sejati.
Hari ini, akhirnya, semua telah berpulang ke tempat yang semestinya. USSR telah runtuh dan terpuruk ke dalam konflik dan peperangan. “Kehidupan itu sendiri adalah guru”, seperti yang gemar dikutip oleh Lenin. Dan kehidupan itu sendiri telah memberi pelajaran yang sangat keras kepada rakyat Uni Soviet. Kegagalan Sosialisme di Satu Negeri telah mengekspos kebangkrutan kaum Birokrasi, yang sekarang sibuk mengubah diri mereka menjadi kelas kapitalis yang baru. Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa dalam epos modern hari ini ekonomi dunia adalah faktor penentu. “Sosialisme di satu negeri” telah terekspos sebagai utopia reaksioner.
Mimpi buruk keruntuhan ekonomi, peperangan dan konflik etnis hari ini di negeri-negeri eks-Soviet adalah warisan buruk dari puluhan tahun kekuasaan birokratik totaliter Moskow. Akan tetapi kapitalisme juga tidak menawarkan jalan keluar bagi republik-republik eks-Soviet. Kemerdekaan formal tidak menyelesaikan satu hal pun bagi mereka. Sebaliknya, terputusnya mata rantai yang menghubungkan mereka semua ke dalam satu rencana produksi bersama telah mengakibatkan runtuhnya perdagangan dan ekonomi, yang menyengsarakan rakyat. Kebanyakan orang jelas akan memilih situasi yang sebelumnya dibandingkan kesengsaraan hari ini. Rekonstruksi USSR akan menjadi langkah yang progresif, tetapi kembali ke sistem birokratik yang lama bukanlah solusi yang akan berkelanjutan. Semua kontradiksi lama akan kembali dan krisis baru akan terulang. Yang diperlukan adalah kembali ke gagasan dan program Lenin dan Trotsky: negara buruh (soviet) yang demokratik dimana rakyat pekerja dari semua Republik dapat mendirikan sebuah Federasi Sosialis yang berdasarkan kesetaraan dan persaudaraan yang sejati, dimana tidak ada satu pun bangsa yang mendominasi bangsa lain.
Kendati semua ini, perspektif transformasi sosialis masih relevan. Kendati keruntuhan yang begitu parah, Rusia sudah bukan lagi negeri tani terbelakang dan buta huruf seperti 1917. Bila kelas buruh merebut kekuasaan ke tangan mereka, prospek untuk bergerak ke arah sosialisme setidaknya ada, walaupun kemenangan akhir hanya bisa dicapai dalam skala dunia. Walaupun begitu, Rusia dan negeri-negeri eks-Soviet memiliki potensi produksi yang besar, dan juga tenaga kerja yang besar dan terdidik, yang merupakan kunci untuk perkembangan teknologi informasi yang baru. Kapitalisme telah menunjukkan ketidakmampuannya untuk menggunakan potensi ini sepenuhnya. Tetapi nasionalisasi dan ekonomi terencana yang demokratik dapat dengan cepat mengubah situasi ini.
Di atas basis ekonomi modern, dimana kelas buruh sekarang adalah mayoritas besar, sebuah rencana produksi sosialis yang demokratik yang dapat mendayagunakan sumber daya alam, manusia dan teknologi yang luar biasa besar dari wilayah yang luas ini dapat memproduksi keberlimpahan, yang dalam waktu yang relatif singkat mampu menghapus semua permusuhan nasional dan perasaan saling curiga. Jalan akan terbuka untuk persaudaraan di antara bangsa-bangsa dalam sebuah Persemakmuran Sosialis yang bebas, dan juga perkembangan kebudayaan manusia. Visi masa depan seperti ini memberikan inspirasi jauh lebih besar dibandingkan utopia nasionalisme yang sempit dan picik.
DAFTAR ISI
Bag 1: Masalah Kebangsaan Dalam Sejarah
Bag 2: Marx dan Engels dan Masalah Kebangsaan
Bag 3: Lenin dan Masalah Kebangsaan
Bag 4: Masalah Kebangsaan Setelah Revolusi Oktober
Catatan Kaki
[1] LCW, The Discussion on Self-determination Summed Up, July 1916, vol. 22.
[2] LCW,The Discussion on Self-determination Summed Up, vol. 22.
[3] Gerakan buruh Finlandia mengalami kekalahan telak dalam Perang Sipil ini (27 Januari -15 Mei 1918), dimana lebih dari 27 ribu kaum revolusioner kehilangan nyawanya (7000 dieksekusi, 12000 mati di penjara, 5200 mati dari peperangan).
[4] Leon Trotsky, “Between Red and White”. 1922.
[5] LCW, The Right of Nations to Self-determination, February-May 1914, vol. 20, our emphasis.
[6] Ibid.
[7] Lenin, Questions of National Policy and Proletarian Internationalism, hal. 223.
[8] See Buranov, Lenin’s Will, hal. 46.
[9] LCW, The Question of Nationalities or ‘autonomization‘, 13 December 1922, vol. 36, hal. 606.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hal. 605, penekanan kami.
[12] Christian Rakovsky, Selected Writings, hal. 24.
[13] Ibid., hal. 33.
[14] Trotsky,Writings, 1939-40, hal. 90.
[15] Trotsky, Writings, 1939-40, hal. 86.
[16] Introduction to Lenin’s Questions of National Policy and Proletarian Internationalism, hal. 11.
[17] Stalin, Toast to the Russian People at a Reception in Honour of Red Army Commanders Given by the Soviet Government in the Kremlin on Thursday, May 24, 1945