Dalam periode klasik revolusi borjuis di Eropa, yaitu kira-kira dari 1780 hingga 1871, pembentukan negara-bangsa memainkan peran yang relatif progresif dalam mendobrak partikularisme lokal, menghancurkan feodalisme dan meletakkan fondasi untuk perkembangan kekuatan produktif di atas pasar nasional. Tetapi dalam epos hari ini, situasi telah berubah sepenuhnya. Alat-alat produksi telah sejak lama melampaui batas-batas sempit negara-bangsa. Hari ini negara-bangsa sudah tidak lagi memainkan peran progresif. Alih-alih mengembangkan alat-alat produksi, negara-bangsa justru menjadi rintangan terbesar untuknya. Ini secara implisit diakui oleh kaum borjuasi sendiri. Pembentukan Uni Eropa adalah pengakuan dari kaum borjuasi Eropa bahwa negara-negara kecil Eropa bila sendirian tidak akan bisa menandingi dua raksasa besar di dunia: Amerika Serikat dan Uni Soviet. Tetapi pembentukan Uni Eropa tidak menghapus negara-bangsa di Eropa. Sebaliknya, antagonisme nasional yang lama terus berlanjut. Dan secara efektif imperialisme Jerman hari ini mendominasi Eropa dengan Prancis sebagai partner kelas dua. Antagonisme nasional masih eksis dan akan menjadi lebih intensif dengan krisis ekonomi dunia.
Para apologis kapitalisme gemar menyajikan gambaran yang berbunga-bunga mengenai apa-yang-disebut globalisasi, sebuah dunia yang bebas dari kontradiksi, yang melangkah dengan tenang ke alam kebebasan dan liberalisasi yang kian besar. Tetapi pada kenyataannya tidak demikian. Dunia tidak terglobalisasi seperti yang mereka gambarkan. Sebaliknya, dunia ini terpecah menjadi tiga blok imperialis yang saling bersaing. AS mengontrol Kanada dan Amerika Latin. Di Asia Jepang mendominasi. Uni Eropa, yang didominasi oleh Jerman, menguasai sebagian besar koloni di Afrika, Timur Tengah, Eropa Timur dan Karibia. Antagonisme antara ketiga blok imperialis ini sangatlah akut, dan bila kita hidup di jaman yang berbeda ini sudah berarti perang. Hari ini perang dunia kemungkinan sangat kecil meledak, karena adanya senjata pemusnah massal (nuklir, senjata kimia, senjata biologi) yang berarti risiko kehancuran bersama. Tetapi ini tidak berarti tidak ada peperangan untuk memperebutkan pasar. Perseteruan untuk memenangkan pengaruh, pasar dan akses ke sumber daya mineral bertanggung jawab atas epidemi perang yang katastropik di Afrika Tengah. Perang-perang di Afrika biasanya digambarkan sebagai hasil dari barbarisme dan tribalisme rakyat Afrika, tetapi sesungguhnya di belakang konflik-konflik bersenjata di Afrika adalah kepentingan AS, Prancis dan Inggris untuk menancapkan kukunya, dengan menggunakan kacung-kacung mereka di satu sisi atau lainnya.
Dunia yang digambarkan dalam karya Lenin Imperialisme adalah cermin yang cukup akurat dari situasi dunia hari ini. Ada kompetisi yang sengit di antara kekuatan-kekuatan imperialis untuk memperebutkan pasar, bahkan pasar yang paling kecil sekalipun. Ini sangat jauh dari gambaran berbunga-bunga sebuah dunia yang damai dan terglobalisasi, dimana semua kontradiksi telah diselesaikan. Pada kenyataannya kekuatan-kekuatan imperialis seperti segerombolan anjing liar yang berebutan tulang. Kita hanya perlu melihat peta Afrika untuk memahami bagaimana imperialisme mendistorsi secara brutal kehidupan dan evolusi jutaan manusia. Di Afrika perbatasan negara adalah garis lurus yang dipatok di peta dengan bantuan penggaris. Majalah Economist memberikan deskripsi yang cukup akurat mengenai apa yang sebenarnya terjadi: “Para birokrat Eropa dengan seenaknya mengelompokkan 10.000 suku dan bangsa ke dalam beberapa lusin negara koloni.” Peperangan yang hari ini berlangsung di Afrika Tengah adalah warisan dari pemecah-belahan mengerikan ini, yang melanggar semua divisi geografis alami, linguistik dan kesukuan. Horor tanpa akhir dan barbarisme merajalela di seluruh benua ini, di Kongo, Rwanda, Burundi, Sierra Leone, dsb. Di sebuah artikel majalah Economist yang berbicara mengenai perang di Sierra Leone: “Anak membunuh orang tuanya, geng-geng kanibal berkeliaran di pedesaan, kekacauan berkuasa, barbarisme menyebar, Sierra Leone adalah satu lagi negeri Afrika yang terpuruk ke chaos yang berdarah-darah. Dan konsekuensinya akan teramat buruk.”
Pemecah belahan Afrika adalah tindakan yang brutal dan kejam. Tetapi sekarang, lebih dari seratus tahun kemudian, serangkaian bangsa telah terbentuk di Afrika. Tugas untuk memberikan karakter yang sepenuhnya demokratik, nasional dan progresif ke berbagai bangsa Afrika post-kolonial adalah tugas yang hanya bisa diemban oleh kelas proletariat setelah mereka berhasil menumbangkan dominasi imperialisme dan kacung-kacung domestik mereka. Kemerdekaan yang sejati dan kemampuan untuk berdiri di atas kaki sendiri untuk melawan semua usaha dominasi asing hanya dapat tercapai dengan menyatukan Afrika yang terpecah belah ini di atas basis rencana produksi sosialis bersama. Dengan bersama-sama mendayagunakan sumber daya alam benua Afrika yang luar biasa besar, potensi agrikulturalnya yang besar dan sumber daya mineralnya, kita akan dapat mentransformasi kehidupan rakyat dan dengan demikian mengakhiri mimpi buruk konflik kesukuan dan etnik yang merajalela di Afrika. Sebaliknya, usaha mereformasi situasi yang ada di atas basis kapitalisme, untuk mengubah perbatasan yang ada lewat perang, hanya akan memperparah situasi dan bahkan mendorong Afrika ke barbarisme. Mengajukan perspektif ke hadapan jutaan rakyat bahwa kita akan bisa menyelesaikan masalah-masalah mendesak yang mereka hadapi dengan mengubah garis perbatasan adalah dusta yang paling keji.
Tidak ada tempat lain selain Afrika dimana penyalahgunaan slogan penentuan nasib sendiri memiliki karakter yang begitu reaksioner. Slogan penentuan nasib sendiri di Afrika telah berulang kali dimanipulasi untuk tujuan-tujuan reaksioner, untuk melemahkan negara-negara tertentu dengan memecah provinsi yang kaya dengan tambang-tambang mineral, yang lalu dapat lebih mudah didominasi oleh kekuasaan asing dan perusahaan multinasional raksasa. Di setiap kasus kita temui campur tangan imperialis. Ada pertarungan besar antara imperialisme AS dan Prancis untuk memperebutkan pasar Afrika. Dan sang anjing pudel kecil Inggris mencoba mengikuti jejak serigala-serigala besar ini, dengan mencoba terlibat di Sierra Leone, tetapi seperti yang sudah bisa diramalkan Inggris gagal total.
Kendati semua celoteh mereka mengenai liberalisasi dan demokrasi, pada kenyataannya imperialisme sedang menindas dan mengeksploitasi secara membabi buta rakyat negeri-negeri eks-kolonial. Harga bahan mentah yang rendah telah menjadi komponen penting bagi pertumbuhan ekonomi di Barat selama 50 tahun terakhir. Ini sendiri menunjukkan limit dari negara-bangsa. Di atas basis kapitalisme, pencapaian kemerdekaan formal – yang dalam dirinya sendiri adalah perkembangan yang progresif – tidak dapat menyelesaikan apapun. Negeri-negeri eks-kolonial ini, walaupun di atas kertas adalah tuan di tanahnya sendiri, pada praktiknya tunduk pada pasar dunia, atau dalam kata lain imperialisme.
Setelah Perang Dunia II kita saksikan gelombang besar revolusi kolonial. Ini mungkin adalah gerakan rakyat tertindas yang terbesar dalam sejarah manusia. Ada kebangkitan besar rakyat kolonial, di Tiongkok, Afrika, Timur Tengah, Indonesia, India, Pakistan. Ini adalah gerakan yang penuh inspirasi, dimana jutaan budak kolonial bangkit berdiri melawan tuan mereka, berjuang untuk emansipasi nasional mereka. Semua kaum Marxis mendukung revolusi kolonial dan alasannya jelas. Ini adalah sebuah gerakan revolusioner, sebuah pukulan terhadap imperialisme. Gerakan ini membangkitkan massa dan mendorong maju perjuangan kelas. Namun 50 tahun kemudian, bila kita ambil contoh India dan Pakistan saja, apa yang telah dituntaskan oleh kaum borjuasi India dan Pakistan? Mereka mendapatkan kemerdekaan formal, tetapi di bawah kapitalisme kemerdekaan ini ternyata bukan kemerdekaan sama sekali. Negeri-negeri eks-kolonial dikekang oleh rantai Imperialisme Dunia melalui mekanisme pasar dunia. Pada kenyataannya mereka lebih terbudaki sekarang dibandingkan 50 tahun yang lalu. Satu-satunya perbedaan adalah mereka sekarang ditindas bukan lagi oleh rejim militer dan birokratik tetapi oleh kekuasaan yang tidak langsung, yakni lewat perjanjian-perjanjian dagang – yang tidak adil – dan melalui hutang.
Anjloknya Harga Komoditas dan Masalah Hutang
Kejatuhan ekonomi di Asia menemukan refleksinya di pasar dunia dalam jatuhnya harga komoditas termasuk minyak bumi. Selama 1998 saja, harga minyak jatuh dari $20 per barel ke kurang dari $10 per barel. Ini adalah resep jadi untuk revolusi di setiap negeri produsen minyak. Benar kalau harga minyak telah pulih setelah Arab Saudi dan negeri-negeri produsen minyak lainnya setuju untuk memangkas produksi. Tetapi efeknya tidak akan bertahan lama karena kebanyakan negeri-negeri ini sepenuhnya mengandalkan minyak bumi untuk pendapatan luar negeri mereka. Mereka tidak punya sumber pendapatan lain. Seluruh sejarah kartel menunjukkan bahwa cepat atau lambat satu negeri akan mencoba mendapatkan keuntungan dengan menjual lebih banyak minyak, dan seluruh kartel ini akan ambruk. [Seperti yang telah terbukti pada krisis minyak 2015 ketika harga minyak anjlok dari $100 ke $40 per barel dan Arab Saudi menolak untuk memangkas produksi, bertentangan dengan negeri-negeri OPEC lainnya seperti Venezuela dan Aljazair yang ingin memangkasnya agar hanya minyak naik kembali.] Hal yang sama berlalu juga untuk semua bahan mentah lainnya.
Negeri-negeri eks-kolonial menderita eksploitasi ganda. Lewat mekanisme hutang negeri-negeri imperialis memeras rakyat kolonial. Sepuluh tahun yang lalu [1990] total hutang Dunia Kolonial kira-kira 800 miliar dolar. Semua itu sebenarnya telah dibayar lunas. Dari 1990 hingga 1997, hanya untuk membayar bunganya saja Dunia Kolonial membayar 1,8 triliun dolar. Ini lebih dari dua kali total hutang. Dan bagaimana dengan total hutang ini? Pada 1994 jumlahnya 1,4 triliun dolar, dan pada 1997 2,1 triliun dolar.[1] Ini tidak akan pernah bisa dilunasi.
Di Nigeria minyak adalah 95 persen dari pendapatan luar negeri. Pada 1997 Nigeria meraup 12 miliar dolar dari penjualan minyak. Pada 1998 ini berkurang menjadi 6,8 miliar. Ambruknya pendapatan ini tidak dikompensasi oleh kenaikan harga minyak. Ketidakstabilan akibat dari gejolak harga minyak ini terefleksikan juga dalam tumbuhnya ketidakstabilan sosial dan politik. Lapisan rakyat termiskin tidak mendapatkan keuntungan apapun dari kenaikan harga minyak, tetapi menderita konsekuensi terburuknya ketika harga minyak anjlok. Nigeria, yang sebelumnya adalah salah satu negeri terkaya di Afrika, hari ini adalah salah satu negeri termiskin di dunia, menurut studi dari PBB. Situasi ini menghasilkan konsekuensi-konsekuensi sosial yang buruk, yang menemukan ekspresi mereka yang paling akut dalam tumbuhnya antagonisme antar provinsi, wilayah dan etnik.
Bila buruh tidak berhasil merebut kekuasaan dan mentransformasi Nigeria seturut garis sosialis, maka mimpi buruk akan menghampiri Nigeria. Setidaknya ada 120 suku di Nigeria, termasuk tiga bangsa utama: Hausa di Utara yang dominan, yang beragama Islam dan telah lama mendominasi pemerintah dan menindas dua bangsa lainnya, Yoruba dan Ibo di bagian Selatan dan Timur. Peperangan Biafra, dimana kaum imperialis terlibat dengan maksud memecah wilayah Ibo, telah berakhir dengan banjir darah. Bila Nigeria dipecah seturut garis kebangsaan kita akan saksikan pembantaian yang bahkan lebih mengerikan, yang akan membuat Perang Biafra tampak tidak signifikan. Di bawah situasi ini, bila kita mengajukan tuntutan penentuan nasib sendiri tidak hanya untuk bangsa-bangsa utama di Nigeria tetapi juga suku-suku, ini adalah kebodohan yang tidak bertanggung jawab, dan ini telah dilakukan oleh salah satu sekte Kiri.
Di Indonesia masalah kebangsaan juga sangatlah penting dan kaum Marxis Indonesia harus mengambil posisi yang tepat. Bila kaum proletariat Indonesia tidak berhasil menunjukkan jalan ke depan melalui revolusi sosialis, perpecahan Indonesia akan menjadi kemungkinan yang riil. Mengingat keberagaman suku dan agama di Indonesia, konsekuensi dari pecahnya Indonesia akan terlalu parah untuk dibayangkan. Pertumpahan darah di Timor Timur adalah peringatan bagi semua rakyat Indonesia. Hari ini kita saksikan konflik antar etnis di Aceh, Maluku dan pulau-pulau lainnya. Kekuatan reaksi dari militer, tua tanah, kapitalis, dan elemen-elemen rejim lama (Orde Baru) tidak akan ragu-ragu mendorong Indonesia ke kekacauan dan pertumpahan darah untuk menjaga kekuasaan dan privilese mereka, dan mereka lakukan ini untuk memecah belah rakyat dan gerakan. Jalan keluar dari kebuntuan ini hanya bisa ditemui dengan memadukan secara pandai program yang mengakui hak dan aspirasi dari semua bangsa dan suku di Indonesia dengan program yang menyatukan buruh dan tani miskin dari semua bangsa dan agama untuk menyita kekayaan kaum tuan tanah dan kapitalis,
Revolusi Kolonial Hari Ini
Alasan mengapa revolusi kolonial mengambil bentuk yang terdistorsi, dengan aberasi buruk seperti Bonapartisme proletarian, adalah karena terlambatnya revolusi proletariat di Barat di satu sisi dan absennya partai Marxis yang kuat di sisi lain. Bila partai Marxis yang kuat eksis, sangatlah mungkin untuk memenangkan revolusi sosialis. Bukankah Rusia pada 1917 juga adalah negeri yang sangatlah terbelakang, sebuah negeri yang semi-feodal dan semi-kolonial, dan pada saat yang sama juga adalah kekuatan imperialis. Rusia pada saat itu memiliki populasi 150 juta, dan dari situ hanya 3,5 juta buruh industri, 10 juta bila kita ikut sertakan seluruh kelas buruh (transportasi, tambang, dsb.) Meskipun demikian Lenin mendasarkan dirinya pada kelas buruh dan meluncurkan revolusi sosialis di Rusia.
Tidak ada keraguan sama sekali kalau ada partai Marxis yang kuat yang dibangun di negeri-negeri seperti Pakistan atau Meksiko maka gerakan tidak akan terperosok ke gerilya-isme atau Bonapartisme proletarian. Perang tani di negeri-negeri kurang berkembang harus menjadi bagian dari revolusi proletariat dan tidak bisa memainkan peran utama. Akan tetapi massa rakyat di negeri-negeri kurang berkembang tidak bisa menunggu sampai partai massa revolusioner dibentuk, atau sampai buruh Inggris dan Prancis merebut kekuasaan. Oleh karenanya ledakan-ledakan kekerasan, pemberontakan, dan bahkan perang gerilya, seperti yang kita lihat di Kolombia, adalah hal yang niscaya di epos hari ini. Dengan absennya Partai Bolshevik maka revolusi kolonial dapat mengambil segala bentuk yang unik. Jelas kalau kaum Marxis akan mendukung setiap gerakan rakyat tertindas melawan imperialisme, terutama ketika gerakan ini mengarah ke penghapusan feodalisme dan kapitalisme. Tetapi satu-satunya cara rakyat kolonial akan mampu menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi adalah dengan pembentukan sistem soviet seperti di Rusia pada 1917 di bawah kepemimpinan Lenin dan Trotsky. Di bawah kapitalisme tidak ada jalan keluar. Kelas buruh harus merebut kekuasaan ke tangannya sendiri. Dengan menasionalisasi alat-alat produksi, di bawah kontrol demokratik dan administrasi kelas buruh, rakyat pekerja bisa segera memulai menyelesaikan masalah-masalah paling mendesak yang diderita oleh masyarakat.
Akan tetapi di bawah kondisi-kondisi modern hari ini, ini saja tidak memadai. Sebuah kebijakan internasionalis adalah prasyarat yang fundamental. Nasionalisme tidak dapat menawarkan jalan keluar. Misalnya, jika buruh dan tani Ekuador merebut kekuasaan – dan ini adalah prospek yang sepenuhnya mungkin terjadi, seperti yang kita saksikan di gerakan pada Januari kemarin[2] – imperialisme AS tidak akan duduk diam saja. AS tidak bermaksud terlibat langsung dengan meluncurkan peperangan di Amerika Latin (atau manapun) karena khawatir ini akan mempengaruhi situasi dalam negeri mereka. Tetapi AS jelas akan melakukan apapun untuk menyabot dan mengandaskan revolusi. Mereka akan mengorganisir blokade ekonomi dan mendukung kekuatan-kekuatan kontra-revolusioner di Ekuador, dan juga mendorong negeri-negeri tetangga lainnya untuk mengintervensi. Sudah pernah terjadi perang antara Ekuador dan Peru beberapa tahun belakangan ini. Imperialisme AS tidak akan ragu-ragu mendorong Fujimori – presiden Peru saat itu – untuk meluncurkan konflik bersenjata melawan revolusi di Ekuador, bila ini diperlukan.
Kunci keberhasilannya oleh karenanya adalah kebijakan yang tepat. Ini mensyaratkan sebuah kepemimpinan Bolshevik, yang berdiri teguh di atas basis internasionalisme proletariat. Bapa sosialisme Ilmiah sudah menulisnya di Manifesto Komunis, bahwa walaupun dalam bentuknya nasional revolusi proletariat selalu internasional dalam esensinya. Ini berarti bahwa, walaupun buruh dari sebuah negeri tertentu dapat dan harus pertama-tama berhadapan dengan borjuasinya sendiri, mereka tidak dapat membatasi dirinya hanya pada revolusi nasional semata. Mereka harus mengambil langkah untuk menyebar revolusi di luar perbatasan mereka, kalau tidak mereka akan kalah dan remuk. Untuk alasan itu nasionalisme dan revolusi sosialis adalah dua konsep yang secara diametrikal bertentangan dan tidak terdamaikan.
Misalnya, satu-satunya cara revolusi di Ekuador dapat menghadapi musuh-musuhnya adalah dengan segera mengeluarkan seruan pada buruh dan tani Peru, Venezuela, Kolombia dan seluruh Amerika Latin untuk membantunya. Rakyat pekerja Amerika Latin akan mendengarkan seruan ini! Seluruh Amerika Latin ada dalam krisis yang dalam. Ini adalah ekspresi paling jelas dari karakter reaksioner kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi dan negara-bangsa. Revolusi di satu negeri di Amerika Latin cenderung akan menyebar [seperti yang lalu ditunjukkan oleh Revolusi Bolivarian di Venezuela beberapa tahun kemudian – Ed.]. Proses revolusi ini akan terdorong lebih maju bila disertai kebijakan internasionalis yang sadar. Pada kenyataannya, negara-bangsa di Amerika Latin memiliki karakter artifisial. Dengan meneruskan perpecahan rakyat Amerika Latin yang memiliki sejarah, kebudayaan dan bahasa bersama (kecuali Brasil dengan bahasa Portugis), ini akan melanjutkan Balkanisasi Amerika Latin, yang memungkinkan para perampok imperialis memperbudak jutaan rakyat Amerika Latin dan menjarah benua yang kayak ini.
Dulu kala Simon Bolivar memajukan perspektif persatuan Amerika Latin. Namun di atas basis kapitalisme gagasan penyatuan Amerika Latin akan tetap menjadi mimpi yang tidak akan kesampaian. Tetapi di atas basis kekuasaan buruh, maka pembentukan sebuah Federasi Sosialis Amerika Latin akan menghimpun semua sumber daya benua ini untuk kepentingan seluruh rakyat. Ini, pada gilirannya, akan membangkitkan semangat perlawanan buruh Amerika Utara, dimana 20 persen populasi AS hari ini adalah Hispanik. Dengan demikian, ini akan menyiapkan landasan untuk kemenangan sosialisme di Amerika Utara dan Selatan, dan seluruh dunia.
Masalah Palestina
Masalah kebangsaan adalah masalah yang krusial di Timur Tengah, terutama Palestina. Setelah puluhan tahun penindasan nasional oleh imperialis Israel, massa Palestina menginginkan tanah air mereka kembali. Ini adalah hak fundamental rakyat Palestina, yang akan didukung dan diperjuangkan oleh kaum Marxis. Namun pengalaman 30 tahun terakhir memberi kita sejumlah pelajaran berharga. Para pemimpin nasionalis borjuis kecil PLO (Palestine Liberation Organization, Organisasi Pembebasan Palestina) percaya kalau mereka bisa mencapai kemerdekaan dengan apa yang mereka sebut perjuangan bersenjata melawan Israel. Tetapi pada praktiknya perjuangan bersenjata ini adalah terorisme individual, pemboman, penculikan, pembajakan pesawat terbang, dsb. Aksi-aksi ini sama sekali tidak melemahkan Israel. Sebaliknya, aksi-aksi ini meyakinkan rakyat pekerja Israel kalau maksud dari aksi-aksi ini adalah “mendorong kaum Yahudi ke laut”, dan dengan demikian ini mendorong populasi Israel ke pelukan kaum reaksioner. Jauh dari melemahkan negara Israel, ini justru memperkuatnya.[3]
Taktik-taktik para pemimpin PLO (seperti Yasser Arafat – Ed.) telah mengakibatkan kekalahan demi kekalahan bagi rakyat Palestina. Pertama, mereka diremukkan oleh Raja Hussein di Yordania pada 1970, walaupun mereka sebenarnya bisa dengan mudah merebut kekuasaan di negeri tersebut. Lalu mereka mengulang cerita yang sama di Lebanon, dan membantu memprovokasi perang sipil serta intervensi Israel dan Suriah. Dan sementara mereka terus menggunakan taktik terorisme individual, mereka tidak punya strategi untuk pemberontakan massa di Tepi Barat. Ketika Intifada akhirnya meledak [pada 1987][4], Arafat dan kepemimpinan PLO tidak memainkan peran di dalamnya sama sekali. Kaum muda Palestina harus melawan militer Israel hanya dengan bersenjatakan kayu dan batu. Kendati demikian gerakan massa di Tepi Barat ini dalam waktu hanya beberapa bulan saja berhasil memajukan perjuangan Palestina jauh lebih daripada apa yang dicapai oleh Arafat dan kawan-kawannya selama 30 tahun terakhir.
“Konsesi-konsesi” yang ditawarkan oleh Israel bukan didapat oleh para eksil PLO, tetapi dari aksi Intifada, yang mengguncang seluruh Israel dan mendapat simpati dari seluruh dunia. Ini juga adalah refleksi dari situasi dunia yang baru. Sejak runtuhnya Stalinisme, perimbangan kekuatan dunia telah berubah. AS mendominasi seluruh dunia. Ini berarti AS tidak perlu lagi terlalu bergantung pada Israel seperti dulu kala saat Perang Dingin. Imperialisme AS memiliki kepentingan ekonomi dan strategis yang vital di Timur Tengah, yang berarti mereka punya kepentingan menopang rejim-rejim Arab seperti Arab Saudi dan mempertahankan kestabilan di wilayah tersebut. Oleh karenanya Washington menekan rejim Israel untuk berkompromi dengan Palestina dan negeri-negeri Arab di sekitarnya. Dan Arafat berjingkrak-jingkrak kegirangan dengan konsesi ini. Setelah gagal puluhan tahun untuk memajukan perjuangan Palestina, para pemimpin PLO begitu tamak untuk menerima “posisi pemerintah” yang telah dimenangkan oleh rakyat.[5] Apa yang mereka terima adalah pengkhianatan terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina.
Washington ingin menjaga kestabilan di wilayah tersebut dengan memaksakan kompromi. Namun masalah kebangsaan adalah situasi yang kompleks, penuh gejolak dan meledak-ledak, yang tidak bisa begitu saja diredam oleh imperialisme sekehendak hatinya. Sepertinya halnya imperialisme Inggris menciptakan monster Frankenstein di Irlandia Utara, yang sekarang sudah tidak bisa lagi dikendalikan olehnya, begitu juga imperialisme AS menemukan bahwa setelah membantu mendirikan sebuah negeri klien Israel, sang boneka tidak selalu menuruti sang dalang. Kelas penguasa Israel punya kepentingan mereka sendiri, yang tidak selalu sama dengan kepentingan AS. Maka dari itu Perjanjian Perdamaian di Timur Tengah ada dalam kesulitan yang serius. Tidak ada satupun masalah fundamental yang terselesaikan.
Seperti yang telah diprediksi kaum Marxis, perjanjian yang ditandatangani oleh Arafat dengan rejim Israel adalah perangkap bagi rakyat Palestina. Ini bukanlah kemerdekaan tetapi hanya karikatur buruk dan penipuan. Entitas Palestina yang baru ini adalah aborsi yang cacat, dengan Gaza terpisah dari Tepi Barat dan Yerusalem masih di bawah kendali penuh Israel. Ada banyak pasal-pasal tambahan dalam perjanjian tersebut yang memalukan bagi rakyat Palestina. Lebih parah lagi, sejumlah besar pemukiman Yahudi dibiarkan tetap berdiri dan terus memprovokasi rakyat Palestina. Apa yang disebut Palestinian Authority (Otoritas Palestina) pada kenyataannya adalah alatnya Israel untuk terus mendominasi. Kondisi rakyat di Tepi Barat dan Jalur Gaza semakin parah, dengan pengangguran massal terutama di antara kaum muda. Israel bisa kapan saja menutup perbatasan dan dengan demikian merampok mata pencaharian rakyat Palestina yang bekerja di Israel. Arafat dan konco-konconya telah mengubah diri mereka menjadi elite birokratik dengan privilese-privilese, yang berperan sebagai polisi untuk Tel Aviv, sementara mengisi pundi-pundi mereka di atas penderitaan rakyat Palestina.
Perjanjian yang dibroker oleh Washington ini, dan yang disambut dengan meriah, sekarang mengalami keretakan. Dengan jatuhnya Netanyahu dan terpilihnya Partai Buruh Israel [pada 1992], AS berharap bahwa akhirnya mereka akan berhasil memaksakan agenda. Tetapi tekanan dari pemukim Yahudi, seperti yang kita prediksi, menciptakan krisis demi krisis. Pemerintah Israel, setelah gagal bernegosiasi dengan Palestina, mencoba bernegosiasi dengan Suriah mengenai masalah Dataran Tinggi Golan[6]. Tetapi segera setelah masalah mengembalikan Dataran Tinggi Golan dibicarakan, ada demonstrasi-demonstrasi besar menentang ini. Negosiasi dengan Suriah gagal, yang mengakibatkan benturan baru di Lebanon Selatan.
Kekecewaan rakyat di Gaza dan Tepi Barat semakin hari kian besar, dan ini dapat meledak menjadi Intifada yang baru. Sebuah Intifada yang baru akan mengandung potensi revolusioner, hanya dengan satu syarat: keberadaan kepemimpinan revolusioner yang tegas yang memiliki program internasionalis. Di atas basis nasionalisme tidak akan ada solusi. Sebuah kepemimpinan yang mampu melihat jauh ke depan akan berjuang untuk menghubungkan gerakan revolusioner rakyat Palestina dengan gerakan kelas buruh Israel. Kepemimpinan ini akan menjelaskan bahwa musuh bersama rakyat pekerja Arab dan Israel adalah kaum bankir dan kapitalis Israel. Kepemimpinan ini akan memperjelas bahwa gerakan revolusioner Palestina tidak diarahkan untuk melawan rakyat jelata Israel. Kepemimpinan ini akan secara sistematis mencari dan membangun titik-titik dukungan dalam masyarakat Israel: di antara pelajar dan kaum muda progresif, di pabrik-pabrik, dan di barak-barak. Gagasan utama yang diajukan adalah transformasi masyarakat secara menyeluruh, tidak hanya di Palestina tetapi juga di Israel, sebagai satu-satunya jalan keluar dari kebuntuan.
Nasib rakyat Palestina adalah tragedi buruk. Sudah lebih dari 30 tahun rakyat Palestina berjuang untuk kemerdekaan mereka dan apa yang telah dicapai di atas basis nasionalisme? Bencana dan pengkhianatan penuh. Pelajarannya jelas dan harus dipelajari: masalah kebangsaan Palestina tidak bisa diselesaikan di atas basis kapitalis. Satu-satunya cara untuk menyelesaikan problem ini adalah dengan metode revolusioner, dengan revolusi sosialis di Israel dan negeri-negeri Arab sekitar, dimulai dengan Yordania, dimana PLO sebenarnya bisa merebut kekuasaan 30 tahun yang lalu bila saja para pemimpin PLO tidak berkhianat. Satu-satunya solusi adalah pendirian Federasi Sosialis Timur Tengah dengan otonomi penuh bagi rakyat Palestina dan juga bagi rakyat Israel.
Kaum sinis borjuis kecil akan mengatakan bahwa semua ini tidaklah “praktis”. Tetapi kita tidak kekurangan solusi-solusi “praktis” yang ditawarkan oleh tuan nyonya terpelajar ini selama 30 tahun terakhir? Tidak hanya di Timur Tengah saja. Dimana-mana, tanpa pengecualian, kebijakan-kebijakan “praktis” ini – yang berakhir dengan kegilaan terorisme individual dan kebodohan nasional – telah mengantar kita ke bencana dan pengkhianatan, seperti kapitulasi para pemimpin nasionalis Kurdi PKK (Partai Buruh Kurdi), pengkhianatan Mandela dan Mbeki terhadap aspirasi kaum proletariat kulit hitam di Afrika Selatan. Lenin sungguh benar ketika dia mengecam kebijakan “praktis” kaum nasionalis. Satu-satunya jalan keluar bagi rakyat Palestina adalah melalui kebijakan kelas yang revolusioner dan internasionalis. Solusi lainnya hanya akan membawa bencana baru. Satu-satunya program yang sungguh praktis adalah program revolusi sosialis.
Penentuan nasib sendiri sebagai slogan reaksioner
Marxisme tidak sama dengan pasifisme. Kita tidak menentang semua perang secara prinsipil, dan mengakui bahwa ada perang yang progresif. Tetapi “semua yang berkilau bukanlah emas”. Dan tidak semua perang yang dikobarkan di bawah panji penentuan nasib sendiri adalah perang yang progresif. Di setiap kasus kaum Marxis harus memeriksa konten kelas dari sebuah perang, atau perjuangan nasional, dan menentukan kepentingan apa di belakangnya dan apa implikasinya untuk kelas buruh dan perjuangan sosialisme dunia. Hanya dengan demikian maka kita bisa menentukan sikap kita terhadap sebuah perang, apakah ini progresif atau reaksioner, dan mengambil posisi.
Selama Perang Saudara Amerika 1861-65[7], apakah tepat untuk mendukung kubu Konfederasi (Selatan) dengan dalih hak penentuan nasib sendiri? Pertanyaan ini menjawab dirinya sendiri. Di bawah kondisi-kondisi tertentu, perjuangan untuk mempertahankan Amerika Serikat (Utara) memiliki karakter yang progresif dan semi-revolusioner. Dengan memaksakan kehendaknya pada Selatan, kubu Utara jelas-jelas melanggar hak Selatan untuk menentukan nasibnya sendiri dengan bebas. Tetapi pertimbangan ini sepenuhnya sekunder ketika dibandingkan dengan isu yang fundamental, yakni isu kelas. Siapa yang berdiri di belakang tuntutan penentuan nasib sendiri? Para pemilik budak di Selatan. Kelas buruh harus mendukung Utara karena mempertahankan keutuhan Amerika Serikat akan mendorong perkembangan kapitalisme lebih lanjut dan dengan demikian mendorong perkembangan proletariat. Pembebasan para budak hitam adalah langkah yang diperlukan dan progresif untuk mengarah ke sana. Ini jelas dan tidak ada orang yang waras yang akan membantahnya. Ada banyak kasus lainnya dimana tuntutan penentuan nasib sendiri diajukan untuk kepentingan yang sepenuhnya reaksioner, dan harus ditolak dengan tegas. Misalnya, tuntutan Liga Utara di Italia untuk punya hak pecah dan membentuk negara terpisah adalah tuntutan yang jelas-jelas reaksioner.
Contoh-contoh ini cukup untuk menegaskan fakta bahwa aspirasi nasional dan hak penentuan nasib sendiri bukanlah, dan tidak boleh menjadi, sesuatu yang absolut. Tuntutan ini, dalam konteks sejarah tertentu, dapat memiliki karakter progresif. Tetapi tuntutan yang sama dalam konteks sejarah yang berbeda dapat menjadi sepenuhnya reaksioner dan terbelakang. Kita harus memeriksa konten konkret dari setiap kasus, menentukan kepentingan-kepentingan kelas yang terlibat, dan menganalisis apa pengaruh dari sebuah gerakan tertentu terhadap kepentingan umum kelas buruh dan perjuangan sosialisme dalam skala internasional. Walaupun masalah kebangsaan sangatlah rumit, biasanya cukup kita ajukan masalah ini secara konkret untuk bisa tiba pada posisi yang tepat. Pada 1991, awal runtuhnya Yugoslavia, penulis dokumen ini berdebat dengan sejumlah orang yang mengaku Marxis, dimana seorang sektarian lalu menginterupsi Ted Grant dengan sahutan dari belakang: “Apa posisimu mengenai penentuan nasib sendiri untuk Kroasia?” Ted dengan mudah menjawabnya: “Apa maksudmu? Maksudmu, apakah kita mendukung Ushtasi [kaum fasis Serbia] atau Chetnik [kaum fasis Kroasia]?” Sang sektarian itu langsung diam.
Siapapun yang memahami sejarah perang dan diplomasi (kedua hal ini berkait kelindan) akan tahu bahwa kita harus menepis kabut dusta yang ditebar oleh kedua pihak yang berperang untuk membodohi rakyat akan watak sesungguhnya dari perang yang dikobarkan, dan kita harus mengekspos tujuan dari perang tersebut. Terkutuklah mereka yang hanya melihat perang dari sudut pandang slogan diplomasi! Slogan penentuan nasib sendiri dapat memiliki konten yang progresif dan revolusioner, seperti yang dijelaskan oleh Lenin. Tetapi tidak di setiap kasus. Ada banyak kasus dimana slogan penentuan nasib sendiri telah digunakan untuk tujuan-tujuan reaksioner, sebagai kedok intrik imperialis. Selama Perang Dunia Pertama, imperialisme Inggris mengirim agennya, Lawrence of Arabia,[8] untuk memprovokasi negeri-negeri Arab melawan Turki, dengan menjanjikan mereka kemerdekaan. London menjanjikan daerah Palestina kepada Arab, dan juga kepada Yahudi, dan kemudian mengkhianati kedua pihak dengan menjadi tuan kolonial yang baru setelah Perang Dunia Pertama. Perjanjian Versailles yang memperbudak Eropa dan mempersiapkan kondisi untuk Perang Dunia Kedua juga mencantumkan hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri. Hitler menggunakan slogan hak menentukan nasib sendiri untuk Jerman Sudetenland, Kroasia, Albania dan yang lainnya guna mendorong kebijakan imperialisnya. Kepala polisinya Heinrich Himmler menulis: “Dalam berurusan dengan orang-orang asing di Timur kita harus mendorong sebanyak mungkin kelompok nasional; Polandia, Yahudi, Ukraina, Rusia Putih, Kashchuben dan sebanyak mungkin bangsa yang bisa kita temui.”
Tidak ada yang baru di sini. Kaum Romawi sejak dulu sudah menggunakan formula sederhana yang kemudian hari digunakan oleh kelas penguasa Inggris dimanapun mereka berada: “Divide et empera” – “Politik Adu Domba”. Kebijakan memecah-mecah negara, dan mempertentangkan nasion atau ras yang satu dengan yang lainnya sejak lama telah menjadi alat imperialisme yang penting. Sebaliknya, kaum revolusioner berjuang untuk menyatukan kelas buruh dan semua rakyat tertindas dalam melawan kaum penindas di mana-mana.
Masalah kebangsaan hari ini jauh lebih kompleks dibandingkan jamannya Lenin. Lenin biasa memberi contoh Norwegia, yang pecah dari Swedia pada 1905. Norwegia diserahkan ke Swedia sebagai bagian dari perjanjian reaksioner yang disetujui oleh Kongres Wien pada 1815 setelah kekalahan Napoleon. Ini bukanlah persatuan yang sukarela. Rakyat Norwegia menentangnya dan harus dipaksa bersatu dengan Swedia oleh tentara Swedia. Walaupun bahasa Swedia dan Norwegia cukup dekat, dan rakyat Norwegia mendapatkan otonomi yang cukup luas, mereka masih berada di bawah dominasi Swedia. Pada Agustus 1905, parlemen Norwegia memutuskan kalau raja Swedia sudah bukan lagi rajanya Norwegia dan dalam referendum mayoritas besar rakyat memilih pisah dari Swedia. Mengenai ini Lenin menulis: “Contoh ini menunjukkan pada kita bagaimana pemisahan bangsa dapat terjadi, dan sungguh terjadi, di bawah relasi ekonomi dan politik modern, dan bentuk pemisahan yang diambil di bawah kondisi kemerdekaan politik dan demokrasi.”[9]
Buruh Swedia mendukung hak demokratik rakyat Norwegia untuk memisahkan diri, dan dengan tindakannya ini melucuti kaum reaksioner Swedia yang memutuskan untuk tidak mengintervensi. Ini memperkuat ikatan solidaritas antara buruh Swedia dan Norwegia. Tetapi, walaupun Lenin menganggap kasus ini sebagai sebuah model bagaimana masalah kebangsaan dapat diselesaikan, pada kenyataannya kasus pemisahan Norwegia adalah sebuah pengecualian historis. Hari ini masalah kebangsaan mengambil bentuk dengan karakter yang sungguh berbeda. Dan Lenin sendiri sering kali menekankan agar kaum Marxis mengambil posisi yang sesuai dengan kondisi-kondisi konkret yang ada di tiap-tiap kasus. Apa yang terjadi di Norwegia pada 1905 adalah masalah yang sederhana, dan mainan anak-anak dibandingkan dengan situasi di Irlandia Utara, Lebanon, dan Balkan hari ini. Norwegia adalah sebuah bangsa yang secara etnis homogen, tanpa komplikasi seperti di banyak negeri lainnya. Rakyat Norwegia mengambil suara di dalam parlemen dan mereka meraih kemerdekaan mereka. Ini adalah masalah yang sederhana. Tidak demikian dengan Irlandia Utara, dimana populasinya terpecah belah dan bila Pasukan Inggris ditarik maka ini akan berarti peperangan agama antara Katolik dan Protestan. Dan contoh yang bahkan lebih jelas adalah Balkan hari ini.
Pemelintiran Marxisme
Seperti yang telah kita tunjukkan, dari sudut pandang teori Marxis, masalah kebangsaan bukanlah sesuatu yang baru. Marx, Engels, Lenin dan Trotsky menulis banyak mengenai masalah kebangsaan. Tetapi, masalah kebangsaan adalah satu ranah dalam teori Marxis yang paling tidak dipahami dan paling sering dipelintir. Kita bahkan tidak perlu berbicara mengenai kaum Stalinis yang dengan teori sosialisme di satu negerinya sendiri sudah menandai perpecahan dari Marxisme. Hari ini setiap kelompok sektarian yang mengaku Marxis dan “Trotskis” mengambil posisi yang teramat keliru dalam masalah kebangsaan.
Dalam kasus Balkan hampir semua sekte mendukung satu pihak atau yang lainnya, yang katanya sesuai dengan posisi Lenin mengenai masalah kebangsaan. Khususnya dukungan mereka untuk “penentuan nasib sendiri” Kosovo telah membuat mereka berkapitulasi pada imperialisme AS dan menjadi pemandu sorak KLA. Sejak awal kami telah memperingatkan kalau posisi ini (mendukung Kosovo) niscaya akan mengarah ke kesimpulan yang paling reaksioner. Kami memprediksi bahwa perang reaksioner NATO melawan Yugoslavia hanya dapat menghasilkan negara boneka AS di Kosovo, alih-alih penentuan nasib sendiri. Hari ini kami mengundang mereka yang sebelumnya begitu antusias mendukung KLA untuk menjawab pertanyaan ini: apakah situasi hari ini telah mendorong maju atau memundurkan perjuangan sosialisme di Balkan. Dari sudut pandang Marxis tidak ada satupun hal yang progresif dalam peperangan di Balkan. Imperialisme AS membangun basis operasi yang kokoh di Balkan, sementara KLA meluncurkan kampanye “pembersihan etnis” besar-besaran dan pogrom terhadap rakyat Serbia. Inilah bencana yang kita dapati kalau kita mencampakkan posisi kelas dalam masalah kebangsaan.
Ini bukan sesuatu yang baru. Dalam kasus Irlandia para “Marxis” yang sama ini mendukung IRA dalam kampanye terorisme individual mereka selama 30 tahun terakhir. Ini sama saja berkapitulasi pada nasionalisme, dan sepenuhnya melanggar prinsip-prinsip dasar Leninisme. Apa hasilnya? Setelah satu generasi apa-yang-disebut “perjuangan bersenjata”, dengan lebih dari 3000 korban jiwa, IRA sama sekali tidak mencapai satupun tujuannya. Kelas buruh di Irlandia Utara hari ini lebih terpecah belah. Anak-anak Katolik dan Protestan tinggal di wilayah yang terpisah dan ke sekolah yang berbeda. Dua komunitas ini dipisahkan oleh tembok dan kawat berduri. Dan prospek re-unifikasi Irlandia lebih jauh hari ini.
Di Afghanistan, orang yang sama membela para “pejuang pembebasan” Mujahadeen dalam perang mereka melawan rejim Stalinis di Kabul, sekali lagi dengan alasan “hak penentuan nasib sendiri” untuk rakyat Afghanistan. “Hak” yang sama ini juga dibela oleh imperialisme AS dan kaum feodal-reaksioner Pakistan, yang mempersenjatai dan mendanai gangster kontra-revolusioner ini. Sekarang perang “pembebasan” ini telah berakhir dengan kemenangan reaksi Islam-Fundamentalis dalam bentuknya yang paling buruk. Bagaimana kita bisa membenarkan kemenangan reaksi di bawah Taliban dengan alasan hak penentuan nasib sendiri?
Ini hanya beberapa contoh apa akibatnya kalau kita mencampakkan posisi Marxis mengenai masalah kebangsaan. Satu-satunya yang dipahami oleh sekte-sekte ini adalah mengulang-ulang kalimat yang sama seperti burung beo: “Bukankah Lenin mendukung hak penentuan nasib sendiri?” Setelah membaca beberapa baris Lenin para sektarian ini mengira mereka adalah jenius. Kita diingatkan oleh sebuah peribahasa Inggris lama: “Sedikit pengetahuan adalah hal yang berbahaya.” Mereka seperti anak sekolah yang tidak terlalu pintar, yang memamer pengetahuan mereka dengan terus mengulang “ABC”. Tetapi setelah “ABC” ada huruf-huruf lain dalam alfabet. Lenin tidak mendukung hak penentuan nasib sendiri di setiap kasus, tetapi dengan hati-hati membedakan mana yang progresif dan mana yang reaksioner, dengan mengkaji secara seksama kondisi-kondisi konkret yang ada.
Mereka yang telah lama mencampakkan posisi kelas dan internasionalismenya Marx dan Lenin dan mendukung nasionalisme borjuis kecil mencoba mengkritik kaum Marxis yang sejati meninggalkan garis yang “benar”. Kepada para kritikus ini kami hanya bisa mengatakan ini: bahwa kami bangga bahwa hanya tendensi Marxis yang diwakili oleh Socialist Appeal di Inggris dan In Defence of Marxism yang mempertahankan posisi Marxis dalam masalah kebangsaan, dan juga masalah-masalah lainnya. Rekam jejak kami adalah saksi kami. Kami tidak malu untuk menerbitkan ulang semua yang telah kami tulis selama 50 tahun terakhir. Masalahnya adalah mereka-mereka yang berbicara atas nama Lenin hanya menunjukkan kalau mereka sama sekali tidak paham posisi Partai Bolshevik dalam masalah kebangsaan. Tujuan dokumen ini adalah untuk meluruskan ini. Tentu saja dokumen ini tidak ditujukan untuk para sektarian yang tidak mampu belajar sama sekali.
Kaum Marxis dan Masalah Irlandia
Mengenai masalah Balkan, begitu juga masalah Irlandia Utara, kami bangga akan rekam jejak posisi kami. Selama 30 tahun terakhir kami telah mempertahankan secara konsisten posisi kelas. Tidak demikian dengan kelompok-kelompok lain. Ketika “The Troubles”[10] meledak di Irlandia pada 1969, Partai Komunis Inggris, SWP (Socialist Workers Party), kaum Mandelite dari IMG, dan sekte-sekte lainnya mendukung mengirim tentara Inggris ke Irlandia, dengan alasan tentara ini akan melindungi umat Katolik. Mereka semua ingin melupakan ini hari ini. Tetapi fakta adalah hal yang keras kepala. Kaum Marxis Militant yang ada di dalam Partai Buruh adalah satu-satunya yang menentang ini. Kami adalah satu-satunya kelompok yang mengajukan resolusi di Konferensi Partai Buruh pada musim gugur 1969 menentang pengiriman pasukan Inggris ke Irlandia utara. Kami mengatakan bahwa tentara Inggris tidak akan memainkan peran progresif, bahwa tentara ini dikirim untuk mempertahankan kepentingan imperialisme.
Tuan nyonya yang mendukung pengiriman tentara Inggris ke Irlandia Utara kemudian bergerak ke ekstrem yang lain, dan membentuk apa-yang-disebut Troops Out Movement. Mereka semua lalu berkapitulasi pada terorisme individualnya IRA. Apa-yang-disebut perjuangan bersenjata ini berlangsung selama tiga dekade. Pada 1970, IRA mengira mereka bisa mengalahkan imperialisme Inggris dengan kekuatan senjata dan membom Irlandia Utara untuk menerima persatuan dengan Irlandia di selatan. Saat itu kami mengatakan bahwa ini mustahil. Persatuan Irlandia tidak akan pernah bisa tercapai dengan metode ini, karena kaum Protestan dipersenjatai dan akan menentang ini. Bila perang meledak antara umat Katolik (yang mendukung unifikasi Irlandia) dan umat Protestan (yang ingin tetap berada dalam Inggris Raya), IRA akan kalah dan umat Katolik akan terusir. Satu-satunya yang akan terjadi adalah perubahan perbatasan, tetapi ini tidak akan berlangsung dengan damai. Akan terjadi pembantaian yang mengerikan, seperti yang telah kita saksikan di Yugoslavia. Ini akan berakhir dengan terbentuknya rejim Protestan di Utara dan rejim Katolik di Selatan. Di bawah kondisi ini kedua rejim ini akan berakhir sebagai kediktatoran militer. Inilah satu-satunya hasil yang mungkin dari usaha untuk menyelesaikan masalah Irlandia di atas basis kapitalisme.
Pelajaran Yugoslavia merupakan konfirmasi dari semua ini. Karena itulah London tidak akan menarik mundur pasukannya dari Irlandia Utara. Sungguh adalah ironi sejarah kalau imperialisme Inggris sekarang tidak punya niat untuk mempertahankan dominasinya di Irlandia Utara. Tidak seperti pada 1922 Inggris tidak punya alasan ekonomi atau strategis untuk tetap di sana. Tetapi masalahnya menarik mundur pasukan dari sana akan memprovokasi kekacauan dan pertumpahan darah yang dapat mengguncang seluruh Inggris Raya. Ini adalah skenario yang ingin mereka hindari. Oleh karenanya Inggris terpaksa mempertahankan pasukannya di sana. Dan bila IRA terus melanjutkan peperangan mereka selama 30 tahun lagi, hasilnya akan sama. Kebijakan IRA adalah jalan buntu, dengan hasil negatif bagi kelas buruh dan sosialisme. Apa hasil dari kebijakan mereka? Tiga ribu korban jiwa, seluruh generasi lenyap, kelas buruh terpecah belah seturut garis agama. Media Barat berbicara banyak mengenai Tembok Berlin yang memisahkan Berlin. Tetapi tidak ada yang berbicara mengenai tembok yang memisahkan Belfast, di satu sisi umat Katolik dan di sisi lain umat Protestan. Mereka tidak berbicara satu sama lain, mereka tidak bisa bertemu. Tembok yang disebut “garis damai” ini adalah ekspresi terburuk dari perpecahan nasional. Ini adalah hasil langsung dari kampanye teror individualnya IRA.
Kami berdiri di atas basis kelas dan berjuang untuk persatuan kelas buruh. Persatuan ini bukanlah hal yang mustahil. Pada 1969 ada gerakan buruh yang menuntut persatuan, yang akan berhasil kalau saja ada kepemimpinan yang sadar. Kami menuntut pembentukan milisi buruh yang berdasarkan serikat buruh, yakni satu-satunya organisasi yang masih menyatukan rakyat Katolik dan Protestan. Tentu saja dalam kondisi yang konkret milisi ini harus dipersenjatai untuk pertahanan dari kegilaan sektarian yang datang dari kedua sisi. Slogan revolusioner kami adalah “Bentuk pasukan pertahanan buruh bersenjata yang tersatukan!” Ini adalah satu-satunya cara untuk melawan sektarianisme agama. Kaum ultra-kiri mengejek slogan ini. Mereka selalu menertawakan posisi Leninis. Sama halnya ketika Lenin masih hidup, kaum nasionalis borjuis-kecil selalu mencibir posisi masalah kebangsaannya sebagai sesuatu yang utopis. Lenin menjawab orang-orang “praktis” ini dengan perasaan muak yang pantas buat mereka.
Apa yang mereka katakan mengenai situasi di Irlandia Utara sekarang? IRA menyetujui gencatan senjata, untuk alasan yang sederhana, apa-yang-disebut “perjuangan bersenjata” ini tidak membawa mereka ke manapun. Gagasan bahwa mereka bisa mengusir Inggris dengan metode “perjuangan bersenjata” (yang sebenarnya adalah metode terorisme individual) sama sekali tidak realistis, seperti yang telah kita tunjukkan sejak awal. Dan sekarang apa hasilnya? Seperti para pemimpin PLO di Palestina dan Mandela serta Mbeki di Afrika Selatan, para pemimpin Sinn Fein ingin menukar bom dan piston dengan “politik”, dalam kata lain jas dan gaji Menteri. Mereka cukup siap mencampakkan perjuangan yang mana pendukung mereka telah mengorbankan segalanya, dan mereka campakkan demi karier yang baik dan kehormatan borjuis. Apa-yang-disebut “perjuangan bersenjata” (yakni terorisme individual) selalu berakhir seperti ini. Kaum Marxis Rusia selalu mengatakan bahwa para teroris adalah “kaum liberal dengan bom”. Sekarang kita bisa melihat kebenaran dari pernyataan tersebut. 30 tahun kemudian, IRA tidak melangkah satu langkah pun menuju persatuan Irlandia. Yang luar biasa, para pemimpin Sinn Fein (organisasi politiknya IRA) menandatangani Good Friday Agreement (Perjanjian Jumat Agung), yang secara spesifik meratifikasi status Irlandia Utara sebagai bagian dari Inggris Raya. Konsesi “Cross-Border Agreement” dengan Selatan hanyalah untuk meredam aspirasi republiken, karena badan North-South ini tidak punya kuasa sama sekali.
Bahkan perjanjian ini dianggap kelewatan oleh kaum Unionist, yang akhirnya menuntut keras pelucutan senjata IRA. Ini telah menyebabkan krisis karena IRA tidak ingin melepaskan senjata mereka. Senjata adalah hal yang diperlukan, karena gerakan Republiken punya tradisi lama perpecahan dan perseteruan, dimana yang kemarin pemimpin dapat masuk liang kubur hari ini. Kelompok yang pecah dari IRA, yang menyebut diri mereka “Continuity IRA” telah melakukan serangkaian pemboman untuk menunjukkan kalau mereka masih ingin melanjutkan “perjuangan bersenjata”. Dengan menuntut pelucutan senjata segera, kaum Unionist jelas ingin memprovokasi, yang pasti akan ditolak oleh IRA. Ini telah mengakibatkan kandasnya Good Friday Agreement dan dibubarkannya Majelis Irlandia Utara, dan diperkenalkannya kembali kontrol langsung dari London.
Kebijakan kami di Irlandia, yang dicibir banyak orang sebagai utopis, bersesuaian dengan Marx dan Lenin yang telah kita singgung di atas. Sekte-sekte di Inggris memainkan peran yang memalukan. Mereka mengadopsi kebijakan “praktis” dan tanpa malu mengekor IRA, dan mencampakkan posisi kelas serta menjadi pemandu sorak untuk terorisme. Ini berarti menyerah pada nasionalisme borjuis-kecil dan terorisme individual, yang dalam setiap kasus selalu berakhir dalam bencana. Lenin mengecam keras kebijakan praktis macam ini. Kehidupan sendiri telah menunjukkan bahwa berkapitulasi pada nasionalisme borjuis-kecil bukanlah kebijakan yang praktis sama sekali. Ini adalah pengkhianatan memalukan terhadap kelas buruh dan selalu menyebabkan bencana. Mari kita tekankan sekali lagi. Kaum Marxis mendukung unifikasi Irlandia. Tetapi hari ini prospek unifikasi Irlandia telah menjadi semakin lebih jauh. Ini adalah hasil dari taktik terorisme individual dan nasionalisme borjuis kecil selama 30 tahun terakhir.
Ketika dokumen ini sedang ditulis, situasi di Irlandia sangatlah tidak stabil. Ada kemungkinan kedua pihak akan mundur karena tidak ada jalan keluar. Sejumlah kompromi mungkin akan tercapai, dengan IRA menyerahkan sebagian senjata mereka. Tetapi bila ada benturan baru, Inggris akan menumpasnya dengan kejam. Terlebih lagi, perkembangan seperti ini akan sangat tidak populer di antara massa rakyat Katolik dan Protestan. Setelah 30 tahun pertumpahan darah, rakyat Katolik dan Protestan sudah letih dengan peperangan ini. IRA dapat kehilangan banyak dukungan. Ini bukan prospek yang menggiurkan. Tetapi menerima kompromi juga tidak akan menyelesaikan masalah fundamental yang ada. Di antara kaum republiken akar rumput, pertanyaan ini cepat atau lambat akan muncul di benak mereka: “Buat apa kita berjuang dan mati selama 30 tahun terakhir?”
Jelas akan mulai ada gemuruh di antara akar rumput Republiken. Elemen yang paling maju, yang kritis terhadap kebijakan kepemimpinan mereka dan tidak ingin kembali ke kebuntuan terorisme individual, akan lebih terbuka pada alternatif politik kelas. Satu-satunya jalan keluar adalah kembali ke gagasan James Connolly dan panji sosialisme. Ini adalah satu-satunya panji yang dapat menyatukan kelas buruh, Jingga (Protestan) dan Hijau (Katolik), Utara dan Selatan, dan juga di seberang Lautan Irlandia, di Inggris, Skotlandia dan Wales, dalam perjuangan melawan musuh bersama kita: bank, monopoli dan imperialisme Inggris. Satu-satunya jalan ke depan adalah kembali ke tradisi gerakan buruh Irlandia, ke Marxisme, dan bukannya ke “perjuangan bersenjata”. Di masa lalu, ini gagasan yang diajukan oleh kaum nasionalis: “Pertama selesaikan masalah perbatasan, baru setelah itu kita bisa berbicara mengenai sosialisme!” Tetapi pengalaman tiga dekade terakhir telah menunjukkan kekeliruan dari gagasan ini. Sekarang kita berhak mengatakan: solusi dari tugas yang tersisa dari revolusi borjuis demokratik Irlandia – yakni reunifikasi Irlandia – hanya dapat diselesaikan oleh proletariat yang mengambil kekuasaan di Irlandia dan Inggris. Kaum borjuasi Irlandia telah menunjukkan dirinya impoten untuk menyelesaikan tugas ini. Mereka telah diberi waktu yang sangat lama untuk menyelesaikan tugas ini. Sekarang waktunya kita bergerak ke arah yang sepenuhnya berbeda. Marx dulu menjelaskan bahwa nasib revolusi di Irlandia dan Inggris berkelindan erat. Hari ini pernyataan tersebut bahkan lebih benar.
Masalah Kebangsaan Spanyol
Di Spanyol ada masalah kebangsaan Basque, Catalonia, dan Galicia. Selama puluhan tahun di bawah kediktatoran Franco bahasa, hak dan aspirasi nasional dari rakyat-rakyat ini diinjak-injak. Oleh karenanya tidaklah mengherankan kalau penumbangan rejim Franco memberikan dorongan kuat bagi gerakan nasional dari bangsa-bangsa ini. Trotsky mengatakan bahwa nasionalisme bangsa-bangsa yang tertindas adalah cangkang luar Bolshevisme yang belum matang. Dengan kebijakan, taktik dan metode yang tepat, kita bisa memenangkan lapisan terbaik dari kaum muda nasionalis ke Marxisme. Tetapi prasyaratnya adalah posisi kelas yang tegas. Sementara kita berdiri tegas membela bangsa-bangsa tertindas, kita harus mengkritik gagasan nasionalisme yang penuh kebingungan.
Masalahnya adalah otoritas moral Marxisme telah runtuh dalam skala dunia. Marx, Lenin dan Trotsky memiliki posisi yang tepat dalam masalah kebangsaan. Ini dapat dengan mudah menemukan gaungnya di antara kaum nasionalis militan. Tetapi kaum muda nasionalis merasa jijik dengan kebijakan para pemimpin reformis organisasi-organisasi buruh, yang mengadopsi posisi kelas penguasa dalam masalah kebangsaan, seperti halnya juga dalam masalah-masalah lainnya.
Internasional Kedua, misalnya, memiliki posisi yang membingungkan mengenai masalah kebangsaan. Kita saksikan hasilnya pada Perang Dunia Pertama. Di Spanyol, PSOE (Partai Buruh Sosialis Spanyol) bahkan pada masa keemasannya memiliki pemahaman yang sangat buruk mengenai masalah kebangsaan, walaupun mereka memiliki basis massa yang kuat di Basque. Hari ini para pemimpin sayap kanan PSOE telah mencampakkan semua kedok sosialis mereka mengenai masalah kebangsaan, seperti halnya dengan isu-isu lainnya. Ketika dia berkuasa, Felipe Gonzalez dan para pemimpin “sosialis” lainnya dengan aktif mendukung perang kotor yang dilakukan oleh badan intelijen negara Spanyol dalam melawan ETA. Tidak heran kalau kaum muda Basque merasa jijik dengan “Sosialisme” ini.
Di masa lalu biasanya kaum muda nasionalis yang militan akan condong ke Partai Komunis. Panji revolusioner Oktober dan Partai Bolshevik menawarkan jalan keluar revolusioner. Tetapi karena kejahatan Stalinisme, gerakan Marxis telah terlempar ke belakang. Kebangkrutan ideologis Stalinisme telah menyebabkan berbagai distorsi buruk (Maoisme, Castroisme, gerilyaisme), yang mengacaukan pikiran kaum muda yang teradikalisasi. Sekarang dengan runtuhnya Stalinisme, kebingungan yang bahkan lebih besar menyebar, dengan berbagai macam mood anarkisme dan terorisme. Gagasan-gagasan tua yang sebelumnya sudah dijawab oleh Marx, Lenin dan Trotsky muncul kembali, dan menyamarkan diri mereka sebagai teori-teori “baru dan modern”, dan membuat kacau pikiran orang-orang yang sudah kebingungan.
Selain itu juga ada degenerasi Internasional Keempat setelah kematian Trotsky. Orang-orang yang mengaku “Trotskis” ini telah mencampakkan gagasan-gagasan dasar Lenin dan Trotsky, terutama dalam masalah kebangsaan. Sekte-sekte “Trotskis” ini bermain-main dengan setiap kelompok nasionalis borjuis-kecil dan teroris di dunia, berperan sebagai pemandu sorak dan “penasihat” gratis (yang biasanya tidak diminta nasihatnya) IRA, ETA, PLO atau ANC. Di segelintir tempat dimana mereka punya pengaruh mereka hanya memperkuat prasangka-prasangka kaum muda dan menggiring mereka ke bencana. Seperti di Argentina dan Uruguay pada 1970an, dimana elemen-elemen ini bermain-main dengan terorisme dan “gerilyaisme urban”. Hasil dari avonturisme ini adalah remuknya gerakan dan kemenangan kediktatoran militer yang paling brutal. Selapisan besar kader-kader muda kehilangan nyawa mereka dan revolusi terdorong ke belakang selama puluhan tahun.
Karena absennya otoritas Marxisme, cukup masuk akal kalau kaum muda di Basque, yang merasa jijik dengan Stalinisme dan Sosial Demokrasi, lalu mencari alternatif di ETA dan partai Herri Batasuna[11]. Ada banyak sekali kaum muda heroik dalam barisan gerakan Nasionalis Basque yang radikal. Tugas kita adalah berdialog dengan lapisan ini dan meyakinkan mereka kalau satu-satunya cara untuk mencapai gol mereka adalah dengan berjuang demi revolusi sosialisme. Cepat atau lambat elemen-elemen yang terbaik akan mencapai kesimpulan ini. Kita harus membantu mereka, dengan diskusi yang bersahabat dan sabar, dan dengan bersatu dengan mereka dalam isu-isu yang bisa kita setujui bersama, sembari menekankan pentingnya persatuan kaum buruh dan kaum muda di seluruh Spanyol dalam perjuangan melawan pemerintahan Spanyol.
Sudah menjadi hukum bahwa gerakan massa nasionalis, seperti misalnya Herri Batasuna, ketika mereka tumbuh besar sampai pada ukuran tertentu mereka akan terpecah seturut garis kelas. Gerakan seperti ini komposisinya biasanya heterogen. Di satu sisi adalah elemen sayap kanan ekstrem, yang biasanya adalah sayap yang paling “militeris”; di sisi lain sayap kiri yang memiliki banyak pejuang yang jujur dan kaum revolusioner. Sekitar 30 tahun yang lalu, pada kongres keenam ETA, ada perpecahan ke kiri. Karena tidak ada alternatif Marxis yang sejati, kaum Mandelite berorientasi ke ETA dan memenangkan banyak kaum Kiri ETA ini. Ribuan dari mereka mulai bergerak ke Trotskisme. Ini adalah orang-orang yang baik. Dengan kebijakan dan perspektif yang tepat, sebuah organisasi Marxis dengan 10 ribu anggota di Spanyol dapat memainkan peran yang krusial. Tetapi dengan kebijakan Mandelite yang keliru, peluang ini disia-siakan. Kaum borjuis kecil ini menyia-nyiakan peluang besar ini, dan harus membayar mahal. Mereka sudah tidak lagi eksis. Mereka telah terlikuidasi, seperti sekte-sekte lainnya. Sekarang jalan telah terbuka untuk perkembangan tendensi Marxis yang sejati di Basque. Kader-kader yang terbaik akan datang dari anggota dan pendukung Abertzale (kaum nasionalis Basque radikal).
Dengan ditandatanganinya gencatan senjata, ada perkembangan baru di Herri Batasuna. Mereka telah mengganti nama mereka menjadi Euskal Herritarok (Warga Basque). Ini adalah gerakan yang cukup besar. Ada antusiasme yang sungguh-sungguh untuk EH. Tetapi sekarang ini telah berubah. Para pemimpin politik EH dengan oportunis berkongkalikong dengan partai borjuasi Basque, PNV. Seperti biasanya, kaum nasionalis borjuis-kecil berperan sebagai mekanisme untuk menundukkan kelas buruh ke borjuasi “kita”. Tetapi setiap buruh Basque tahu bahwa para bankir dan industrialis Basque sama buruknya dengan kapitalis Spanyol. Tidak ada yang bisa dipilih di antara mereka. Semua anggota akar-rumput partai EH yang jujur pasti merasa geram dengan pembentukan blok antara EH dengan partai borjuasi PNV.
Lebih parah lagi, gencatan senjata telah dibatalkan. Akan ada lebih banyak aksi teroris, yang akan direspons dengan lebih banyak represi negara dan lebih banyak tahanan politik. Ini adalah lingkaran setan yang telah meracuni kehidupan sosial dan politik Basque selama puluhan tahun. Di atas jalan ini tidak ada jalan keluar untuk Basque! Sekarang ketika ETA telah membatalkan gencatan senjata, ada diskusi yang sengit di antara anggota akar-rumput. Jelas mereka sedang mencari penjelasan dari semua ini dan jalan keluar dari kebuntuan yang ada. Kita harus menjelaskan kepada mereka dengan tegas tetapi bersahabat bahwa tidak akan ada kemerdekaan bagi Negara Basque di atas basis kapitalisme. Untuk berhasil, harus ada revolusi di Spanyol dan juga Prancis. Dan untuk mencapai ini kita harus mengadopsi posisi kelas dan internasionalis, dan meninggalkan jalan buntu terorisme individual.
Kaum Marxis di Spanyol memiliki rekam jejak memegang posisi kelas yang prinsipil dan tegas. Mereka telah secara konsisten membela hak-hak nasional rakyat Basque, termasuk hak penentuan nasib sendiri. Belum lama ini mereka menerbitkan sebuah dokumen yang sangat baik mengenai masalah kebangsaan di Basque dan Spanyol. Buku-buku kami yang diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol diulas dengan antusias di koran Egin, koran hariannya Herri Batasuna. Ini menunjukkan bahwa ada selapisan kaum nasionalis Basque yang sedang bergerak ke tendensi Marxis. Kaum Marxis akan bisa memenangkan selapisan kaum muda militan ke barisan mereka dengan kampanye yang energetik.
Dari sudut pandang Marxisme, masalah kebangsaan adalah sebuah tantangan, tetapi juga sebuah peluang. Trotsky pernah mengatakan bahwa nasionalisme rakyat yang tertindas hanya “cangkang luar dari Bolshevisme yang belum matang”. Bila kita mengambil posisi yang prinsipil mengenai masalah kebangsaan yang dihadapi oleh rakyat yang tertindas, secara energetik melawan semua bentuk penindasan nasional, sementara menghubungkan dengan erat solusi masalah kebangsaan dengan perspektif transformasi sosialis, maka kita akan bisa memenangkan lapisan yang termaju ke Marxisme dan membangun sebuah organisasi yang kuat yang dapat menawarkan solusi riil untuk masalah kebangsaan Basque di atas basis sosialis revolusioner.
Masalah Kebangsaan di Balkan
Apa yang terjadi di bekas Yugoslavia adalah contoh terburuk kalau kita mengadopsi posisi masalah kebangsaan yang keliru. Peperangan yang berdarah-darah, kegilaan sauvinis dan “pembersihan etnik” di sebuah negeri yang dulunya maju dan berkembang harus membuat mereka-mereka yang terus menabuh drum “penentuan nasib sendiri” sebagai obat mujarab berpikir ulang. Sayangnya selalu saja ada orang yang memang tidak punya kapasitas untuk berpikir. Mengenai masalah Balkan, tendensi Marxis yang diwakili oleh Socialist Appeal dan In Defence of Marxism telah sejak awal memegang posisi Leninis yang tegas. Kami telah menjelaskan sejak awal bahwa tidak ada satupun hal yang progresif dengan pecahnya Yugoslavia. Sebaliknya, setiap sekte yang mendukung Kroasia, atau Serbia, atau Bosnia, seperti Belgia kecil yang malang, atau berlari ke sana-kemari mengibarkan bendera KLA, mereka semua jauh ke posisi reaksioner.
Propaganda Barat – entah itu mengenai Afrika, Rusia, atau Balkan – mencoba menggambarkan pertentangan-pertentangan ini sebagai produk karakter nasional, atau keterbelakangan rakyat yang ada di sana, masalah ras, dsb. Katanya rakyat Serbia, Kroasia, Bosnia, dsb. tidak bisa hidup bersama, saling membenci, dan segala tetek bengek. Ini adalah dusta. Selama Perang Dunia Kedua, ada konflik yang tajam antara Serbia dan Kroasia, dimana rakyat Serbia-lah yang jadi korban, dan ditindas secara kejam oleh kaum fasis Kroasia. Rejim Ushtasi begitu brutal bahkan sampai diprotes oleh Nazi Jerman. Tetapi di bawah Tito, masalah kebangsaan di Yugoslavia umumnya tuntas. Di atas basis perekonomian nasional yang terencana dan perkembangan kekuatan produktif, dan kebijakan Tito yang cukup pintar dengan memberikan otonomi bagi tiap-tiap republik dan mencegah satu bangsa memiliki kekuasaan yang lebih dari yang lain, masalah kebangsaan di Yugoslavia [atau Balkan] melenyap. Ada campur baru antara rakyat dari berbagai bangsa; ketegangan antara Serbia dan Kroasia menurun dan hampir lenyap sepenuhnya. Ini didasarkan pertumbuhan taraf hidup 10-11 persen setiap tahunnya, karena seperti yang pernah dijelaskan oleh Lenin, pada esensinya masalah kebangsaan adalah masalah roti.
Dengan krisis Stalinisme, munculnya pengangguran massal di Yugoslavia dan juga inflasi pada 1970an, semua keburukan yang lama mulai muncul kembali. Sekarang, kalau kita tinjau kembali sejarah 50 tahun terakhir terutama, kita hanya bisa mencapai kesimpulan bahwa kaum borjuasi dan juga kaum Stalinis tidak mampu menyelesaikan masalah kebangsaan. Tito berhasil untuk sementara saja, tetapi sauvinisme adalah bagian integral dari Stalinisme. Sauvinisme adalah tumit Achilles rejim-rejim Stalinis, seperti Ethiopia ketika rejim Mengistu roboh persis karena masalah kebangsaan. Mereka tidak bisa menuntaskan ini.
Tito membentuk berbagai republik, dan tiap-tiap republik ini memiliki birokrasi nasional mereka sendiri, yang menggunakan masalah kebangsaan sebagai sarana untuk memperkuat kekuasaan dan privilese mereka. Ada logika yang tak terelakkan yang mengalir langsung dari teori sosialisme di satu negeri. Teori sosialisme di satu negeri yang sepenuhnya anti-Marxis ini, yang nasionalis sampai ke sumsum-sumsumnya, memainkan peran yang fatal dalam disintegrasi Yugoslavia. Tendensi-tendensi nasionalis Serbia, Kroasia, Slovenia, dan yang lainnya dengan antusias mengadopsi “teori” ini, demi Republik mereka sendiri. Mereka dengan sengaja memainkan perbedaan-perbedaan nasional: bila kau bisa memiliki “sosialisme” ala Rusia, “sosialisme” ala Tiongkok, dan seterusnya, mengapa tidak “sosialisme” ala Slovenia, dan juga Kroasia, dan Makedonia? Dengan krisis ekonomi yang melanda Yugoslavia, ketegangan antar Republik-republik ini tumbuh. Setiap klik regional berusaha menjaga posisi Republik “mereka sendiri” dengan mengorbankan yang lain. Ini menabur benih perpecahan Yugoslavia.
Yang paling parah adalah peran kaum birokrasi reaksioner dan berprivilese Kroasia dan Slovenia. Walaupun industri mereka dibangun oleh tenaga kerja dan sumber daya kolektif dari seluruh Yugoslavia, mereka menginginkan basis industri ini untuk diri mereka sendiri saja. Tetapi ini hanya satu faktor saja dari keseluruhan. Sejarah Yugoslavia dan Balkan umumnya menunjukkan bahwa perjuangan nasional untuk apa-yang-disebut hak penentuan nasib sendiri selama abad ke-20 selalu melibatkan kekuatan imperialis besar lainnya. Tsarisme Rusia, imperialisme Jerman, imperialisme Inggris, imperialisme Jerman – mereka semua menggunakan perjuangan bangsa-bangsa kecil sebagai recehan untuk intrik-intrik mereka.
Trotsky mengenai Balkan
Apa posisi kaum Marxis mengenai peperangan Balkan 1912-14? Kendati kenyataan bahwa ada konten semi-progresif dalam perjuangan kaum Slav Balkan untuk membebaskan diri mereka dari Turki (Kerajaan Ottoman), tidak akan kita temukan dalam tulisan Lenin dan Trotsky dukungan untuk bangsa-bangsa ini. Trotsky, yang ada di Balkan sebagai koresponden perang, menulis banyak artikel mengenai peperangan Balkan dimana dia mengutuk tindakan barbar dari semua pihak yang berseteru. Tetapi tidak ada secuilpun dukungan untuk satupun geng-geng nasional yang bermusuhan ini. Ini adalah perang reaksioner dan predatoris dari semua sisi. Dan bila demikian, apa yang akan Lenin katakan mengenai situasi di Yugoslavia?
Sekte-sekte yang mengaku Marxis mudah sekali kelabakan. Segera setelah perang pecah, mereka langsung menyahut: “Siapa yang kamu dukung?” Seakan-akan kaum Marxis berkewajiban mendukung satu pihak atau yang lainnya dalam konflik antara klik-klik yang bermusuhan! Posisi kaum Marxis mengenai perang sudah dipaparkan dengan jelas oleh Lenin. Perang adalah kelanjutan dari politik dengan cara yang lain. Masalah mendukung satu atau sisi lain dalam sebuah perang akan tergantung dari konten perang tersebut, reaksioner atau progresif. Pertimbangan ini ditentukan bukan oleh proklamasi umum mengenai “hak penentuan nasib sendiri”, tetapi oleh kepentingan umum proletariat dan revolusi dunia.
Posisi kaum Marxis di peperangan Balkan 1912-13 bukan untuk berpihak pada satu negeri atau yang lainnya, tetapi berjuang untuk pembentukan federasi demokratik Balkan. Ini adalah posisinya Lenin, Trotsky dan kaum Marxis dan internasionalis Balkan yang tersohor, Christian Rakovsky, yang menjadi Trotskis terkemuka dan dieksekusi oleh Stalin pada 1941. Rakovsky punya sejarah panjang sebagai pemimpin dalam gerakan sosialis Balkan. Pada 1903, pada tahun yang sama ketika Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia pecah menjadi Bolshevik dan Menshevik, ada perpecahan yang serupa di Partai Bulgaria antara tendensi “Luas” dan “Sempit”. Sayap kiri (“tesnyaki”) dipimpin oleh Marxis veteran Blagoev, bersama dengan Christian Rakovsky. Setelah Revolusi Oktober, Komunis Internasional (Komintern) berdiri untuk Federasi Sosialis Balkan. Gagasan ini sudah dikembangkan oleh Rakovsky bahkan sebelum 1917. Kaum Marxis selalu menentang pemecahan Balkan menjadi negeri-negeri kecil yang niscaya akan jadi pion untuk kekuatan imperialis besar. Dalam kata lain, kaum Marxis berjuang melawan Balkanisasi, dan berjuang untuk pembentukan federasi. Sebelum Perang Dunia Kedua, ketika Trotsky adalah koresponden di Balkan, dia menulis:
“Bukan keberagaman nasionalnya tetapi kenyataan kalau ia terpecah-pecah menjadi banyak negeri yang membebani [Balkan] seperti sebuah kutukan. Perbatasan memecah belahnya secara artifisial menjadi kepingan-kepingan terpisah. Persekongkolan keji kekuatan-kekuatan kapitalis besar berkait kelindan dengan intrik-intrik berdarah dinasti-dinasti Balkan. Bila kondisi ini berlanjut, Semenanjung Balkan akan menjadi kotak Pandora.”[12]
Ketika Austria-Hungaria merebut Bosnia dan Herzegovina, dan Serbia dilanda demam perang dan kehausan balas dendam, Sosial Demokrasi Serbia tetap berdiri teguh menentang histeria sauvinis. Begitu juga dengan kaum Sosial Demokrat Bulgaria, yang menentang intervensi klik penguasa mereka sendiri dan Rusia di Balkan. Kongres partai-partai sosialis Balkan diselenggarakan di Belgrade pada Januari 1910, dengan kehadiran perwakilan dari partai-partai Sosial Demokratik Serbia, Rumania, Bulgaria, Turki, Yugoslavia, Austria-Hungaria, dan sekelompok kecil kaum Sosial Demokrat dari Montenegro. Dalam programnya, kongres ini menetapkan tujuan dari Sosial Demokrasi Balkan:
“Untuk membebaskan diri kita dari partikularisme dan paham yang sempit; untuk menghapus perbatasan-perbatasan yang memecah belah rakyat yang sebagian besar memiliki bahasa dan kebudayaan yang sama, yang sebagian besar terikat bersama secara ekonomi; dan akhirnya, menyapu dominasi asing langsung dan tidak langsung, yang merampas hak rakyat untuk menentukan nasib mereka sendiri.”[13]
Dan lagi:
“Syarat-syarat perkembangan kapitalis terus-menerus berbenturan dengan batas-batas sempit dari partikularisme di Balkan, dan pembentukan federasi Balkan telah menjadi gagasan yang juga dipertimbangkan oleh kelas penguasa. Lebih dari itu, pemerintahan Tsaris, yang tidak mampu memainkan peran independen di Semenanjung Balkan, sekarang mencoba maju sebagai pendiri dan patron liga Bulgaro-Serbo-Turki, untuk melawan Austria-Hungaria. Tetapi ini hanyalah rencana-rencana ambigu untuk membentuk sebuah aliansi temporer antara dinasti-dinasti Balkan dan partai-partai politik Balkan, yang pada esensinya tidak mampu menjamin kebebasan dan perdamaian di Balkan. Program Proletariat tidak memiliki kesamaan sama sekali dengan ini. Program Proletariat diarahkan untuk melawan dinasti-dinasti dan klik-klik politik Balkan, melawan militerisme negeri-negeri Balkan, dan juga imperialisme Eropa; melawan Tsaris Rusia dan juga Dinasti Hapsburg Austria. Metodenya bukan metode diplomatik tetapi perjuangan kelas, bukan peperangan Balkan tetapi revolusi Balkan.”[14]
Betapa modern dan relevannya baris-baris di atas dengan krisis yang kini melanda Balkan!
Balkan dipecah-pecah menjadi negeri-negeri mungil dan diremukkan oleh beban militerisme. Dalam artikelnya “The Balkan Question and Social Democracy” Trotsky menulis:
“Satu-satunya jalan keluar dari kekacauan nasional yang berdarah-darah dalam kehidupan Balkan adalah persatuan semua rakyat di Semenanjung Balkan ke dalam satu entitas ekonomi dan sosial yang tunggal, di atas basis otonomi nasional untuk bagian-bagian konstituennya. Hanya dalam kerangka satu negara Balkan yang tunggal ini maka kaum Serbia Macedonia, kaum Sanjak, Serbia, dan Montenegro dapat bersatu dalam sebuah komunitas nasional-kultural yang tunggal, dan menikmati pada saat yang sama keuntungan dari pasar bersama Balkan. Hanya persatuan rakyat Balkan yang dapat menghantarkan pukulan yang sesungguhnya terhadap muslihat imperialisme Tsar Rusia dan Eropa.”
Dan Trotsky menambahkan sebuah peringatan yang profetik:
“Persatuan Negara Semenanjung Balkan dapat dicapai dengan dua cara: pertama, dari atas, melalui ekspansi dari satu negeri Balkan yang paling kuat, dengan menindas negeri-negeri Balkan lainnya yang lebih lemah – ini adalah jalan peperangan pemusnahan dan penindasan bangsa-bangsa yang lemah, sebuah jalan yang mengonsolidasi monarkisme dan militerisme; kedua, dari bawah, yakni melalui rakyat sendiri yang bersatu – ini adalah jalan yang berarti menumbangkan dinasti-dinasti Balkan dan mengobarkan panji Federal Republik Balkan.”[15]
Inilah posisi Marxis untuk masalah Balkan. Bukan mendukung satu atau klik nasional yang lain dengan dalih “penentuan nasib sendiri” tetapi program revolusioner Federasi Balkan. Tiap-tiap kelompok nasional di Balkan selalu suka mempresentasikan dirinya sebagai korban dan pihak yang ditindas, dimana mereka berjuang melawan ketidakadilan demi “hak nasional” dan “kedaulatan”. Akan tetapi pada kenyataannya di balik slogan “hak nasional” tersembunyi kepentingan klik penguasa, yang hanya tertarik merebut wilayah negeri-negeri lain yang lebih lemah dan menindas mereka. Oleh karenanya apa yang disebut “hak nasional” untuk satu pihak selalu akhirnya berarti penindasan nasional untuk yang lainnya. Dan dengan demikian apa yang disebut perjuangan untuk “kedaulatan nasional” selalu berakhir menjadi penundukan satu bangsa terhadap salah satu kekuatan asing besar:
“Kebijakan yang diambil oleh tiap-tiap monarki Balkan yang kecil ini, dengan menteri-menteri dan partai-partai mereka, memiliki tujuan nyata untuk menyatukan Semenanjung Balkan di bawah satu raja. “Bulgaria Raya”, “Serbia Raya”, “Yunani Raya”, adalah slogan-slogan dari kebijakan ini. Walaupun sesungguhnya tidak ada yang menanggapi serius slogan-slogan ini. Slogan-slogan ini adalah muslihat pemerintah untuk memenangkan popularitas di antara massa rakyat. Dinasti-dinasti Balkan ini secara artifisial didirikan oleh diplomasi Eropa dan tidak punya akar sejarah sama sekali, dan mereka terlalu kecil dan tidak signifikan, dan terlalu merasa tidak aman di atas takhta mereka untuk bisa menempuh kebijakan seperti Bismarck ketika dia menyatukan Jerman dengan tangan besi yang berlumuran darah. Guncangan besar pertama dapat menyingkirkan Dinasti Karageorgevich [Serbia], Dinasti Coburg [Bulgaria], dan para raja liliput Balkan lainnya. Kaum borjuasi Balkan, seperti di semua negeri lainnya yang telah tiba terlambat dalam arus perkembangan kapitalis, secara politik steril, pengecut, tidak bertalenta, busuk dan sepenuhnya sauvinis. Massa tani terlalu berserakan, terlalu bodoh, dan terlalu apatis dalam politik sehingga tidak punya inisiatif politik. Oleh karenanya, tugas membangun relasi-relasi nasional yang normal di Balkan jatuh di pundak kaum proletariat Balkan dengan semua beban historisnya.”[16]
Masalah kebangsaan di Balkan hanya bisa diselesaikan oleh kaum proletariat, yang berdiri teguh di atas program kemandirian kelas, revolusi sosialis dan internasionalisme. Seperti yang Trotsky katakan: “Jaminan historis untuk kemandirian Balkan dan kebebasan Rusia terletak di kolaborasi revolusioner antara buruh Petersburg dan Warsaw dan buruh Belgrade dan Sofia.”[17] Dan lagi: “Seperti halnya di Rusia beban perjuangan melawan rejim patriarkat-birokratik jatuh di pundak kaum proletariat, begitu juga di Balkan hanya kelas proletariat yang mengemban tugas besar untuk membangun kondisi normal untuk koeksistensi dan kolaborasi antar berbagai bangsa dan ras di Semenanjung Balkan.”[18]
Untuk Federasi Sosialis di Balkan!
Pengalaman Yugoslavia sepenuhnya mengkonfirmasi posisi Marxis yang telah dipaparkan di atas. Kita hanya perlu mengajukan pertanyaan ini secara konkret untuk mendapatkan jawaban yang tepat. Delapan tahun setelah meledaknya peperangan di bekas Yugoslavia, apa hasil dari perpecahan Yugoslavia? Apakah ini telah memperkuat kelas buruh dan gerakan revolusioner? Apakah ini telah menyatukan rakyat? Apakah ini telah menyelesaikan satupun masalah? Apakah ini telah mengembangkan kekuatan produksi? Pertanyaan ini menjawab dirinya sendiri. Perpecahan Yugoslavia adalah sebuah bencana besar dari sudut pandang kelas buruh. Dan kejahatan terhadap kelas buruh ini tidak akan pernah bisa dibenarkan dengan dalih hak penentuan nasib sendiri. Dan sekarang kita saksikan peperangan mengerikan yang baru di Kosovo. Tentu saja kita mendukung hak penentuan nasib sendiri untuk rakyat Kosovo. Mereka punya hak untuk memiliki wilayah mereka sendiri, mereka punya hak untuk tidak ditindas dan dibantai. Tetapi masalahnya tidak sesederhana itu. Kita harus mengatakan apa yang benar. Dan kebenarannya adalah ini: bahwa sekali lagi nasib rakyat bangsa kecil telah secara sinis dimanipulasi dan dieksploitasi oleh imperialisme untuk kepentingan mereka sendiri. Seperti yang telah kita prediksi sejak awal, setelah menggunakan rakyat Kosovo NATO akan mencampakkan dan mengkhianati mereka. Begitu di masa lalu, dan begitu juga untuk selamanya.
Bila Kosovo meraih kemerdekaannya, ia niscaya akan fusi dengan negara Albania, dan dengan demikian menciptakan monster Albania Raya – mengikuti jejak Kroasia Raya, Serbia Raya, Bulgaria Raya, Yunani Raya.[19] Negeri Makedonia yang kecil sangatlah rapuh, dan memilik minoritas Albania yang besar. Bila Makedonia pecah, yang tak terelakkan di bawah situasi tersebut, maka ini akan berarti perang. Dan ini akan berbeda dengan perang yang telah kita saksikan sampai hari ini di Balkan. Peperangan di Yugoslavia pada umumnya adalah peperangan antar berbagai milisi. Bila Makedonia pecah, maka Serbia, Albania, Bulgaria, Yunani, dan Turki akan terlibat. Peperangan antara Yunani dan Turki – dua anggota NATO – akan menjadi bencana bagi semua rakyat dan mimpi buruk bagi AS. Ini adalah sesuatu yang tidak bisa ditolerir oleh Washington. Mereka mencoba menekan Milosevic[20] untuk memberi konsesi. Ketika ini gagal, AS meluncurkan perang tanpa rencana atau perspektif. Clinton diberitahu oleh CIA kalau pemboman ini akan membuat Milosevic menyerah dalam waktu beberapa hari[21]. Rencana ini gagal dan posisi AS hanya diselamatkan ketika Rusia menekan Milosevic untuk berkompromi. Tetapi dengan hasil apa?
Rakyat Kosovo punya hak untuk menentukan nasib sendiri, begitu juga rakyat Serbia, atau Bosnia, atau Kurdi, Makedonia, dan Palestina. Hanya saja ada satu masalah kecil. Bagaimana penentuan nasib sendiri ini akan dicapai? Bagaimana hak ini dapat dipraktikkan? Serbia tidak akan dengan sukarela menyerahkan kontrol mereka atas Kosovo, karena mereka menganggap Kosovo sebagai bagian tak terpisah dari wilayah Serbia. Masalahnya Kosovo – atau setidaknya KLA – meminta bantuan imperialisme Amerika. Apa yang telah diselesaikan oleh petualangan militer NATO di Kosovo? Tidak ada satu hal pun. Intervensi NATO justru telah memperburuk situasi 1000 kali lipat, menabur benih peperangan baru dan mimpi buruk. Nasionalisme dan sauvinisme di Balkan, seperti biasanya, memainkan peran yang buruk dan mengarah ke kebuntuan yang berdarah-darah. Para pemimpin reaksioner KLA, setelah ditempatkan di kursi kekuasaan oleh imperialisme AS, sekarang memainkan peran yang paling keji. Mereka membunuhi dan menindas kaum buruh dan tani Serbia; mereka ingin menduduki semua posisi kekuasaan; sembari mengisi pundi-pundi mereka dengan penjarahan, pemerasan, perdagangan obat-obat terlarang dan berbagai kejahatan lainnya. Tetapi ada limit dari apa yang bisa dilakukan oleh KLA. Rakyat Albania di Kosovo akan menyesal telah mempercayai imperialisme AS.
Walaupun Washington ingin keluar dari Kosovo, mereka tidak bisa dan harus berada di sana untuk waktu yang cukup lama. Lalu ada kekuatan besar lainnya yang mengintai di belakang, yakni Rusia, yang punya kepentingan juga di wilayah itu. Kontradiksi antara Rusia dan Amerika kian meningkat. Sebagai konsekuensinya, Moskow sekarang mendorong Milosevic untuk menuntut agar Kosovo dikendalikan oleh Serbia lagi. Dan memang, berdasarkan hukum internasional dan kompromi antara Belgrade dan NATO untuk menghentikan peperangan, Kosovo secara formal masih merupakan bagian dari wilayah Yugoslavia. NATO (yakni Imperialisme AS) tidak menginginkan Kosovo Albania merdeka, karena NATO takut (dan bukan tanpa alasan) kalau kemerdekaan ini akan menciptakan Albania Raya, yang akan segera merusak kestabilan Makedonia dan Montenegro, dan memercikkan peperangan baru yang bahkan lebih mengerikan. Kontradiksi ini secara tak terelakkan berarti bahwa Kosovo Albania akan berseteru dengan NATO cepat atau lambat. Kami telah memprediksi ini dan ini sudah dimulai, dengan benturan-benturan di Mitrovica. Tidak ada satu hal pun yang terselesaikan dan situasi ini telah menjadi mimpi buruk bagi semua pihak. Dan sekali lagi, usaha untuk menyelesaikan masalah kebangsaan di atas basis kapitalisme telah berakhir dalam bencana.
Sejak dulu Engels telah menjelaskan bahwa prasyarat untuk menuntaskan masalah kebangsaan di Balkan adalah dengan menyingkirkan intervensi kekuasaan asing di sana. Pada saat itu dia berbicara terutama mengenai intervensi Rusia Tsaris. Di kemudian hari Jerman dan Italia terlibat dan memainkan peran buruk yang sama. Sekarang AS dan Jerman juga ikut. Hanya penumbangan kapitalisme yang dapat menghancurkan rantai imperialisme di Balkan dan menyediakan alternatif demokratik yang sejati, dan menghapus monster yang dikenal oleh sejarah dengan nama “Balkanisasi”. Hanya dengan demikian kita bisa mencapai masa depan dimana, seperti yang ditulis Engels, “rakyat Magyar, Rumania, Serbia, Bulgaria, Arnaut [Albania], Yunani, Armenia, dan Turki, akan, pada akhirnya, berada di posisi dimana mereka bisa mendiskusikan dan menyelesaikan perbedaan-perbedaan mereka tanpa intervensi dari Kekuatan-kekuatan asing, dapat menetapkan di antara diri mereka sendiri apa yang mereka butuhkan dan kehendaki.”[22]
Hanya ada satu jalan ke depan, yakni kembali ke posisi Lenin. Dia tidak takut untuk mengatakan kepada rakyat Polandia pada 1916 kalau kemerdekaan bukanlah solusi, bahwa kemerdekaan adalah sebuah utopia, dan bahwa satu-satunya cara mereka bisa mendapatkan kemerdekaan yang sejati adalah dengan revolusi di Rusia dan revolusi di Jerman. Kebenaran yang sama harus kita katakan kepada rakyat Kosovo hari ini. Usaha untuk menyelesaikan masalah-masalah mereka di atas basis nasionalisme yang sempit telah menjadi jalan buntu. Satu-satunya jalan keluar adalah pembentukan kekuasaan buruh di Serbia dan di seluruh bekas Yugoslavia. Ini hanya bisa dicapai dengan persatuan antara buruh dan tani Yugoslavia.
Kaum buruh dan tani Serbia, Kroasia, Makedonia – dan bahkan Kosovo – sekarang pasti melihat masa-masa Tito seperti mimpi indah dibandingkan kekacauan berdarah-darah hari ini. Restorasi Federasi Yugoslavia untuk semua rakyat dan bangsa, yang berdasarkan ekonomi yang dinasionalisasi dan terencana, adalah keharusan yang absolut. Tetapi federasi ini harus secara demokratik dikendalikan dan dikelola oleh rakyat buruh sendiri, dan bukan oleh sekelompok birokrat yang berprivilese, yang punya kepentingan memainkan perbedaan-perbedaan nasional demi kepentingan sempit mereka sendiri. Yang kita butuhkan adalah sebuah Federasi Sosialis Balkan. Kelas buruh tidak punya kepentingan untuk menindas rakyat dari bangsa lain. Inilah mengapa, seperti yang telah sering diulang oleh Lenin, solusi masalah kebangsaan hanya bisa dicapai oleh proletariat yang merebut kekuasaan ke tangannya sendiri. Semua solusi yang lain, dalam skenario terbaik, hanya akan mengarah pada pencapaian yang parsial dan temporer, dan dalam skenario terburuk mengarah ke bencana. Nasib Yugoslavia adalah peringatan yang suram bagi semua buruh.
Untuk Kebijakan Internasionalis!
“Hanya pemilik properti, atau orang yang punya kebebasan atau sarana untuk menjadi pemilik properti, yang bisa memiliki tanah air. Dia yang tidak punya properti, tidak memiliki tanah air.” (Weitling)
“Kaum buruh tidak mempunyai tanah air.” (Manifesto Komunis)
Masalah kebangsaan adalah sebuah topik yang begitu luas dan dokumen ini hanya bisa merangkum poin-poin utama posisi Marxis mengenai masalah kebangsaan. Ini adalah titik mula dari sebuah diskusi yang lebih luas mengenai masalah ini, yang mana gerakan buruh dapat mencapai posisi yang jelas dan prinsipil. Melalui serangkaian diskusi mengenai masalah kebangsaan kita dapat meningkatkan level politik kaum buruh dan kaum muda yang maju, kita dapat memiliki pengaruh besar dalam skala dunia, dan membangun gerakan internasional yang berdiri di atas fondasi teori Marxis yang kokoh. Dalam Manifesto Komunis, Marx dan Engels mengatakan bahwa tugas pertama dari kaum proletariat adalah “berurusan dengan borjuasinya sendiri” – yakni menumbangkan borjuasi di negerinya sendiri, dan menjadi pemimpin bangsa. Tetapi mereka menambahkan bahwa “walaupun bukan dalam isinya, tetapi dalam bentuknya, perjuangan kaum proletariat melawan kelas borjuasi adalah mula-mula sebuah perjuangan nasional.” Apa artinya? Jelas kalau kelas buruh mula-mula harus menaklukkan kekuasaan di negerinya sendiri. “Karena kaum proletariat harus pertama-tama merebut supremasi politik, harus bangkit menjadi kelas yang memimpin bangsanya, harus mewujudkan dirinya sebagai bangsa, maka sejauh itu perjuangannya bersifat nasional, walaupun bukan dalam pengertian borjuis.”
Tetapi, menurut Marx, ini hanya dalam bentuknya saja dan bukan konten atau isi dari revolusi sosialis. Segera setelah merebut kekuasaan di satu negeri, kaum buruh akan dihadapkan dengan oposisi dari kaum borjuasi dari negeri-negeri lain. Oleh karenanya konten dari revolusi proletariat bukanlah nasional tetapi internasional, dan revolusi ini hanya bisa mencapai kemenangan akhir dengan menyebar ke negeri-negeri kapitalis utama.
Internasionalisme yang terkandung dalam Manifesto Komunis bisa dibaca di setiap barisnya:
“Perselisihan dan antagonisme nasional antar bangsa makin lama makin menghilang, berkat perkembangan borjuasi, kebebasan perdagangan, pasar dunia, keseragaman mode produksi, dan keseragaman taraf hidup yang menyertainya.”
“Kekuasaan proletariat akan mempercepat hilangnya itu semua. Aksi tersatukan dari setidaknya negeri-negeri beradab utama adalah salah satu prasyarat untuk emansipasi proletariat.”
“Bersamaan dengan berakhirnya eksploitasi atas individu oleh individu lainnya, maka eksploitasi atas satu bangsa oleh bangsa lainnya akan berakhir pula. Bersamaan dengan lenyapnya antagonisme antar kelas-kelas dalam satu bangsa, berakhir jugalah permusuhan satu bangsa terhadap bangsa lainnya.”
Bagi kaum Marxis teori adalah panduan aksi. Kewajiban dasar kita adalah melawan semua bentuk dan manifestasi penindasan nasional, rasisme, diskriminasi dan ketidakadilan. Di tiap-tiap negeri kita harus merumuskan program tuntutan yang konkret. Tanpa perjuangan sehari-hari untuk pencapaian di bawah kapitalisme maka sosialisme hanya jadi impian belaka. Massa rakyat hanya bisa dilatih dan ditempa untuk pertempuran akhir melalui partisipasi dalam serangkaian pertempuran kecil dan parsial – pemogokan, demonstrasi, dsb. Jelas benar dan diperlukan untuk berjuang demi setiap pencapaian, tidak peduli bila pencapaian ini parsial, yang dapat memperbaiki taraf hidup rakyat. Ini berlaku tidak hanya untuk reforma sosial, pendidikan, layanan kesehatan, perumahan, pensiun, dsb. tetapi juga untuk tuntutan demokrasi selama tuntutan ini masih memiliki vitalitasnya.
Di Inggris, misalnya, kita harus berjuang untuk menghapus monarki dan House of Lords (Dewan Bangsawan), yang merupakan peninggalan feodal yang reaksioner. Di setiap negeri kita berjuang untuk hak kaum perempuan dan akan berjuang untuk Undang-undang aborsi dan perceraian yang paling progresif. Ini juga berlaku untuk masalah kebangsaan. Kaum Marxis Inggris memberikan dukungan kritis untuk otonomi Wales dan Skotlandia. Ini adalah tuntutan demokratis yang elementer, dan tentu saja kaum Marxis wajib mendukung setiap tuntutan demokratik yang memiliki konten progresif. Tentu saja kita juga paham bahwa memberikan parlemen untuk Wales dan Skotlandia tidak akan menyelesaikan masalah fundamental yang mereka hadapi, tetapi ini adalah reforma demokratik parsial yang tidak boleh ditolak oleh kaum sosialis.
Akan tetapi, ini saja tidak cukup. Di bawah kondisi hari ini, tidak ada reforma – entah itu ekonomi, sosial atau demokratik – yang dapat berkelanjutan kalau reforma ini tidak mengarah ke transformasi masyarakat secara fundamental. Sejak tahun 1920, di Kongres Kedua Komunis Internasional, Lenin mengatakan bahwa masalah kebangsaan hanya bisa diselesaikan oleh kemenangan proletariat, dan dia hapus dari program Komintern slogan gerakan borjuis-demokratik, dan digantikannya dengan frase: “gerakan pembebasan nasional”. Signifikansi dari apa yang dilakukan oleh Lenin ini tidak dipahami oleh para “Marxis” yang menyedihkan hari ini, yang berkapitulasi pada tekanan pemimpin nasionalis borjuis dan borjuis-kecil yang menuntut agar kelas buruh mengesampingkan perjuangan sosialisnya dan menundukkan diri mereka ke “perjuangan nasional” – dalam kata lain, menerima kepemimpinan elemen-elemen nasionalis borjuis dan kelas-menengah. Sebaliknya, Lenin menjelaskan bahwa dalam epos modern kaum borjuasi tidak mampu menuntaskan masalah kebangsaan. Posisi Leninis diringkas oleh Trotsky:
“Hak penentuan nasib sendiri, tentu saja, adalah sebuah prinsip demokratis dan bukan prinsip sosialis. Tetapi prinsip-prinsip demokratis yang sejati didukung dan direalisasikan di era kita hari ini hanya oleh kelas proletariat revolusioner; untuk alasan inilah tugas-tugas demokratik berkelindan dengan tugas-tugas sosialis.”[23]
Ini adalah posisi Marxis sejati yang kami bela. Di bawah kondisi hari ini, di setiap tahapan kita harus menghubungkan perjuangan demokratik dengan perspektif transformasi sosialis, dengan perspektif ekspropriasi kaum bankir dan kapitalis. Dan prasyaratnya adalah persatuan kelas buruh dan organisasi-organisasinya. Slogan perjuangan kita bukanlah “bangsa melawan bangsa” tetapi “kelas melawan kelas”! Terlebih lagi, gol perjuangan kita tidak terbatas pada satu negeri saja. Gol kita adalah sosialisme sedunia. Ini adalah posisi dari semua kaum Marxis terkemuka di masa lalu. Pada 1916, di periode reaksi gelap ketika Eropa tenggelam dalam perang katastropik, Lenin menulis:
“Tujuan sosialisme tidak hanya mengakhiri pemecahan umat manusia ke dalam negeri-negeri kecil dan pengisolasian bangsa-bangsa dalam semua bentuknya, tidak hanya untuk membawa bangsa-bangsa lebih dekat, tetapi juga menyatukan mereka.”[24]
Kendati semua bukti yang ada, para apologis kapitalisme tidak ingin mengakui apa yang kian jelas bagi semua orang yang bisa berpikir: bahwa negara-bangsa sendiri sekarang memainkan peran yang sama terbelakangnya dengan partikularisme feodal masa lalu. Perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia yang lebih lanjut hanya bisa tercapai dengan meluluhlantakkan sepenuhnya batasan-batasan tua ini, dan menggantikan mereka dengan perkembangan kekuatan produksi yang terencana dan harmonis dalam skala dunia. Satu-satunya harapan bagi umat manusia adalah internasionalisme sosialis, dan bukan nasionalisme yang sudah kadaluwarsa. Seperti yang dijelaskan oleh Leon Trotsky, gol sosialisme bukanlah mendirikan perbatasan yang baru – yang akan menjadi hambatan bagi kemajuan umat manusia selanjutnya – tetapi penghapusan semua perbatasan dan pendirian sebuah tatanan dunia sosialis yang baru:
“Semua perbatasan negara adalah hambatan bagi kekuatan produksi. Tugas kaum proletariat bukanlah menjaga status quo (melanjutkan perbatasan ini), tetapi sebaliknya bekerja untuk menghapus mereka secara revolusioner dengan tujuan membentuk Perserikatan Eropa Sosialis dan Seluruh Dunia. “[25]
DAFTAR ISI
Bag 1: Masalah Kebangsaan Dalam Sejarah
Bag 2: Marx dan Engels dan Masalah Kebangsaan
Bag 3: Lenin dan Masalah Kebangsaan
Bag 4: Masalah Kebangsaan Setelah Revolusi Oktober
——————————————————————————————–
Catatan Kaki
[1] Pada tahun 2010, hutang negeri-negeri Dunia Ketiga telah mencapai 4 triliun dolar AS.
[2] Ini merujuk pada penumbangan Presiden Jamil Mahuad pada 21 Januari 2000. Rejim Mahuad ditentang keras oleh rakyat pekerja Ekuador karena mengimplementasikan kebijakan pemotongan yang mencekik rakyat miskin. Setelah seminggu mobilisasi, demonstrasi, dan pemogokan, puluhan ribu kaum suku Indian Ekuador, buruh, tani, dan pelajar menduduki satu per satu gedung-gedung pemerintah (gedung Parlemen, Mahkamah Agung, Istana Kepresidenan) dan menumbangkan rejim Mahuad. Tetapi karena absennya kepemimpinan revolusioner, rakyat pekerja tidak mampu mempertahankan kekuasaan ini di tangan mereka dan revolusi ini dikalahkan. Untuk analisa lebih lanjut baca The uprising in Ecuador marks the beginning of the 21st century oleh Jorge Martin, 23 Januari 2000.
[3] Catatan Penerjemah: Taktik terorisme ini terus dilanjutkan oleh Hamas yang kini berkuasa di Jalur Gaza, yang terus menembakkan roket-roket mereka ke daerah pemukiman rakyat Israel dan dengan demikian mendorong rakyat Israel semakin ke pelukan pemerintahan Israel yang reaksioner.
[4] Intifada Pertama, yang dalam bahasa Arab berarti pemberontakan, meledak pada Desember 1987. Kaum muda Palestina terutama meluncurkan aksi massa untuk menentang penjajahan oleh Israel, yang lalu menyebar ke semua lapisan, dengan aksi-aksi yang bersifat akar rumput dan revolusioner dalam karakter.
[5] Salah satu konsesi yang diberikan imperialisme Israel sebagai akibat dari Intifada Pertama adalah menyetujui pembentukan pemerintahan Palestina, yang dikenal sebagai Palestinian Authority, pada 1994. Yasser Arafat menjabat sebagai Presiden dan Perdana Menteri PA yang pertama. Konsesi ini dimediasi dan didorong oleh pemerintahan AS.
[6] Dataran Tinggi Golan terletak di antara Israel/Palestina dan Suriah, dimana 2/3 daerah ini di bagian Baratnya diduduki oleh Israel, dan 1/3 lainnya oleh Suriah. Secara historis daerah ini terus diperebutkan oleh Israel dan Suriah.
[7] Perang Saudara Amerika Serikat berlangsung dari 1861-65, dimana negara-negara bagian Utara yang dipimpin oleh Presiden Abraham Lincoln (kubu Serikat) memerangi negara-negara bagian Selatan (kubu Konfederasi) karena yang belakangan ingin mempertahankan hak mereka untuk memiliki budak hitam. Perang ini dimenangkan oleh Serikat dan dengan kemenangan ini perbudakan dihapus di AS.
[8] Thomas Edward Lawrence (1888-1935) adalah agen dari pemerintah Inggris yang dikirim untuk mengorganisir Pemberontakan Arab melawan Kerajaan Ottoman selama Perang Dunia Pertama.
[9] LCW, The Right of Nations to Self-determination, February-May 1914, vol. 20.
[10] Kerusuhan sektarian meledak di Irlandia Utara pada 12-17 Agustus 1969 antara umat Protestan dan umat Katolik. Tentara Inggris dikirim ke sana untuk memadamkan kerusuhan ini, yang lalu menandai awal dari konflik selama 30 tahun selanjutnya, yang dikenal sebagai “The Troubles”.
[11] Herri Batasuna, yang berarti Persatuan Popular, adalah sebuah koalisi kaum nasionalis kiri Basque, yang didirikan pada 1978. Koalisi ini lalu berubah menjadi partai politik pada 1986.
[12] Trotsky, The Balkan Wars, hal. 12.
[13] Ibid., hal. 30.
[14] Ibid., hal. 30, penekanan kami.
[15] Ibid., hal. 40.
[16] Ibid. hal. 40.
[17] Ibid., hal. 41-2.
[18] Ibid., hal. 30.
[19] Paham “Serbia Raya” adalah ideologi nasionalis Serbia mengenai pembentukan Negara Serbia yang meliputi semua wilayah yang dianggap signifikan secara tradisional oleh rakyat Serbia, termasuk wilayah-wilayah di luar Serbia yang ada penduduk Serbianya. Klaim “Serbia Raya” ini meliputi wilayah di Kroasia, Bosnia, Montenegro, Makedonia, yang niscaya menyebabkan perang di daerah Balkan. Hal yang sama juga berlaku untuk paham “Kroasia Raya”, dsb.
[20] Slobodan Milosevic (1941-2006) adalah politisi Serbia yang menjabat sebagai Presiden Serbia dari 1989-1997. Di bawah pemerintahannya peperangan Yugoslav berkecamuk, dimana dia mengobarkan sentimen nasionalisme sempit Serbia yang berakibat pada pembantaian penduduk non-Serbia.
[21] Pemboman NATO terhadap Serbia dari 24 Maret 1999 hingga 10 Juni 1999, untuk memaksa Milosevic menarik mundur pasukannya dari Kosovo.
[22] MECW, vol. 27, hal. 47.
[23] Trotsky, Writings, 1939-40, hal. 45, penekanan kami.
[24] LCW, The Socialist Revolution and the Right of Nations to Self-determination, January-February 1916, vol. 22. Penekanan kami.
[25] Trotsky, Writings 1935-36.