Bukan Soal ‘Bad Mining’: Kapitalisme sebagai Masalah Ekologis
Mereka menyalahkan rakyat pekerja untuk menutupi akar masalahnya. Sementara mereka sendiri di biang kerusakan lingkungan.
Mereka menyalahkan rakyat pekerja untuk menutupi akar masalahnya. Sementara mereka sendiri di biang kerusakan lingkungan.
Mereka yang menikmati hasil dari kerusakan alam ini menyebutnya sebagai karunia Tuhan, tetapi bagi mayoritas kelas pekerja bencana ini adalah penderitaan yang tak terelakkan. Sistem kapitalisme hanya mementingkan keuntungan segelintir parasit kapitalis, dan mereka tidak peduli dengan dampaknya pada alam dan manusia.
Banjir di Sumatera Utara bukan ulah manusia, tetapi akibat kelas penguasa yang mendukung deforestasi demi keuntungan segelintir. Bencana ini mengorbankan lebih dari 600 nyawa, merekalah yang bertanggung jawab atas bencana ini.
Di balik kecepatan proyek kereta cepat, China mengambil peran sebagai kreditor raksasa, proyek ambisius ini justru memperlihatkan bagaimana imperialisme bergerak.
Meskipun sering disebut sebagai bencana alam, kenyataannya perubahan iklim yang kita hadapi saat ini adalah dampak langsung dari perusakan lingkungan yang dilakukan oleh kelas kapitalis, yang hanya mengejar keuntungan.
Pada 25 Agustus, tuntutan “Bubarkan DPR” muncul spontan dari massa yang tidak terorganisir, terutama anak muda. Aksi ini menjadi cerminan ketidakpuasan yang sudah dipersiapkan lama oleh kondisi objektif, yakni krisis kapitalisme dunia.
Ilhamsyah, pemimpin KPBI dan Kompolnas, kini menjabat sebagai komisaris PT Pelindo. Keputusan ini memperpanjang daftar aktivis reformis yang bergabung dengan pemerintahan borjuis dan menegaskan kembali perdebatan lama antara reformisme dan revolusi dalam gerakan sosialis.
Seruan “Bubarkan DPR” meletup dari jalanan tanpa komando — ini menjadi isyarat runtuhnya kepercayaan pada parlemen borjuis sekaligus lahirnya tuntutan baru: jika bukan DPR, apa yang menggantikannya?
Kekuatan rakyat yang terpendam akhirnya mengguncang kekuasaan penguasa. Meskipun pemerintah memberikan konsesi untuk menenangkan massa, itu hanya menunda ledakan yang lebih besar. Krisis semakin tak terelakkan.
Tidak ada revolusi yang mulus. Ia penuh jeda, benturan, dan tarik-menarik antara massa dan penguasa. Apa yang tampak sebagai ketenangan hanyalah fase persiapan, di mana rakyat menimbang langkah berikutnya sementara rezim menata ulang strategi untuk menekan.